Ruang bimbingan terasa sesak meski bangku-bangku tertata rapi.Aruna duduk di pojok, catatan terbuka di depannya, berusaha fokus pada materi.Namun tatapan beberapa teman sekelompok mulai terasa menilai, dan bisik-bisik kecil terdengar di antara mereka.Di sudut ruangan, Julia duduk tersenyum manis, memanfaatkan kesempatan untuk menanam konflik halus.Saat diskusi dimulai, ia menoleh ke beberapa anggota kelompok Aruna.“Eh, kalian nggak merasa Aruna kadang terlalu banyak minta pendapat Ezra? Aku cuma khawatir kerja kelompok jadi nggak merata,” bisiknya pelan tapi cukup terdengar beberapa orang.Beberapa anggota lain menatap Aruna, wajah mereka berubah samar: ada rasa ragu, ada bisik-bisik tak terlihat jelas.Aruna menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang,“Sebenarnya aku hanya ingin memastikan semua tugas tepat, tapi kalau itu mengganggu, aku bisa menyesuaikan…”Julia tersenyum tipis, seolah prihatin.“Ah, nggak apa-apa, tapi kan penting supaya semua orang merasa dihargai. Biar a
Hujan gerimis mulai menetes di luar jendela, menciptakan suasana sunyi di rumah Aruna.Di kamar, lampu meja menyala lembut, memantul di dinding, tetapi Aruna tetap tak bisa tidur.Ia duduk di tepi tempat tidur, tas masih ada di lantai, tangan menatap buku catatan kosong.Pikiran tentang gosip yang Julia sebarkan dan komentar halus panitia hari ini terus berputar di kepalanya.Kepalanya berdenyut, dada terasa sesak, dan matanya mulai berair karena tekanan psikologis yang menumpuk.“Kenapa semua orang harus menilai aku terus…?” gumamnya lirih, suara nyaris tak terdengar.Di ruang tamu, terdengar langkah ringan. Ezra duduk di sofa, jas hujan masih basah sedikit, matanya menatap Aruna dengan kekhawatiran yang dalam.Ia bangkit pelan dan masuk ke kamar, menunduk sedikit agar Aruna tak kaget.“Aruna… kamu nggak usah memaksakan diri tidur kalau belum siap,” ucapnya lembut.Aruna menoleh, matanya sembab.“Ezra… aku… rasanya capek b
Bangku-bangku kayu tertata rapi di ruang bimbingan, tapi suasana terasa berbeda dari biasanya.Aruna duduk di satu sisi, catatan dan buku terbuka di depannya, mencoba fokus pada materi yang diberikan.Beberapa teman sekelompok menatapnya dengan ekspresi samar, ada rasa ragu, ada bisik-bisik kecil yang terus terdengar.Di pintu masuk, Julia muncul dengan senyum manis.Ia menyapa beberapa anggota kelompok lain, lalu mendekati Aruna seolah ingin “menghibur.”“Eh, Aruna… aku dengar kemarin kamu agak… telat menyerahkan laporan, ya? Padahal kita kan harus kompak,” ucap Julia dengan nada pura-pura prihatin, menatap teman sekelompok lain.Beberapa anggota lain menatap Aruna, raut wajah mereka mulai berubah—antara bingung dan sedikit ragu.Aruna menelan ludah, mencoba menjawab dengan lembut,“Aku… sebenarnya sudah menyerahkannya, tapi mungkin ada kesalahan administrasi.”Julia tersenyum tipis, mencondongkan tubuh, berbisik seolah hanya
Ruang rapat dipenuhi cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar, tapi suasana tetap tegang.Panitia inti sudah berkumpul, beberapa panitia junior duduk berjajar, wajah mereka serius, bisik-bisik kecil terdengar di sudut-sudut ruangan.Di depan meja, Aruna berdiri dengan raut tegang tapi berusaha menahan diri.Setiap tatapan dari panitia lain terasa menusuk, menilai, menunggu kesalahan sekecil apa pun.Di pojok ruangan, Ezra, Raska, dan Nadia duduk, menatap layar laptop dan beberapa dokumen print-out yang baru mereka susun.Mereka tahu ini momen yang menentukan: bukti manipulasi Julia harus ditunjukkan tepat waktu agar Aruna terbebas dari tuduhan palsu.Ketua rapat membuka dengan nada formal.“Kita akan membahas laporan evaluasi kegiatan Maba dan kepatuhan mahasiswa terhadap aturan. Ada beberapa kasus pelanggaran yang perlu ditinjau.”Semua mata tertuju pada Aruna begitu Julia melangkah maju, senyum manis di wajahnya.“Sep
Ezra, Raska, dan Nadia masuk ke ruang server fakultas dengan langkah pelan.Udara dingin dari AC membuat bulu kuduk berdiri, tapi ketiganya terlalu fokus untuk merasakannya.Raska langsung membuka laptopnya, menyiapkan akses ke CCTV.“CCTV hari itu masih utuh. Kamera di koridor dan taman rekam semua pergerakan Aruna,” jelasnya.Nadia duduk di sebelah Ezra, membuka ponsel dan menghubungi perawat UKS.“Dokter sudah setuju fotoin surat medis Aruna. Dia bilang semua catatan asli akan dikirim malam ini,” katanya sambil mencatat di buku kecil.Ezra menunduk, matanya menatap layar laptop, meneliti log sistem absensi panitia.“Julia hapus beberapa entri,” gumamnya. “Tapi ada timestamp otomatis dari server. Ada celah kecil yang menunjukkan siapa yang memanipulasi.”Raska menepuk meja.“Semua itu bisa jadi bukti. Kita gabungin rekaman CCTV, surat medis, dan log sistem, udah pasti Julia gak bisa ngelak.”Ezra mengangguk.“Tap
Aruna berjalan pelan di antara kerumunan mahasiswa, membawa tas di pundaknya.Meski wajahnya tampak tenang, setiap langkah terasa berat karena bisik-bisik yang terus mengikuti.“Eh, Aruna kan ya? Katanya kemarin absen dua kali, tapi tetap masuk bimbingan Ezra.”“Iya, sama. Aku denger juga dia kedeketan banget sama pembimbingnya, gak pantas gitu.”Aruna menunduk, meremas tali tasnya.Jantungnya berdebar kencang, dada terasa sesak.Ia mencoba mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis ke teman sekelompoknya, tapi tatapan dingin dan komentar setengah bergosip terus menyusul dari belakangnya.Di dalam hatinya, ia menahan air mata, berusaha tetap kuat.Tapi tekanan sosial itu terasa seperti beban berat yang menekan kepala dan dadanya sekaligus.Sementara itu, Ezra duduk di meja kerja, memandangi layar laptop.Raska berdiri di dekat papan putih, menulis beberapa catatan. Nadia duduk di samping Ezra dengan ponsel di tangan, siap meng