Malam itu mereka keluar ke balkon kecil. Langit Praha seperti laut hitam yang dibentangkan. Di antara lilin kecil dan selimut yang mereka bagi berdua, Nadiya bergumam,
“Apa kamu percaya takdir?”“Aku percaya... pada keputusan,” kata Kenzo.“Dan aku memilih kamu. Bahkan jika dunia memutar ulang semua kisah ini, aku akan tetap jalan ke arahmu.”Nadiya menatapnya lama. Kemudian ia bersandar pada bahu Kenzo.“Kalau begitu... lindungi aku. Tapi jangan lupa izinkan aku melindungimu juga.”Dan di bawah cahaya temaram, mereka tak berbicara lagi. Tak perlu kata.Hanya keheningan yang hangat, seperti dua jiwa yang saling merawat luka satu sama lain.Esok pagi, mereka akan menyusup ke tempat penuh misteri.Tapi malam ini, mereka hanya dua anak muda—yang saling menemukan, di tengah dunia yang tak pernah diam.Langkah kaki Kenzo dan Nadiya bergema pelan di lorong batu yang lembap. Lampu senter kecil di tangan mereka menyaBeberapa minggu berlalu. Florence dan Genoa mulai tenang. Museum dan galeri kembali dibuka. Tapi dunia bagi mereka yang kehilangan tidak pernah kembali sama. Pemakaman Kenzo dilakukan di puncak bukit kecil di luar Florence. Di bawah pohon tua, menghadap ke danau. Aurea dan Aruna datang memeluk Nadiya. Narumi berdiri memeluk Kaisar, yang menahan air mata di balik kacamata hitam. “Dia... meninggalkan dunia ini dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mencintai terlalu dalam,” kata Kaisar. Dara tidak bicara banyak. Ia hanya meninggalkan lukisan kecil di atas makam Kenzo. Lukisan mereka bertiga—Kenzo, Dara, dan Nadiya—di bawah langit penuh bintang. Beberapa bulan kemudian, Nadiya menerima sepucuk surat yang ditulis tangan: "Nadiya... Jika aku tak kembali, jangan terus menangis. Karena setiap kali angin membelai rambutmu, aku ada di sana. Aku ingin kamu ter
Malam itu mereka keluar ke balkon kecil. Langit Praha seperti laut hitam yang dibentangkan. Di antara lilin kecil dan selimut yang mereka bagi berdua, Nadiya bergumam,“Apa kamu percaya takdir?”“Aku percaya... pada keputusan,” kata Kenzo.“Dan aku memilih kamu. Bahkan jika dunia memutar ulang semua kisah ini, aku akan tetap jalan ke arahmu.”Nadiya menatapnya lama. Kemudian ia bersandar pada bahu Kenzo.“Kalau begitu... lindungi aku. Tapi jangan lupa izinkan aku melindungimu juga.”Dan di bawah cahaya temaram, mereka tak berbicara lagi. Tak perlu kata.Hanya keheningan yang hangat, seperti dua jiwa yang saling merawat luka satu sama lain.Esok pagi, mereka akan menyusup ke tempat penuh misteri.Tapi malam ini, mereka hanya dua anak muda—yang saling menemukan, di tengah dunia yang tak pernah diam.Langkah kaki Kenzo dan Nadiya bergema pelan di lorong batu yang lembap. Lampu senter kecil di tangan mereka menya
Ara tersentak bangun. Tubuhnya berkeringat. Tangan kanannya mengarah ke leher, seolah mencari liontin — yang memang telah hilang sejak kecil.Dan hanya ada satu kalimat darinya:“Aku... punya saudari?”Dara diperbolehkan masuk sebagai “pengunjung tanpa identitas”. Ia memakai hoodie abu gelap, rambutnya digerai, ekspresinya kosong. Tapi di matanya, rindu dan takut beradu tanpa kompromi.Ara duduk di tepi ranjang, tangan mengepal. Lalu saat Dara hanya berdiri — tak bicara — Ara melangkah... pelan.Mereka berdiri berhadapan.Dara mengangkat tangan, menyentuh wajah Ara perlahan.“Aku tahu matamu, bahkan sebelum aku bisa melihatnya jelas.”“Kita dibentuk untuk dilupakan. Tapi aku memilih mengingatmu.”Ara pun mengangguk pelan, lalu memeluk Dara.“Kalau begitu... bisakah kita mulai dari sekarang?”“Bukan sebagai eksperimen. Tapi sebagai manusia?”Kenzo duduk di atas atap apartemen tua milik N
Proyeksi terakhir memutar satu kenangan yang bahkan Dara sendiri tak tahu pernah terjadi.Seorang gadis kecil lain—tak bersuara, hanya menatap dari balik jendela.Wajahnya asing… tapi mata itu... seperti menyalin bayangan Dara.Apakah itu cermin, atau saudara kembar?Suara terekam samar:“Prototipe 02-B. Nama: Ara…”Suara sintetis dari sistem Cermin Kenangan berkata, “Konflik emosional tak teratasi. Potensi manipulasi memori tinggi. Trauma belum selesai.”Dara memukul cermin dengan tangan berdarah.“Aku tahu siapa aku. Aku tahu apa yang kalian lakukan pada kami. Dan sekarang, aku akan membuat dunia tahu juga.”Dara terduduk lemas di sudut ruang.Tangan kanan menggenggam erat gelang rajut merah yang dulu diberikan Nadiya.“Kalau kamu disakiti… aku akan mencarimu. Aku janji.”Nadiya menepati janji itu. Kini giliran Dara menebus segalanya.Dalam ruangan bawah tanah yang terjaga suhu da
"Dara mungkin diculik. Mungkin bersembunyi. Atau mungkin... dipaksa kembali ke dalam proyek yang dulu ingin dia tinggalkan.""Tapi ada satu hal yang tak berubah dalam suaranya—ia masih Dara. Bukan sekadar objek eksperimen. Ia Dara yang pernah menatapku tanpa dendam, hanya lelah. Dan aku tidak bisa meninggalkannya sekarang."Mereka menemukan kamar tersembunyi di bawah vila yang terkunci rapat.Di dindingnya, tergores sebuah tanggal yang belum terjadi:“14 Agustus — Hari Penyatuan”…dan tiga nama tertulis samar:K, N, dan D.Kenzo menggenggam lencana Dara—yang sempat ia selamatkan dari puing-puing.“Kau masih hidup. Dan kita akan membawamu pulang. Dengan kebenaran utuh.”Surat itu tiba dengan cara yang tak biasa — diselipkan diam-diam ke dalam buku sketsa tua milik Nadiya yang ia simpan di dalam koper, terkunci.Ketika membukanya, satu lembar kertas terlipat rapi, namun sudutnya mengering dengan noda merah yang
“Atau korban pertama. Kita tak tahu pasti. Tapi... aku akan membantumu menemukannya.” “Kenapa kau membantu kami sekarang?” tanya Nadiya.“Karena... aku ingin menghancurkan Umbra. Dari dalam. Dan hanya kalian yang punya kunci akhir.”Lalu keheningan kembali hadir.Nadiya memandangi Dara. Wajah yang pernah jadi saingan. Pernah jadi sahabat. Dan kini... berada di antara dua sisi: pengkhianat atau penebus.“Satu kesalahan lagi, Dara... dan aku sendiri yang akan memutuskan jalurmu.”Dara tersenyum kecil.“Itu adil. Karena kau satu-satunya yang pernah aku percaya tanpa rencana.”“Kita mulai kapan?” tanya Kenzo. “Malam ini. Karena besok... Florence takkan pernah sama.”Mereka berdiri hampir bersamaan.Di tangan Nadiya, chip itu terasa seperti bara.Dan dari jendela kafe, siluet seorang pria berjubah abu-abu tampak mengamati dari kejauhan. Dia tak dikenal, tapi ada lambang seri