Bagian 20
Kabar baik itu membuatku benar-benar bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Aku dan Syifa yang telah kubangunkan pukul 20.30 untuk sikat gigi serta minum susu, kini berada di dalam kamar tamu milik Mas Faisal yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamar si empunya rumah. Tanpa kusadari, aku bahkan telah memejamkan mata sejak pukul 22.00 malam hingga pukul 05.30 pagi. Aku sedikit menyesal, sebab bangunku kesiangan dan akhirnya salat Subuhku terlambat.
Usai salat Subuh di kamar dengan mukena yang dipinjamkan oleh Bi Dilah tadi malam sebelum aku tidur, buru-buru aku keluar kamar. Syifa masih tidur di kasur. Anak itu terlihat sangat keletihan dan aku tak tega buat membangunkannya.
Alangkah malunya diriku ketika melihat Mas Sofyan sudah duduk di meja makan. Lel
Bagian 21 “Om, di depan ada ramai sekali wartawan. Mereka tahu dari mana kalau Mila ada di rumahku?!” Suara Mas Sofyan yang duduk di sofa ruang tamu terdengar mencelat. Panik. Setali tiga uang denganku yang sudah gemetar hingga ujung kaki. “Bukan apa-apa, Om. Ini takutnya ada penggiringan opini!” Mas Sofyan yang lembut dan santun mendadak terdengar seperti sedang emosian. Aku pun hanya bisa terduduk kembali di ruang makan. Bi Dilah ikut duduk di sebelahku sambil menenangkan. Namun, itu tak bereaksi sedikit pun. Masih saja aku deg-degan. Kulihat, Mas Sofyan kini menaruh jemari di atas bibirnya. Seperti sedang menyimak baik-baik apa yang pengacaranya ucapkan. Dia lalu ma
Bagian 22 “Saya rasa pertanyaan Anda berisi intimidasi dan pelecehan.” Mas Sofyan menegur dengan nada ketus. Membuat pria di hadapan kami tampak tersentak seketika. “Sudah cukup. Sudah sepuluh menit. Silakan untuk membubarkan diri kepada teman-teman awak media. Selamat pagi.” Mas Sofyan melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu kemudian mengangguk kecil. Balik badan dan memberikan kode kepadaku agar segera masuk. “Mari semuanya,” pamitku pada seluruh wartawan. “Huu! Masa cuma sebentar, sih!” celetuk salah satu dari mereka. “Iya. Nggak asik!” Satu lagi menambahi. Kupin
Bagian 23 “Bunda … aku nggak mau ketemu ayah lagi!” Syifa berteriak dalam dekapku. Membuat hati makin lebur sebab lolongan sedihnya. “Maafkan Bunda, Nak.” Hanya lirih kalimat itu saja yang bisa kuulang-ulang kepada Syifa. Telanjur sudah kubongkar kebusukan Mas Faisal. Ada sesal, tetapi ucapan tak lagi bisa ditarik seperti batu yang sudah dilemparkan ke lautan. “Ayah jahat!” pekik Syifa lagi. Ya Allah, maafkan aku … bukan maksudku menjauhkan anak dari ayah kandungnya atau memprovokasi Syifa agar jadi pembenci. Aku hanya tak lagi mengerti, kata-kata apa yang pas untuk membuat Syifa tak lagi-lagi menanyakan Mas Faisal.&n
Bagian 24 “Mbak Mil, lihat!” Shintya memekik ketika kami duduk di resto menunggu makanan tiba. Perempuan yang duduk di sebelahku itu mengacungkan layar ponselnya padaku.[Sial: Pelakor Viral Persuami Sepupu Sendiri, Kini Ditetapkan Sebagai Tersangka.] Terpampang jelas sebuah berita di media online yang telah disukai oleh 2.500 pengguna Facebook. Terdapat pula ratusan komentar tersemat pada tautan berita yang menampilkan foto cantik milik Adelia tanpa diblur bagian wajahnya. Aku tergemap. Sudah jadi tersangka? Kenapa Mas Sofyan belum mengabariku? “Mas, Adelia sudah ditetapkan jadi tersangka!” ucapku kepada Mas Sofyan yang duduk di seberang kami. Pria yang tengah
Bagian 25 Makan bersama di resto pilihan Mas Sofyan yang letaknya hanya 2 kilometer dari bandara akhirnya selesai juga. Meski di awali dengan sedikit percik konflik akibat judul clickbait di media online Warta Nyata, suasana di antara keluarga besarku dan Mas Sofyan kini telah mencair. Awalnya, kami sudah hendak meninggalkan resto. Namun, tiba-tiba sebuah telepon dari tim kreatif Trens TV masuk ke ponsel. Aku bahkan hampir saja lupa dengan janji akan hadir ke acara mereka hari Rabu lusa. “Sebentar semuanya. Ada telepon dari Trens TV,” kataku membuat semua orang mendadak menghentikan langkah. Mereka semua pun kembali duduk. Bahkan, adikku Shintya sempat menatap agak terkejut. Aku memang belum menceritakan perihal undangan televisi ini kepada mereka. &ldq
Bagian 26 “Ng-nggak,” sahutku jujur agak gugup. Aku betul-betul tak mengenal perempuan cantik berpakaian serba branded ini. Pun, gadis muda fashionistas di sebelahnya. Siapa mereka? “Saya Tiffany Utama. Ini anak pertama saya, Rasya Utama. Kami yang melaporkan Adelia ke polisi.” Wanita cantik dengan wajah super mulus itu menjabat tanganku. Terasa halus telapak tangannya. Kilauan cincin berlian yang dia kenakan di jemari manis tangan kanannya tersebut sudah sangat menjelaskan bahwa dia bukanlah sembarang orang. “Masyaallah!” ucapku spontan. Aku tak menduga bahwa perempuan baik hati inilah yang semakin membukakan jalan lebar bagiku untuk mendapatkan keadilan. Lewat bantuan tangannya jugalah, Adelia dan Mas Faisal semakin terpuruk di
Bagian 27 Telepon dari Ummi kutolak. Tak sudi bagiku untuk mengangkatnya. Aku lekas menghadap ke arah Bu Tiffany dan tersenyum kecil. “Silakan diangkat saja dulu, Mbak Karmila,” ujarnya. “Nggak, Bu. Telepon tidak penting,” sahutku. “Oh. Jadi gimana, Mbak? Setuju, kan, naik pesawat dengan kami besok?” Bu Tiffany malah mengulangi pertanyaannya. Membuatku lagi-lagi dilanda deg-degan. Masa iya, harus naik business class segala? Ponselku malah bergetar lagi. Kutengok, Ummi lagi-lagi memanggil. Cepat ku-rejec
Bagian 28 “Ya Allah, ini baju segini banyak untuk apa?!” Aku histeris melihat tumpukan belanjaan yang harus dibawa pakai troli segala tersebut. Eh, Mas Sofyan yang tengah sibuk memilihkan Syifa gaun, malah tertawa. “Santai aja, Mil. Ini nggak cuma buat Syifa, kok. Aku juga beli kaus sama celana kolor buat di rumah. Aku beli kaus oblong banyak juga untuk anak-anak Bi Dilah.” Mendengar jawaban Mas Sofyan, sesaat aku terperangah. Sedikit malu karena sudah ke-GR-an. Eh, ternyata dia belanja juga. Syukurlah, benakku. “Oh, syukur kalau begitu. Kirain Syifa main nyomot aja,” ucapku seraya menarik pelan tangan Syifa.