Bab 5
Ironis memang, ketika Shanika dan dua adiknya disuruh meninggalkan rumah padahal rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuanya. Harta dan tempat tinggal mewah yang dinikmati tak lain dan tak bukan adalah milik Pak Grahadi. Andai saja Shanika memiliki uang atau tempat tinggal, ia pasti akan meninggalkan rumah itu daripada mereka menderita atas perlakuan ibu tirinya. Dia juga ingin mengambil haknya, warisan yang ditinggalkan oleh Pak Grahadi pada anak kandungnya. Bu Listia dan Carissa tidak ada hak untuk mengklaim semua warisan tersebut. “Cepat masuk ke mobil, daripada kamu keluyuran nggak jelas. Lebih baik kamu nyari kerja, dan ya … dari mana kamu dapat uang untuk biaya pengobatan Nala?” tanya Bu Listia ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil. Bu Listia baru sadar kalau Shanika tidak memiliki uang untuk membayar pengobatan rumah sakit. Sebelumnya Shanika juga memohon-mohon padanya agar Bu Listia membantu membayar, tapi ditolak mentah-mentah. Alasannya karena Bu Listia tidak mau mengeluarkan banyak uang hanya karena Nala bukan anak kandungnya, Bu Listia hanya memikirkan Carissa saja. Shanika melelan ludahnya susah payah. Pertanyaaan dari Bu Listia cukup mengejutkan, membuat Shanika memikirkan jawaban pas agar masuk akal. “Heh, Mama bertanya padamu, Shanika! Dapat uang dari mana kamu?” tanya Bu Listia sambil membentak. Ia menaruh rasa curiga. Bagaimana tidak, Shanika ini masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan. Akan tetapi, dia sudah membayar pengobatan Nala yang nominalnya besar dalam waktu semalam. Mencurigakan, bukan? Shanika dapat uang dari mana sebanyak itu? Shanika memilin roknya hingga lusuh, ia berupaya bersikap tenang agar Bu Listia tidak menaruh curiga padanya. Jika hal ini diketahui, Shanika pasti akan diusir dari rumah jika ketahuan menikah diam-diam dengan Sergio. “Aku pinjam uang dari Naura, Ma,” balas Shanika beralibi, supaya Bu Listia tidak berpikir yang tidak-tidak. Kalau sampai di lengah, bisa saja rahasia besarnya terbongkar. Meski ada rasa tak percaya, Bu Listia memendam rasa curiga itu. Naura memang keluarganya berada, mungkin saja dia memang meminjamkan uang, itu masuk akal. “Bayar hutangmu sendiri, jangan sampai menyusahkan Mama, karena kalian bukanlah tanggung jawabku!” Berkali-kali Bu Listia mengatakan itu, kehadiran Shanika beserta adiknya hanya dianggap orang asing. “Mama 'kan pelit,” celetuk Nevan sangat gamblang, sampai mendapatkan pelototan dari ibu tirinya. “Nevan! Jangan kurang ajar kamu sama Mama!” ketus Bu Listia. Takut Nevan dimarahi, Shanika menarik Nevan ke dalam pelukannya. Sebagai kakak yang paling besar, Shanika harus bisa menjaga dan melindungi Nevan dan Nala, menggantikan orang tuanya. Shanika masih merasakan duka mendalam. Dia masih belum menerima dengan kepergian ayahnya. Dan lebih menyakitkan lagi, jasad ayahnya masih belum ditemukan. 'Kenapa Papa pergi secepat itu, Pa? Bisakah aku menjaga Nevan dan Nala seperti yang Papa lakukan pada kami?’ batin Shanika, duduk termenung memandangi jalanan kota dengan tatapan kosong. Dia terus memanjatkan doa, agar tim SAR segera menemukan jasad ayahnya. Saat kejadian, kondisi air sungai memang sedang deras, sehingga tim SAR kesusahan melakukan pencarian. Sesampainya di rumah, Shanika hanya bisa menatap rumah mewah ini dengan perasaan hampa. Apalah arti kemewahan jika tidak ada kehangatan keluarga di dalamnya, ia bagai hidup di neraka bersama orang yang tak pernah menganggapnya sebagai keluarga. “Cepetan kerjain, malah bengong! Gak lihat apa kerjaan numpuk?” Bu Listia mendorong tubuh Shanika hingga ia hampir terjatuh. “Iya, Ma.” Selain mengiyakan, Shanika harus menjawab apa? Berhadapan dengan Bu Listia pasti akan serba salah. Bu Listia pergi begitu saja, Shanika hanya bisa menghela napas melihat banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan sendirian. “Kakak, aku bantu Kakak beres-beres, ya. Supaya nggak dimarahin Mama,” kata Nevan. “Nggak usah, Nevan. Biar Kakak aja yang beresin, kamu mandi sama makan gih. Nanti kita jenguk Nala lagi, ya,” balasnya, tidak mau memperkejakan Nevan untuk ikut serta membersihkan rumah besar ini. Nevan pun patuh, tak berani membantah. “Nevan ke kamar dulu, Kak.” Shanika mengangguk, ia meraih celemek supaya bajunya tidak kotor. Ia mulai mencuci piring, kemudian mengerjakan pekerjaan lain. Mencari kesibukan adalah jalan satu-satunya agar Shanika tak merasa sedih. Dia harus kuat, demi Nevan dan Nala. “Aku akan melakukan apapun supaya bisa membahagiakan Nevan dan Nala. Pa … aku janji bakalan menjaga dan merawat mereka dengan baik, semoga Papa lekas ditemukan.” Cuci piring pun selesai, Shanika duduk sejenak karena kakinya pegal berdiri terlalu lama. Dia duduk termenung, setiap sudut rumah ini menyisakan kenangan sewaktu ayahnya masih hidup. Jauh sebelum persitiwa itu terjadi. Shanika masih menjalani hidup seperti pada umumnya, dia bahagia karena hari-harinya selalu menamani kedua adiknya. Ibu Shanika sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMP setelah melahirkan adik bungsunya. Ia memiliki adik bernama Nevan dan Nala, mereka masih kecil dan duduk di bangku SD. Sejak kepergian sang ibu, Pak Grahardi---ayahnya Shanika memilih menikah dengan seorang janda beranak satu. Kehidupan yang ia bayangkan akan terasa indah karena ada ibu pengganti, tetapi malah sebaliknya. Kehadiran ibu dan kakak tirinya membuat Shanika bagai hidup di neraka. “Shanika, sebentar lagi Carissa akan berangkat kerja. Cepat ke atas dan layani kebutuhan kakakmu!” titah Bu Listia---ibu tirinya. Shanika berdiri, menatap kepergian Pak Grahadi yang akan mengantarkan Nala. Hari ini Nevan tidak sekolah dikarenakan sedang sakit. “Bentar lagi aku kuliah, Ma, nggak bisakah menyuruh si Mbok saja? Dosen akan memarahiku jika aku terlambat,” kata Shanika. Bu Listia melotot tajam. Beginilah sifat aslinya jika tidak ada sang ayah, Bu Listia selalu bersikap kejam dan semena-mena padanya maupun pada dua adiknya. “Berani kamu menolak? Dengar, Mama nggak butuh penjelasan kamu. Selama ini kamu terlalu berleha-leha, pemalas jadi wanita. Mama ingin agar kamu tidak membiasakan kebiasaan burukmu. Mama yakin, nggak bakalan ada lelaki yang mau dengan wanitai malas sepertimu!” hardik Bu Listia, suaranya terdengar menggelegar memenuhi isi ruangan. Tidak pernah sekalipun dia berbicara santai, terkecuali di depan Pak Grahadi. “Aku bahkan sudah selalu menuruti apa yang Mama mau, kurang apalagi? Mama bukan mau mendidikku, tetapi ingin memperkerjakanku seperti pembantu!” tukas Shanika, paham dengan sikap Bu Listia selama ini bukan semata-mata ingin mendidiknya. Perempuan tua ini dari awal memang tidak menyukai Shanika, Nevan dan juga Nala. Bu Listia berkacak pinggang, dia langsung menarik pergelangan tangan Shanika dengan kasar. “Sudah berani kurang ajar kamu, Shanika. Semakin hari malah berani melawan. Memang apa susahnya sih membantu kakakmu? Selama ini dia selalu mengalah padamu, tidak tahu diuntung!” Bu Listia terus saja melontarkan untaian kalimat tajam. Tanpa peduli bagaimana perasaan Shanika saat ini. Carissa sudah menikah sejak satu tahun yang lalu, dia jarang pulang ke rumah karena tinggal bersama suaminya. Beginilah jika Carissa pulang, Shanika yang terus direpotkan. “Shanika, kuping lo budek, hah? Gue panggil-panggil kenapa lo nggak dengar?” Baru saja Shanika membuka pintu kamar, dia sudah menerima omelan dari Carissa. 'Sabar, Shanika, masih pagi. Entah cobaan apalagi kalau dia tetap ada di sini. Bisakah aku hidup dengan tenang?’ batinnya nelangsa.Bab 70 “Apakah semua yang kulakukan padamu selama ini tak cukup membuktikan bagaimana perasaanku padamu?” tanya Sergio berbalik tanya pada Shanika yang tak bisa lagi berkata-kata. Dua insan tersebut masih bertatapan, dengan jarak begitu dekat. Shanika terharu, setelah semua penderitaan datang silih berganti, telah terganti oleh kebahagiaan yang harus ia syukuri. Kejadian masa lalu, kesalahan Sergio di masa itu memang masih melekat dalam benak Shanika. Jika dipikir lebih dalam, Sergio orang yang selalu ada membantunya. Tak seharusnya Shanika menumpahkan semua yang terjadi pada Sergio, karena dirinya juga bersalah. “Bisakah kita perbaiki kesalahan kita untuk lebih baik ke depannya, Mas? Aku tahu cara kita bersatu memang salah, tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana kita tidak terikat dengan kontrak itu. Mungkin aku dan kamu tidak akan bisa bersama seperti ini,” ujar Shanika, ingin
Bab 71 “Nala di rumah sakit, Pa, Nala koma,” balas Shanika menahan rasa sedihnya karena Nala belum juga sadar sampai sekarang. Di saat ayahnya kembali dan ditemukan, rasanya teras kurang jika Nala tidak ada. Kurang lengkap. Pak Grahardi mengusap wajah gusar sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan perasaan terpukul. Saat kecelakaan itu terjadi, Pak Grahardi memang sedang bersama Nala. Saat itu, Pak Grahardi akan mengantar Nala sekolah, tetapi rem mobilnya mendadak blong. “Antar Papa menemui Nala, Nak, Papa ingin tahu keadaannya,” pinta Pak Grahardi, meski terlihat tegar di luar, di dalam dia begitu sedih karena apa yang terjadi pada keluarganya disebabkan oleh Bu Listia yang salah paham selama ini. “Aku akan mengobati Shanika dulu di kamar, Pa,” kata Sergio melihat ada beberapa luka di tubuh istrinya. Dahi Pak Grahardi mengkerut, tatapannya mengintim
Bab 69 Para polisi datang, langsung menghampiri Carissa dan Bu Listia yang hendak melarikan diri. Kedua kaki mereka ditembak, sehingga mereka tak bisa kabur ke mana-mana sambil menahan rasa sakit di kakinya. “Argh, lepaskan aku! Aku tidak akan mengampuni kalian! Ingat aku baik-baik, aku akan membalas dendam nanti!” teriak Bu Listia diangkat paksa oleh polisi. “Tunggu, Pak. Saya ingin bicara sesuatu,” kata Pak Grahardi sebelum Bu Listia dibawa pergi, dia harus mengatakan kebenaran agar Bu Listia tidak salah paham dan menaruh kebencian pada mendiang istrinya yang sudah dilenyapkan dengan kejamnya. “Aku dan Nancy sudah berhubungan sejak kami SMA, kami menjalin hubungan diam-diam tanpa sepengetahuan kau. Bahkan, aku dan Nancy sudah menikah saat lulus kuliah. Kami menikah dan tinggal di tempat asing, kami hidup bahagia, tapi semenjak ada kau. Nancy menderita karena aku duakan, bahkan dengan tak tahu dirinya k
Bab 68 Penutup wajah itu dilempar dengan asal, menampakan wajah si pelaku dengan jelas. Melihat itu, Shanika hampir terjerembab saat orang itu adalah Carissa. “Kak Carisssa?” pekik Shanika kaget sekaget-kagetnya. Carissa menyunggingkan senyum dengan tatapan tak bersahabatnya. “Kenapa, lo kaget?” Wanita di belakangnya pun ikut membuka, lagi-lagi Shanika dibuat tercengang karena orang yang mengincar dan menculik Nevan adalah ibu serta kakak tirinya. “Mama? Kakak? Kenapa kalian menculik Nevan dan mengincarku?” tanya Shanika pada keduanya yang berdiri sembari bersedekap dada. Pertanyaan itu dianggap angin lalu, Bu Listia langsung melayangkan tamparan serta mendorong Shanika sampai tergeletak di tanah. Plak! “Dasar anak haram, seharusnya dari awal aku menyingkirkanmu jika kehadiranmu hanya merusak kebahagiaanku dengan anakku,
Bab 67 Cukup lama mereka mencari ke seluruh penjuru rumah sakit dengan bantuan penjaga. Nihil, hasilnya tidak ada, Nevan tidak ada di sini dan dibawa lari oleh orang tak dikenal. Shanika terduduk lemas di lantai sembari menutupi wajahnya karena sudah lalai menjaga Nevan. “Maafin Kakak, gak seharusnya Kaka lalai menjagamu, Nevan,” lirih Shanika terus menyalahkan diri sendiri karena ia lalai mengawasi adiknya. Jika terjadi sesuatu pada Nevan, Shanika tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Sergio berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Shanika yang terus menangis di pelukannya. “Tenang, kita akan cari Nevan sampai ketemu, Sayang.” “Kalau begitu ayo kita cari, Mas, kita ke kantor polisi supaya dibantu mencari Nevan,” ajak Shanika tak peduli seberapa lelah dirinya, yang Shanika pikirkan soal keselamatan adiknya. Meskipun Shanika baru pulih, dia harus bisa mencari Nevan
Bab 66 Karena Pak Hans adalah orang terdekat ayahnya sekaligus juga mereka sudah bersahabat sejak kecil, Shanika berpikir kalau Pak Hans tahu sesuatu tentang kejadian di masa lalu. Mungkin dia bisa tahu soal Bu Listia yang sangat membencinya dan juga membenci sang ibu. Pak Hans menepuk pucuk kepala Shanika yang sudah ia anggap sebagai putrinya, dia merasa bersalah sudah patuh pada Bu Listia. Pak Hans enggan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. “Kamu yakin ingin tahu?” ujar Pak Hans, sebelum bercerita ia bertanya pada Shanika siap atau tidak mendengarkan ceritanya. Shanika mengangguk mantap, dia ingin tahu hal ini sejak dulu. Hanya saja Shanika tidak tahu harus menanyakan ini pada siapa, pada Mbok Cahyani, beliau tidak tahu. Selagi mereka bertemu, Shanika ingin bertanya. Ia yakin kalau Pak Hans tahu. “Aku yakin, Pak, aku siap mendengarnya. Apa pun itu,” ujar Shanika bersungguh-sung