Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. “Aku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,” “Ma, rendang yang sekilo tadi mana?” Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. “Ini rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,” katanya saat membuka kotak yang pertama. “Ini ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,” “Ada empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
“Fattan, makan yang banyak biar sehat!” seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. “Mau nambah?” Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
“Tia, Kau mau ke mana?” tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. “Aku mau ke wartel, Ma!” “Ke wartel?” Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. “Ada seseorang yang mau aku telpon,” sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
“Apa itu?” selidik ibunay tidak sabar. “Kau bukin ibu deg-degan aja, sayang!” “Mas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,” “Oh….cepet sekali!” tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. “Dia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,” Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. “PAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,” “Iya, Ma,” sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
Sejak membaca SMS Mas Fahmi di HP ibu mertuanya, hati Tiara langsung berbunga-bunga. Dia mendapat kabar yang sangat mebahagiakan hatinya. Hari ini suaminya akan pulang, dia memberi kabar kalau sedang dala perjalanan menuju Jakarta.Tiara langsung mempersiapkan penampilannya. Mendadani dirinya sebaik mungkin untuk menyenangkan suami. Luar dalam dia rapikan dan dibuat wangi agar memesona.Dia juga anak-anaknya. Maklum, waktu ini yang sudah ditunggunya. Yang selalu dia panjatkan dalam setiap doanya karena sudah empat tahun lamanya Mas Fahmi tidak pulang. Tepatnya ketika dia diangkat menjadi PNS dan ditugaskan ke pulau terluar dan terpencil.Sore itu, Tiara mengenakan mini dres berwarna putih tulang dengan barisan kancing dengan warna senada di bagian depannya. Baju terbaik yang dimilikinya ini adalah baju pemberian Mas Fahmi saat lamaran, tujuh tahun yang lalu.“Tia, anak-anak sudah makan dan mereka lagi mandi,” Bu Nur datang ke kamarnya, mengagetkan Tiara yang tengah merapikan
Dihujani pertanyaan seperti itu, Fahmi masih tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia juga tidak membuka suara meskipun Melly sudah menatapnya. Memberi kode pada suaminya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara."Kenapa diam?" Tiara makin emosi karena sikap diamnya Fahmi dan gayanya Melly yang begitu tenang.Wanita itu seolah tanpa dosa, memandang Taira dan suaminya secara bergantian."Mas!"Pekik Tiara."Apa salahnya aku sampai kau juga membawa pelakor ini ke rumah?""Tiara!" Tegur Bu Nur.Dia terpaksa angkat suara karena Tiara sudah teriak di depan anak-anak untuk mengungkapkan kekesalannya. Mana bisa Bu Nur melihat situasi itu. Ketiga cucunya nangis sambil memeluk Taira.Bu Nur tidak mau anak-anak yang masih polos itu melihat pertengkaran orang tuanya.Bu Nur tahu. Tiara semakin dikuasai amarah, suaranya membuat resah Bu Nur. Tak ingin keributan anak dan mantunya itu didengar tetangga, dia langsung menengahi."Jangan teriak-teriak begitu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,""Mas
Tanpa menjelaskan kemana perginya Fahmi dan Melly, Bu Nur langsung menceritakan apa yang dia dengar langsung dari anaknya tadi, pada Tiara."Fahmi sudah cerita. Dia menikahi Melly tiga tahun yang lalu,""Mama benar-benar tidak tahu?" selidik Tiara dengan kehati-hatian. Dia takut menyinggung orang yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri."Tia, selama ini kita memakai HP yang sama. Jika Fahmi SMS atau telpon, kau pasti tahu,""Iya, Ma!"Tiara percaya itu karena HP milik Mamanya itu memang selalu diletakkan di atas kulkas. Baik Bu Nur maupun Taira, sangat jarang keluar rumah. Jadi, apapun yang terjadi di rumah ini, dia pasti tahu.Dia bertanya seperti itu karena Melly bilang kalau Papanya Fahmi yang jadi saksi pernikahan mereka.Ayah mertuanya itu memang tidak tinggal di rumah ini. Bu Nur sudah lama ditinggal suaminya, tepatnya ketika Fahmi masih sekolah.Yang Tiara tahu, ayahnya Fahmi tinggal di Pekan Baru dan sudah punya keluarga yang baru.Tiara juga tahu kalau antara Bu Nur dan Ay
Sikap ibunya Melly yang ramah dan sopan, membuat Bu Nur menyambut mereka dengan ramah.Tiara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika wanita yang sepantaran mertuanya itu menyalaminya, dia juga mengulurkan tangannya dan berusaha tersenyum."Tiara, senang bertemu denganmu!"Akhirnya mereka semua berkumpul di ruang tamu. Kini Tiara baru tahu, ternyata Mas Fahmi dan Melly sempat tidak terlihat beberapa saat, ternyata menjemput wanita ini.Bersama mereka ada seorang pria lain tapi entah kenapa tidak ikut masuk. Pria itu hanya duduk di teras."Sebenarnya kami sudah sampai di Jakarta pagi tadi tapi karena perjalanan jauh dan Fahmi juga bilang kalau dia belum kasih tahu ke ibu kalau mau pulang hari ini, jadi saya putuskan untuk istirahat di hotel,""Oh.. begitu. Kenapa harus ke hotel segala Fahmi? Kalau kau bilang lebih awal, mama bisa beres-beres. Kita punya empat kamar. Bisa kok kalau hanya untuk istirahat saja,""Terimakasih Bu Nur. Saya tidak mau merepotkan. Apalagi dengan kondisi yang se