Empat tahun tugas di luar kota dan tidak pernah memberi kabar apapun, tiba-tiba suaminya pulang. Dia tidak sendiri tapi dengan wanita yang sudah dia nikahi tiga tahun yang lalu dan kini tengah mengandung anak pertama mereka. Bagaimana nasib Tiara sejak dimadu dan mereka sama-sama tinggal di rumah mertua? Ikuti kisahnya dalam novel aku yang berjudul "Tergusur dari Rumah Mertua"
View MoreSejak membaca SMS Mas Fahmi di HP ibu mertuanya, hati Tiara langsung berbunga-bunga. Dia mendapat kabar yang sangat mebahagiakan hatinya. Hari ini suaminya akan pulang, dia memberi kabar kalau sedang dala perjalanan menuju Jakarta.
Tiara langsung mempersiapkan penampilannya. Mendadani dirinya sebaik mungkin untuk menyenangkan suami. Luar dalam dia rapikan dan dibuat wangi agar memesona.
Dia juga anak-anaknya. Maklum, waktu ini yang sudah ditunggunya. Yang selalu dia panjatkan dalam setiap doanya karena sudah empat tahun lamanya Mas Fahmi tidak pulang. Tepatnya ketika dia diangkat menjadi PNS dan ditugaskan ke pulau terluar dan terpencil.
Sore itu, Tiara mengenakan mini dres berwarna putih tulang dengan barisan kancing dengan warna senada di bagian depannya. Baju terbaik yang dimilikinya ini adalah baju pemberian Mas Fahmi saat lamaran, tujuh tahun yang lalu.
âTia, anak-anak sudah makan dan mereka lagi mandi,â Bu Nur datang ke kamarnya, mengagetkan Tiara yang tengah merapikan rambutnya di depan meja rias.
âIya, Ma. Sudah aku siapkan. Sebentar, aku akan memakaikan baju mereka,â
âUdah, biar mama aja. Kau siap-siap saja!â sela wanita itu. Dia cukup paham bagaimana suasana hati menantunya ini yang ingin menyambut sang suami dengan tampilan yang maksimal.
Usai berkata seperti itu, Bu Nur melihat tumpukan pakaian di atas tempat tidur dan mengambilnya. Sebelum meninggalkan kamar, di melihat menantunya itu lagi.
âMas Fahmi sudah sampai mana?â tanya Tiara tidak sabar.
âBelum ada kabar lagi. SMS yang terakhir itu aja,â sahut Bu Nur, dia mengulang apa yang dikatakan oleh anak tunggalnya itu kalau saat ini sudah ada di terminal Terminal Kali Deres dan sedang menuju ke rumah.
âHarusnya sudah sampai ya, Ma?â
âIya, sih,â wanita yang berumur sekitar enam puluh tahun itu menjawab dengan senyum yang penuh arti. Dia tahu bagaimana perasaan Tiara saat ini. Sejak mendapat SMS dan dia langsung memberitahu mantunya, Tiara sangat ceria sekali.
Bu Nur mendengar Tiara bersenandung sambil membereskan kamar tidur dan merapikan diri. Apalagi ketika Bu Nur bilang kalau dia saja yang menyiapkan makanan dan mengurus anak-anak, Tiara tampak surprice sekali.
Tiara memang menantu di keluarga ini, istri Fahmi, anak satu-satunya di keluarga ini. Tapi, sebagai mertua, Bu Nur tidak pernah membedakan antara anak kandung dan anak menantu. Baginya, antara Fahmi dan Tiara, sama-sama anaknya.
Dia merasa beruntung karena Tiara yang notabene adalah anak dari teman kerjanya itu, anak-satu-satunya juga mau menerima pinangan Fahmi yang saat itu masih bekerja sebagai guru honor.
Tiara tidak minta mahar yang mahal, dia juga tidak keberatan ketika Fahmi hanya bisa memberinya satu suku Mas 24 karat sebagai ikatan.
Padahal, sebagai anak tunggal dari keluarga yang cukup mampu, Tiara hidup dalam limpahan kasih sayang.
Tapi karena cintanya pada suami, setelah menikah dia rela ikut mertua dan dia juga tidak pernah protes ketika Famhi hanya bisa memberinya uang seratus ribu saja perbulan.
âKita tinggal gratis di rumah Mama. Uang ini cukup kok untuk makan kita bertiga,â katanya kala itu yang membuat Bu Nur berkaca-kaca mendengar kedewasaan menantunya itu.
Seiring berjalannya waktu, sampai dia hamil dan lahirlah Fattan, Fadlan, dia bisa mengatur pendapatan suami yang hanya membawa pulang uang dua ratus ribu saja perbulan.
âMama kenapa?â tanya Tiara bingung karena mertuanya itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Bu Nur tergagap. Dia tersenyum setelah sadar dari lamunan dan buru-buru menjawab.
âKamu cantik sekali, Nak!â
âTerima kasih, Ma!â Tiara hanya bisa menimpali pujian itu sambil tersenyum.
Tak lama, Bu Nur keluar. Tiara kembali menatap dirinya di depan kaca. Dia mengamati penampilannya dari ujung kepala hingga ke kaki.
Memang tidak banyak berubah antara Tiara yang dinikahi Fahmi tujuh tahun lalu dengan Tiara yang saat ini. Meskipun tinggal bersama mertua, hidup dengan penghasilan suami yang sangat minim namun dia sangat pandai bersyukur. Termasuk ketika selama di perantauan, Mas Fahmi tidak memberi kabar dan juga tidak memberinya uang, dia masih berpikir positif.
Suaminya tinggal jauh dari keramaian. Awal-awal menjadi PNS golongan tiga bisa ketakar berapa pendapatan yang dibawa pulang. Jadi mungkin uang itu hanya bisa untuk bayar kos, makan dan transpor Mas Fahmi di sana.
Apalagi Mama juga pernah menghiburnya, Fahmi pasti menabung uangnya agar dia bisa kembali lagi ke Jakarta dan menetap bersama dengan anak dan istrinya.
âMutasi butuh biaya. Jadi sabar aja jika dia tidak mengirim kita uang. Pensiun Mama masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita,â
Itulah kata-kata yang selalu menguatkan Tiara ketika perasaannya dihinggapi keraguan. Tujuh tahun pertama pernikahan, ujian rumah tangga mereka yang utama adalah ekonomi.
Sekarang, suaminya sudah menjadi PNS dan menurut rencana, setelah empat tahun di sana, Mas Fahmi akan kembali ke Jakarta.
Tiara tersenyum. Dia setuju dengan Mama mertuanya. Dia memang cantik meskipun gaun yang dipakainya ini bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman.
âMa!â teriak Fattan dengan suara yang keras sambil mendobrak pintu.
Tiara kaget. Dia langsung membalikkan badan dan melihat anak sulungnya itu sudah rapi.
âMa, Papa da dateng!â katanya sebelum Tiara menasehatinya karena masuk ke kamar tanpa permisi.
âSudah dateng?â tanya Tiara seakan tak percaya. Dia melihat ke luar kamar dan sepertinya, apa yang dikatakan Fattan itu benar. Terdengar suara Mas Fahmi yang menyapa Mamanya.
Tanpa banyak bicara, Tiara langsung menerobos keluar. Dia melupakan Fattan yang masih berdiri di depan pintu menunggunya.
Belum sampai di ruang tamu, langkah Tiara langsung tertahan dengan sendirinya. Kakinya seakan terpaku di lantai dan lututnya mulai bergetar.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, duduk seorang pria yang sangat dia kenal. Pria yang sudah memberinya tiga orang anak itu tengah menatap Bu Nur yang duduk di sampingnya.
Yang membuat jantung Tiara seolah ditikam oleh pedang adalah, wanita yang ada di sebelah Mas Fahmi, yang melingkarkan tangan kanannya di lengan Mas Fahmi.
âMa, aku minta maaf. Aku tidak kasih kabar ke Mama kalau Melly akan pulang bersamaku,â
Bu Nur tidak menanggapi permintaan maaf anaknya itu. Tubuhnya masih mematung. Tiara juga tidak bisa memastikan bagaimana rekasinya karena Bu Nur duduk membelakanginya.
âMa!â Fattan mendekat. Suaranya membuat Fahmi dan wanita yang ada disampingnya langsung melihat ke arah Tiara dan ketiga anaknya.
âMa, Papa aku mana?â kini suara Fauzan yang menyembunyikan wajahnya di pinggul Tiara membuat Bu Nur langsung berdiri dan mengambil ketiga cucunya.
âTiara, tunggu di sini. Mama akan membawa naka-anak ke kamar!â
Setelah Bu Nur membawa ketiga anaknya, entah mendapat kekuatan dari mana, Tiara langsung menghampiri mereka berdua dan berdiri tepat di depan Mas Fahmi. Dia langsung lepas kendali karena gemuruh di dadanya yang sdah tidak bisa dia tahan.
âMas, siapa wanita ini?â tanyanya dengan suara yang tegas. Tatapannya yang tajam menusuk pandangan Melly yang juga tengah menatapnya.
âKenapa dia terus mendekap lenganmu?â
âJelaskan, Mas!â
âApa karena wanita ini kau tidak pernah memberi kabar pada kami?â
âApa itu?â selidik ibunay tidak sabar. âKau bukin ibu deg-degan aja, sayang!â âMas Fahmi tidak hanya pulang, Bu. Tapi dia sudah mengurus mutasinya ke Jakarta,â âOhâŠ.cepet sekali!â tidak bisa dipungkiri, Bu Dahlia sangat terkejut mendengan berita ini. âDia baru empat tahun jadi PNS, bulan depan pas tapi sudah mengurus pindah. Fahmi benar-benar hebat, kau tidak salah memilih suami, sayang,â Tiara terdiam. Dia bingung harus menanggapi apa. âPAdahal Ibu baru saja kepikiran soal itu. Ibu ga tega melihat kau jauh dari Fahmi. Mungkin karena niatnya yang begitu kuat untuk kumpul kembali keluarga, agar ga sering- sering meninggalkan kalian, dia bekerja dengan giat mengumpulkan uang untuk mengurus kepindahan ini. Tia, Ibu benar-benar terharu. Fahmi itu sama seperti ayahnya, pria yang ulet mencari nafkah untuk keluarga. Kau harus menghargai pengorbanan dia. Jangan ungkit kenapa dia tidak pernah memberi kaba r karena kita sudah tahu jawabannya,â âIya, Ma,â sahutnya lesu. Tadinya Tiara ing
âTia, Kau mau ke mana?â tanya Bu nur sekali lagi. Dia khawatir kalau anak menantunya itu tidak mendengar pertanyaannya, jadi dia mengulanginya sekali lagi. âAku mau ke wartel, Ma!â âKe wartel?â Bu Nur makin kaget. Seumur-umur Tiara belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Kalau dia mau gobrol sama Mamanya, kalau tidak menggunakan telpon rumah, pasti menggunakan HP jadulnya. âAda seseorang yang mau aku telpon,â sahut Tiara. Dia menyebut seseorang dan Bu Nur tahu kalau Tiara tidak mau menyebut identitasnya. Karena situasinya tidak mungkin untuk bertanya lebih banyak, Bu Nur akhirnya membiarkan Tiara yang pergi seorang diri saja. Anak-anak sedang berbagi makanan yang dibawa oleh Melly,jadi tidak ada yang sadar kalau Tiara pergi. Termasuk Tanaya yang biasanya tidak bisa tinggal dari Tiara, kini sibuk dengan coklat batangan yang dibagi untuknya. Meskipun sedih, Tiara merasa diuntungkan juga. Jadi dia bisa pergi sebentar tanpa anak-anak untuk melepaskan kepenatan yang membuat kepalany
âFattan, makan yang banyak biar sehat!â seru Melly ketika melihat anak sulung suaminya itu makan dengan lahapnya. Satu porsi bubur ayam lengkap ditambah satu potong paha ayam goreng, habis dilahapnya dalam beberapa detik saja. Melly terlihat sangat senang. Meskipun anak-anaknya Fahmi masih cangcung dengannya tapi mereka tidak malu-malu makan bersama dirinya. âMau nambah?â Fattan menggeleng dengan ragu. Dia menolak tawaran itu bukan karena sudah kenyang tapi karena tidak biasa makan dalam porsi yang banyak. Setiap makan, baik Nenek maupun Mamanya selalu membagi-bagi lauk untuknya dan kedua adiknya. Selama ini mereka berlima hidup hanya mengandalkan uang pensiun Bu Nur saja. Uang yang tidak seberapa jumlahnya itu harus dibagi-bagi untuk uang susu dan kebutuhan lainnya. Sudah bisa ditebak, bagaimana menu yang terhidang di meja ini setiap harinya. Yang Fattan ingat, seumur-umur dia belum pernah makan semewah ini. Tiara tidak punya uang sendiri, dia juga tidak pernah mengajak anaknya
Melly terus membereskan barang bawaannya sambil menjelaskan, apa-apa saja yang dia beli untuk sarapan hari ini. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan heran Bu Bur. âAku lihat daftar menu di hotel dan harganya juga cukup terjangkau. Jadi setelah aku pikir-pikir, daripada sarapan berdua saja di sana, aku pesan sekalian untuk semua keluarga,â âMa, rendang yang sekilo tadi mana?â Dia bertanya sambil memandang plastik yang di tenteng Mamanya. Karena sudah diingatkan oleh anaknya, Bu Nung meletakkan platik itu ke atas meja dan mengeluarkan isinya. Masing-masing kantong berisi dua kotak berukuran besar. âIni rendang asli, Ma. Kayaknya enak, jadi aku pesen sekalian buat kita semua,â katanya saat membuka kotak yang pertama. âIni ayam goreng serundeng. Mungkin anak-anak ga suka rendang, jadi aku pesen khusus paha dan dada untuk mereka,â âAda empal juga, masih fresh nih. Kata kokinya baru dimasak tadi sore. Mas Fahmi suka banget empal yang model begini. Aku suka buatkan buat bekal mak
Tiara sudah bangun sejak jam lima pagi tapi dia masih diam di tempat tidur karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan pagi ini.Dia ingin keluar untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tapi dia tahu kalau Fahmi masih ada di rumah. Karena dia tidak mau melihat suaminya lah, dia enggan beranjak dari kamar.Pun ketika si bungsu bangun dan minta ke kamar mandi untuk pipis, Tiara malah menyuruh anak yang masih berumur tiga tahun itu keluar dari kamar.âAda Nenek di belakang. Pipis sendiri, ya!âTayana yang belum tahu ada apa dengan orang tuanya itu dengan patuh turun dari tempat tidur dan dengan langkahnya yang menggemaskan langsung berlari ke luar.Pintu kamar terbuka. Fahmi yang masih duduk di ruang tengah usai sholat subuh langsung menangkap sesosok anak kecil yang lucu dan menggemaskan berlari menuju ke dapur.Tanaya sempat menahan langkahnya karena melihat Fahmi. Ketika Fahmi mengulurkan kedua tangannya dan ingin menangkapnya, secara refleks anak itu menghindar.âNenek!â dia lan
âTiara tidak akan melakukannya, Ma!â kata Fahmi dengan begitu yakinnya setelah keduanya diam cukup lama.Bu Nur benar-benar takut akan hal ini. Apa yang sudah dicapai Fammi dengan bersusah payah akan lepas begitu saja jika apa yang dia pikirkan itu terjadi. Dan Bu Nur rasa, perkara ini belum disadari oleh Fahmi, Melly dan keluarganya.âKenapa tidak? Dia memang pendiam dan sangat patuh pada kau dan Mama. Tapi kalau dia sakit hati, apa kau bisa jamin dia tidak melakukan itu untuk menghancurkan kau dan Melly?ââJika kau pengangguran dan tanggunaganmu juga banyak, apa kau pikir Melly masih mau denganmu? Kau tidak hanya akan kehilangan pekerjaanmu tapi kau akan kehilangan istri-istrimu,ââMa, itu tidak akan terjadi. Percayalah!ââTiara tidak sejahat itu!âMeskipun hatinya gentar mendengar apa yang dikatakan Mamanya, dia tetap berusaha agar Mamanya tidak panik. Jujur, dia tidak berpikir sampai ke sana karena yang dia tahu, Tiara itu anak yang patuh dan dia juga tidak faham dengan urusan ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments