“Santai aja, Mas. Beliau orangnya baik, kok. Cuma ingin ngobrol dan tahu siapa yang nanti bantu tim.” ucap Arum menenangkan Nasrul yang tampak gugup saat mereka berdua melaju di dalam lift ke lantai paling atas.Nasrul mengangguk pelan, tapi dadanya makin sesak. Ia tahu dirinya hanya lulusan SMA, bekas teknisi ponsel yang sehari-hari berkutat dengan solder. Dunia yang akan ia datangi sekarang terasa seperti ruang asing — tempat orang-orang berjas bicara dengan istilah yang tak pernah ia pahami.Pertemuan diadakan di sebuah ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung RSUD. Dindingnya penuh papan presentasi dan bagan proyek yang ia tak benar-benar mengerti. Seorang pria paruh baya berkacamata duduk di tengah, wajahnya teduh tapi berwibawa. Arum memperkenalkan, dengan suara yang sopan tapi mantap:“Mas, ini Pak Ridwan — kepala bidang digitalisasi pelayanan kesehatan daerah. Dulu saya sempat kerja di bawah beliau.”Pak Ridwan menatap Nasrul sekilas, lalu menyalami tangannya hangat. “Wah, ja
Sudah hampir sebulan berlalu sejak malam itu. Namun setiap kali Arum menatap langit-langit kamarnya, bayangan Nasrul masih menempel di sana — samar tapi nyata, seperti bekas cahaya lilin yang belum padam.Suaminya, Deni, kini jarang memberi kabar. Alasannya klasik, masih sibuk lembur di pabriknya. Pesannya selalu pendek, kering, dan dingin:“Aku lembur. Tidur duluan aja, Yang.” Lalu hilang berhari-hari. Tak pernah berkabar dulu kalau tak dichat Arum lebih dulu.Lelah, Arum mulai berhenti menunggu. Rumahnya makin sepi, dan di tengah kesunyian itu, justru sosok lain yang datang menyelinap dalam pikirannya — seseorang yang belakangan ini terasa sangat dekat, tapi kini pun hilang tanpa kabar, sama seperti suaminya.Ia masih ingat jelas — malam ketika Nasrul berbaik hati rela mengetuk pintunya dengan cemas. Hampir tengah malam waktu itu, dan Arum lupa menutup pintu depan karena ketiduran. Ketukan pelan disertai suara parau:“Rum, pintumu kebuka. Kunci dulu, nanti ada maling.” Suara
Sudah tiga minggu berlalu sejak hari pemecatan itu, tapi suasana rumah Nasrul belum juga kembali seperti dulu. Pagi-pagi, suara motor tetangga yang berangkat kerja hanya jadi pengingat betapa kini ia tak lagi punya tujuan pasti setiap hari.Kadang Nasrul keluar pagi dengan alasan “ada urusan”, kadang hanya rebahan di rumah sambil menatap langit-langit. Kalau tak begitu, sore hingga petang ia nongkrong di warkop ujung gang, duduk bersama beberapa kawannya sambil menyeruput kopi hitam dan mengisap rokok tanpa henti.“Masih nyari-nyari kerja, Rul?” tanya salah satu temannya.Nasrul hanya tersenyum hambar. “Iya, masih. Tapi susah, Bro. Sekarang saingan banyak, gaji kecil. Yang minta pengalaman malah nggak mau bayar sepadan.”Obrolan di warkop berakhir begitu saja, tapi di dada Nasrul, keresahan menumpuk seperti asap rokok yang menggantung di udara. Setiap hari ia berusaha terlihat tenang, padahal pikirannya penuh perhitungan dan jalan buntu.Di rumah, Ningsih mulai kehilangan sabar. Setia
Langit sore di atas atap rumah Nasrul berwarna kelabu. Awan menggantung berat, seolah tahu ada badai yang siap menghempas biduk kecil itu. Pintu depan berderit pelan saat Nasrul mendorongnya. Bau masakan sederhana menyambutnya, tapi hari itu aroma itu tak lagi menenangkan. Istrinya, Ningsih, menoleh dari dapur dengan senyum lelah. “Lho, kok cepat pulang, Mas? Ada apa di toko?” tanyanya ringan, belum sadar badai apa yang akan datang.Nasrul terdiam. Pandangannya kosong. Jemarinya gemetar saat meletakkan tas kerjanya di kursi. Ia mencoba membuka mulut, tapi suaranya serak. “Ningsih… aku—aku nggak kerja lagi di sana.”Senyum di wajah istrinya langsung pudar. “Lho? Maksudnya apa, Mas?”Nasrul menelan ludah. “Aku… dipecat, Dek.”Suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat dunia Ningsih seolah berhenti berputar. Panci di tangannya jatuh ke lantai, berdenting keras. “Dipecat?! Astaghfirullah, Mas… kenapa?”Ningsih mendekat, menatap suaminya tak percaya. Mata lembutnya kini beruba
Pagi itu, suasana di gerai ponsel terbesar di kota “K” terasa lebih ramai dari biasanya. Nasrul datang dengan wajah yang masih letih. Malamnya ia hampir tidak tidur, pikirannya penuh dengan bayangan Arum dan panasnya obrolan semalam. Ia berusaha mengalihkan, menata kemeja, lalu masuk ke ruang servis.Belum sempat ia menyalakan solder, pintu ruangannya terbanting keras. Samsul, anak pemilik toko, masuk dengan wajah merah padam. Di tangannya ada sebuah ponsel mewah berwarna hitam mengilap.Samsul: “Mas Nasrul! Ini maksudnya apa? Kenapa bisa begini? Udah seminggu lebih HP klien VIP ini belum rampung! Tahu nggak siapa yang punya ponsel ini?”Nasrul (terkejut, buru-buru bangkit): “Mas Samsul… saya tahu, itu HP Pak Gunawan, kan? Saya sudah kerjakan, tinggal pasang modul akhir—”Samsul (memotong kasar): “Tinggal pasang modul? Alasan saja kau mas! Orangnya barusan ke sini, ngamuk-ngamuk! Katanya hari ini juga harus dipakai, soalnya besok pagi dia terbang ke Singapura! Terus aku harus jawab
Mas… aku malu.. Tapi… iya, aku penasaran…Kalimat itu membuat Nasrul terdiam kaku. Ponsel di tangannya bergetar tipis, padahal bukan karena notifikasi, melainkan tangannya sendiri yang gemetar. Ia menaruh ponsel di meja, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.Hatinya berkecamuk. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun cepat. Otaknya penuh bayangan liar, tapi juga ada suara kecil yang menahan: “Jangan… ini kelewatan.”Beberapa menit ia membiarkan layar ponsel redup sendiri. Jantungnya tetap menghentak keras, seperti dentuman piston. Ia bahkan berdiri, dudu lagi, dan berdiri lagi, mencoba menenangkan diri.Tapi rasa penasaran dari Arum terus berdengung di kepalanya. Kata-kata “iya, aku penasaran” seolah menempel di telinganya, berulang-ulang tanpa henti.Ia kembali duduk. Jemarinya menyentuh layar, membuka kolom chat. Cahaya biru ponsel menerpa wajahnya yang tegangTangannya berhenti tepat di atas tombol “kirim”. Ia menatap layar lama sekali, jantungnya serasa ingin pecah.Arum di kama