Home / Romansa / Tergoda Teman Papa / Perasaan Louisa

Share

Perasaan Louisa

Author: ORI GAMII
last update Last Updated: 2025-11-25 20:33:17

Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan.

Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang.

Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya.

Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun.

“Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut.

“Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa.

Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan.

Setelah meletakkan tas dan jas Eric, Louisa masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran bathtub dan memastikan suhu air sesuai. Lalu setelahnya ia meneteskan aroma terapi favorit Eric. Peppermint dan cedarwood, aroma yang dulu selalu membuat Eric tersenyum. Tapi itu dulu.

"Bantu aku menggosok punggungku."

Baru saja Louisa hendak keluar dari kamar itu, suara Eric menahannya. Ini hal biasa, dan ia akan bertahan jika Eric yang memintanya.

"Iya." Louisa langsung menyusul Eric yang sudah masuk lebih dulu.

Louisa merapat ke dalam kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan dengan aroma menenangkan. Eric sudah duduk bersandar di tepi bathtub dengan punggung menghadap Louisa.

Tanpa banyak kata, Louisa mengambil spons lembut dan membasahinya, lalu mulai menggosok perlahan punggung Eric. Gerakannya halus, hati-hati, seolah takut menyakiti pria yang selalu ia tatap penuh hormat.

Eric menutup matanya. Napasnya teratur, tapi rahangnya mengeras. Ada banyak hal yang ia sembunyikan di balik diamnya dan Louisa tahu itu.

“Pekerjaanmu berat hari ini?” tanya Louisa pelan.

“Seperti biasa,” jawab Eric pendek.

Hanya itu. Tidak ada lagi penjelasan tambahan.

Louisa tersenyum tipis, meski hatinya tergores sedikit. Sudah bertahun-tahun seperti ini, ia tetap bertahan. Karena ia mencintai Eric, sehingga apa pun yang kurang berkenan di hatinya, Louisa akan terus maklum.

“Sudah cukup. Terima kasih,” ucap Eric lirih ketika ia merasa cukup.

Louisa memaksakan senyumnya sedikit lebih lebar. “Sama-sama.”

Ia tahu, ia hanya menjadi tempat singgah untuk lelahnya Eric. Tapi ia berharap, suatu hari nanti, ia juga menjadi tempat pulang hati Eric.

Sebagian orang mungkin mengira Eric dan Louisa sudah menikah. Wajar saja, Louisa sudah tinggal di rumah itu hampir delapan tahun. Mereka terlihat seperti pasangan suami-istri yang menjalani hidup normal bersama. Padahal kenyataannya, tidak ada ikatan resmi apa pun di antara keduanya..

Tidak ada buku nikah atau cincin yang mengikat jari manis mereka. Semua hanyalah kebersamaan tanpa adanya kepastian.

Louisa tinggal di sana karena dua hal, rasa cintanya yang terlalu dalam dan rasa terima kasih yang tak pernah lunas pada Eric.

Sepuluh tahun lalu, dunia Eric runtuh. Diana, istri yang ia cintai, mengalami kecelakaan parah. Segala upaya sudah dilakukan, tapi luka itu terlalu berat. Dan Diana mengembuskan napas terakhirnya tak lama kemudian.

Namun sebelum pergi, Diana masih sempat meminta satu hal.

Ia ingin ginjalnya disumbangkan kepada sepupunya, Louisa, yang saat itu hanya menunggu waktu karena gagal ginjal kronis yang dideritanya.

Eric menolak. Ia tak sanggup membayangkan tubuh Diana disentuh pisau bedah setelah ia mati. Tapi itu permintaan terakhir istrinya, sehingga rasanya Eric tak mampu menolaknya.

Dengan mata bengkak dan hati yang koyak, Eric akhirnya mengizinkan operasi itu dilakukan. Membiarkan salah satu organ milik Diana berpindah ke tubuh Louisa.

Dan sejak hari itu, Louisa hidup dengan bagian tubuh Diana di dalam dirinya. Bagian dari seorang istri yang membuat pria itu tak pernah bisa benar-benar melihat Louisa sebagai wanita itu sendiri.

Louisa keluar dari kamar mandi setelah memastikan Eric bisa melanjutkan mandinya sendiri. Ia mengeringkan sedikit uap yang menempel di wajahnya dengan punggung tangan sebelum bergegas ke lemari pakaian.

Ia memilihkan kemeja putih bersih dan celana bahan hitam yang selalu menjadi favorit Eric. Semua ia letakkan rapi di atas ranjang.

Setelah semuanya siap, Louisa duduk di tepi ranjang. Tangannya saling menggenggam dan lututnya ia rapatkan. Tatapannya kosong sesaat, memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan.

Ia menunggu.

Beberapa menit berlalu sampai suara langkah Eric terdengar mendekat. Louisa langsung berdiri, ia memaksakan senyum lembut seperti yang selalu ia lakukan.

“Makasih, Lou,” ucap Eric singkat sambil mengambil kemejanya.

“Untuk itu aku di sini,” jawab Louisa. Suaranya hampir tenggelam oleh suara gesekan kain kemeja yang dipakai seorang pria yang tak pernah benar-benar melihat perasaannya.

Saat Eric mengancingkan kemejanya, Louisa menatap punggung itu, punggung yang tadi sempat ia sentuh dengan penuh kasih. Punggung yang ingin ia peluk sepanjang malamnya, tapi sayangnya hal itu belum menjadi kenyataan sepenuhnya. Ia masih bisa merasakan kehangatannya, tapi belum dengan rasanya.

“Bricia sudah pulang?” tanya Eric.

“Belum,” jawab Louisa. “Tadi siang dia pamit makan siang dengan temannya.”

Eric mengangguk pelan. "Iya, dia juga menghubungiku." Kemudian Eric berbalik, ia mendekat ke Louisa sampai jarak tinggal sejengkal.

Pria itu menunduk, lalu tanpa aba-aba, mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir Louisa. Lumatan yang awalnya pelan berubah menuntut, seolah ia tak ingin melepaskan. Begitu merasa cukup, Eric akhirnya menjauh perlahan.

Ujung jarinya menyentuh bibir Louisa yang kini memerah.

“Andrew bilang akan ke sini. Tolong siapkan makan malam. Seadanya saja, tak perlu membuat dirimu repot,” ucapnya ringan. Sebelum pergi, Eric terlebih dulu menunduk dan mengecup dahi Louisa, singkat tapi terasa manis.

Eric lalu melangkah keluar kamar terlebih dahulu. Sikap manis Eric yang datang sesekali, seperti yang baru saja ia lakukan, selalu berhasil menahannya tetap tinggal. Meski Louisa tahu, hati Eric masih belum sepenuhnya menjadi miliknya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tergoda Teman Papa    Perasaan Louisa

    Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set

  • Tergoda Teman Papa    Janji kosong

    Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"

  • Tergoda Teman Papa    Janji Temu

    Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda

  • Tergoda Teman Papa    Masa Lalu Andrew

    Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu

  • Tergoda Teman Papa    Bertemu lagi?

    Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti

  • Tergoda Teman Papa    Luka

    “Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status