LOGINSetelah sesi pengumuman kabar bahagia melalui panggilan video selesai, suasana di apartemen Dupont kembali ke rutinitas, namun dengan aura yang lebih tegang. Di ruang medis lantai dasar yang telah disiapkan secara mendadak, Pak Beni dan Pak Edwin mulai melakukan tugasnya. Ruangan itu kini dipenuhi aroma antiseptik yang tajam, kontras dengan bau parfum mahal yang biasanya tercium di lobi.Pak Beni, dengan kacamata bingkai hitamnya, duduk di sudut ruangan. Ia adalah seorang ahli perilaku yang mampu membaca gestur sekecil apa pun. Di sampingnya, Pak Edwin, seorang mantan perwira medis dengan ketelitian yang nyaris tanpa cela, menyiapkan peralatan tes darah dan monitor denyut jantung. Mereka bukan sekadar memeriksa kesehatan; mereka sedang berburu anomali."Siapa yang pertama?" tanya Pak Edwin sambil mengenakan sarung tangan lateksnya."Kita mulai dari barisan depan: petugas keamanan," jawab Pak Beni dingin.Pak Bambang dan Pak Jamal masuk ke ruangan dengan langkah yang dipaksakan tegak.
"Kamu rupanya sangat agresif ya, pasti sudah sering main." ucap Pak Jamal, meraba paha Sinta.Pak Jajang menimpali, "Kamu belum tahu Mal, dia memang sudah sering main. Sama seperti Rina, mereka sudah profesional."Mata Pak Jamal berbinar, "Waww bagus kalau gitu, kalau gitu mainin dulu pisang Om neng biar lebih keras.""Tentu Om, Om Jamal dan Om Jajang duduk di kasur, biar aku yang service kalian." tantang Sinta, mendorong tubuh mereka ke kasur.Sinta begitu sangat liar dan lahap menikmati pisang besar milik Pak Jamal dan Pak Jajang. Mereka memperhatikan Sinta yang begitu sangat lahap menikmati benda pusaka mereka. Setelah cukup lama, Sinta naik ke atas kasur siap menduduki benda pusaka Pak Jamal."Om Jamal, masukinnya dari belakang biar lebih mudah." perintahnya, menatap Pak Jamal yang berbaring di sebelah Pak Jajang.Pak Jamal segera bangkit, "Siap neng, waw ini beneran gak apa-apa langsung di masuki dua sekaligus?" tanyanya lagi, merasa tidak percaya."Beneran Om, nanti kalau udah m
Malam itu, Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di penthouse, Tom dan teman-temannya sudah tertidur lelap karena kelelahan setelah berenang seharian. Kesunyian ini dimanfaatkan oleh George. Dengan langkah seringan kucing, ia mengetuk pintu kamar Nayla."Nayla, ayo. Pak Bambang sudah menyiapkan tempatnya," bisik George.Nayla keluar dengan mengenakan hoodie besar untuk menutupi tubuhnya. "Kita ke mana, Paman?""Ke kosan Pak Jajang. Lebih aman, tempatnya lebih luas dan jauh dari jangkauan Sam," jawab George sambil menuntun Nayla menuju lift barang agar tidak terlihat.Di sisi lain, di area gerbang bawah, Pak Bambang dan Pak Jamal sudah bersiap-siap. Mereka menyerahkan tugas jaga sementara kepada petugas pengganti yang tidak tahu apa-apa. cctv-nya kembali di atur oleh Pak Bambang, untuk mengelabuhi Mr Henri dan Raka di Prancis. Dengan mengendarai motor, mereka menuju sebuah rumah kos di daerah pasar yang cukup tersembunyi milik Pak Jajang.Kosan Pak Jajang adalah bangunan tua denga
Di depan ruang kerja George, Sam masih berdiri mematung. Tangannya mengepal, dan telinganya menangkap suara grasak-grusuk dari dalam. Sam tahu betul ayahnya sedang menyembunyikan seseorang."Papa, buka pintunya! Jangan sampai aku panggil Tom untuk mendobraknya!" ancam Sam, suaranya bergetar karena amarah.Di dalam, George dengan cepat merapikan meja kerjanya yang berantakan. Lila sudah meringkuk ketakutan di bawah meja yang tertutup taplak tebal. Napasnya masih terengah-engah, sisa dari persetubuhan panas yang baru saja terhenti paksa. Lila juga merapikan celananya yang belum terpasang seutuhnya, bagian intinya sudah basah tapi Lila belum puas.George menarik napas panjang, memasang wajah setenang mungkin, lalu membuka kunci elektronik pintu tersebut.KLIK.Pintu terbuka. George berdiri dengan kemeja yang sedikit kusut di bagian bawah. Benda pusakanya masih setengah tegang, tapi tertutupi oleh tangannya. "Ada apa, Sam? Kenapa berisik sekali? Papa sedang sibuk!"Sam masuk tanpa izin, m
Mr. Henri mengepalkan tangannya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini ulah para satpam yang lalai, ataukah adiknya sendiri, George, yang sedang menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar?Di Jakarta, suasana di dalam ruang kerja George semakin memanas. Tirai jendela besar ditutup rapat, hanya menyisakan celah tipis cahaya matahari yang masuk. George dan Lila seolah tenggelam dalam dunia mereka sendiri, mengabaikan fakta bahwa mereka berada di tengah hari bolong dengan risiko ketahuan yang sangat tinggi.Lila masih berada di pangkuan George. Tangannya dengan berani melepas kancing kemeja George satu per satu. “Paman tidak takut jika tiba-tiba Tom atau Liam masuk?” bisik Lila sambil mengecup leher George.George terkekeh, suaranya terdengar sangat percaya diri. “Tom dan yang lainnya sedang asyik di kolam renang. Mereka tidak akan naik dalam satu jam ke depan. Lagipula, pintu ini sudah aku kunci secara elektronik. Tidak ada yang bisa masuk tanpa izin dariku.”“Tapi Sam?” tanya Lila lagi
Pagi di Jakarta dimulai dengan kesibukan yang berbeda. Nayla tampak terburu-buru merapikan tumpukan berkas dan buku referensi di meja makan. Beberapa teman kampusnya sudah menunggu di lobi bawah untuk mengerjakan skripsi bersama di perpustakaan pusat."Maaf ya, Lila. Sepertinya rencana kita melihat penjual soto ayam yang gagah itu harus batal hari ini. Dosen pembimbingku mendadak minta draf bab tiga," ucap Nayla sambil memasukkan laptop ke dalam tasnya.Lila menghela napas pendek, namun ia tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Nay. Skripsi lebih penting. Lagi pula, pria manis itu tidak akan lari ke mana, kan?"Setelah Nayla berangkat dijemput teman-temannya, suasana di penthouse menjadi sedikit lebih santai. Tom, Liam, Jack, dan Ethan memutuskan untuk mengambil hari libur dari kegiatan syuting konten."Badanku pegal semua setelah kemarin berendam lumpur di lokasi banjir," keluh Liam sambil meregangkan ototnya. "Gimana kalau kita berenang saja di bawah? Air dingin sepertinya bagus untuk pe







