LOGIN“Good morning, Baby.” Satu kecupan ringan mendarat di bibir Bricia. Refleks, perempuan itu menggeliat dan menarik selimut menutupi wajahnya, berusaha kabur dari pagi yang datang terlalu cepat. “Eh, kok ditutup lagi?” Andrew terkekeh kecil sambil mengelus puncak kepala Bricia. “Bangun, yuk. Feli sama Harry sudah nunggu di meja makan.” Mendengar itu, Bricia langsung menyingkap selimutnya. Matanya melebar, dan sisa kantuk langsung buyar. “Feli udah di sini? Padahal masih pagi banget,” tanya Bricia, suaranya masih serak. “Hei... ini sudah jam tujuh lebih. Lagian mereka datang sekalian bawa sarapan,” jawab Andrew sambil menarik pelan ujung selimutnya. “Ayo, Baby. Jangan malas.” Bricia mendengus kecil, tapi tetap turun dari ranjang. Dengan langkah agak gontai, ia menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. “Bri, aku tunggu di luar, ya,” seru Andrew dari arah pintu. “Iyaaa,” sahut Bricia lirih, masih sambil menguap. Saat Bricia selesai mencuci mukanya, ia segera melangkah keluar dar
Tiba-tiba Bricia terdiam. Wajahnya berubah serius, jelas sedang memikirkan sesuatu. Andrew yang menangkap perubahan itu langsung mengecup pipi Bricia sekilas lalu membawanya lebih dekat. “Mikirin apa, hm?” tanyanya pelan. “Papa…” suara Bricia mengecil. “Gimana kalau Papa tahu tentang kita?” Andrew tersenyum kecil, bukan mengejek, lebih ke senyum seseorang yang sudah menyiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Ia mengusap rambut Bricia lembut, berusaha menenangkan. “Mau dengar ceritaku?” katanya pelan. Bricia mengangguk, lalu membalikkan tubuh agar berhadapan dengan Andrew. Tatapannya serius dan penuh perhatian. Dan saat itu Bricia sadar, Andrew terlihat berbeda malam in. Llebih dewasa dan lebih tampan. Andrew menarik napas pelan sebelum mulai bicara. “Eric itu kakak tingkat dua angkatan di atasku. Awalnya kami tak saling mengenal, hanya beberapa kali bertemu di kegiatan UKM. Tapi lama-lama jadi akrab karena sering terlibat di acara yang sama.” Andrew kembali meng
“Bri—” Andrew menyusul dengan langkah cepat, lalu menahan pergelangan tangan perempuan itu. “Mau ke mana?” Bricia tak langsung menoleh. Rahangnya hanya mengeras, wajahnya tetap lurus menatap pintu. “Pulang,” jawabnya singkat dan dingin. “Kayaknya aku nggak seharusnya lama-lama di sini.” Kening Andrew berkerut. “Kenapa tiba-tiba begitu?” Bricia akhirnya berbalik. Matanya mengkilap, bukan karena marah, tapi karena kesal yang menumpuk tanpa sempat keluar. “Aku cuma nggak mau ganggu waktu, Om,” ucapnya datar. Bibirnya membentuk senyum tipis yang justru terasa pahit. Pegangan Andrew mengendur, berubah menjadi genggaman yang lebih lembut. “Bri, kamu salah paham,” katanya cepat. “Itu Jessy, temanku. Dan yang barusan itu anaknya.” Bricia menarik tangannya pelan, tapi belum sepenuhnya lepas. “Tapi cara kalian bicara terdengar sangat akrab. Bahkan Om manggil anaknya "sayang". Bukannya itu panggilan kalau hubungannya sudah dekat?” Andrew menghela napas, lalu melangkah mendekat lagi
Setelah rasa kesal dan haru itu pecah, keduanya mulai menikmati hidangan. Tentu saja makanan yang tersaji bukan buatan Andrew, melainkan dari chef yang kelak akan mengisi dapur di kafe barunya. “Semoga kamu suka dengan makanannya, Bri,” ujar Andrew sambil memperhatikan wajah Bricia, seolah menunggu penilaian darinya. Bricia mencicipi suapan pertamanya. Matanya sempat terpejam sesaat sebelum akhirnya terbuka lagi. “Enak,” katanya jujur. “Banget, malah.” Andrew tersenyum puas. “Syukurlah.” Bricia menurunkan sendoknya sejenak, lalu melirik Andrew dari balik bulu matanya. “Tapi ingat ya… Om punya utang satu trauma ke aku gara-gara prank tadi.” Andrew tertawa kecil. “Siap. Mau dibayar pakai apa utangnya?” Bricia berpura-pura berpikir, lalu tersenyum kecil. “Nanti aku pikirkan. Sekarang… makan dulu.” Nada suaranya sudah jauh lebih ringan. Dan rasa hangat di dada Bricia benar-benar mengalahkan sisa kaget dan kesalnya akibat prank tadi. "Oh, ya, aku punya satu kabar gembira." Wajah
Setelah pertanyaan itu meluncur dari bibir Bricia, tak ada jawaban yang datang. Justru tekanan di pinggangnya semakin jelas. Benda tumpul itu sedikit mendorong, dan memaksanya melangkah maju. Napas Bricia berantakan. Kakinya gemetar, tapi ia menurut. Setiap langkah terasa berat, seolah lantai apartemen itu ikut menelan keberaniannya. Di dalam hati, penyesalan bermunculan satu per satu. Kenapa dulu ia lebih memilih tidur siang daripada ikut taekwondo? Kenapa ia tak pernah benar-benar belajar bela diri apa pun? Kalau saja dari dulu ia belajar, setidaknya ia punya kesempatan melawan. Sayangnya, semua itu terlambat. Langkahnya berhenti tepat di dekat dinding. Ia bisa merasakan hawa dingin di sekitarnya, dan firasat buruk yang makin menekan dadanya. Lalu—Klik. Lampu menyala bersamaan dengan suara letupan kecil di samping telinganya. DUARR!Konfeti berhamburan di udara. Bricia menjerit histeris, refleks ia menutup kedua telinganya. Namun jeritan itu terputus saat sebuah tangan men
Saat senja mulai turun, Bricia dan Feli berpamitan. Alasan resminya ingin merayakan wisuda berdua. Meski kenyataannya, Bricia hendak menepati janji makan malam dengan Andrew, dan lagi-lagi nama Feli dijadikan tameng paling aman. “Bri sama Feli ke kosan Feli dulu, ya, Pa,” ucap Bricia santai. “Papa jaga Louisa. Tapi ingat…” ia menaikkan telunjuknya, wajahnya mendadak garang, “tetap jaga jarak. Jangan dekat-dekat. Aku nggak mau adikku kenapa-kenapa.” Eric hanya mengangguk patuh. Cari aman jelas pilihan terbaik. Selain itu, ia tahu tubuh Louisa memang sedang sensitif. Meski begitu, ia berjanji dalam hati akan selalu siaga kapan pun Louisa butuh bantuannya. “Siap, Sayang,” jawabnya ringan. “Kamu juga selamat bersenang-senang. Papa sudah transfer buat kalian berdua.” Senyum Bricia langsung melebar. Bagian itu selalu jadi favoritnya. “Oke, makasih, Pa. Kalau gitu, kami jalan dulu. Bye, Papa… bye, Loui. And bye, baby,” ujarnya sambil melambaikan tangan. Bricia dan Feli masuk ke mobil H







