[Seorang istri apabila sudah kelewat batas sikapnya, tidak bisa dididik jadi perempuan salehah, dan tidak bersyukur WAJIB hukumnya dicerai.]
Itulah sederet kalimat yang diunggah Mas Faisal di status F******k miliknya. Degupan jantungku kian melesat cepat. Terhenyak aku dalam segala perasaan yang sulit digambarkan.
Astaghfirullah, Mas Faisal … sekarang kamu mulai playing victim di sosial media. Menguak sebuah fitnah, seakan-akan akulah yang bersalah. Tega! Ini kejam namanya.
Lekas kukeluarkan jendela chat W* bersama Anisa barusan. Kubuka F******k milikku dan mulai mencari update status Mas Faisal di lini masaku. Nihil. Tak ada.
Kuputuskan untuk mengetik namanya di kolom pencarian. Faisal Zikry Hadinata. Hasilnya? Zonk! Malah muncul akun Faisal-faisal lainnya yang bukan suamiku.
“Permainanmu licik, Mas!” desisku. Naik pitam aku dibuatnya. Senjata yang menjijikan adalah memblokir sosial media orang lain yang sedang habis-habisan dia sindiri. Suamiku ternyata sudah di puncak kegilaannya!
Kembali ke kolom pencarian, aku kembali mengetik nama Adelia Soedjono. Aku sudah berpikir bahwa perempuan jalang itu pasti juga ikut-ikutan memblokir sosial mediaku. Tara! Benar adanya dugaanku. Dua makhluk durjana itu kompak memblokir akun Facebookku. Entah apa yang mereka inginkan.
Dengan kepala yang mendidih dan tubuh yang kian remuk redam sebab tak kunjung tidur, aku pun langsung menelepon Anisa. Kutepis rasa sungkan sebab menghubungi ibu dua anak itu pagi buta. Toh, dia yang duluan memberiku info mengejutkan barusan. Wajar kan, kalau aku butuh konfirmasi darinya?
“Assalamualaikum, Nis. Sorry banget aku gangguin kamu pagi-pagi begini.” Kupinta maaf padanya. Berharap Anisa tak akan apa-apa dengan teleponku.
“Waalaikumsalam. Iya, Mil, nggak apa-apa. Sumpah, aku kaget banget, Mil. Bubar Qiyamul Lail, aku iseng buka F******k. Eh, nemu status Mas Faisal. Ya Allah, aku bacanya sampai gemetar. Itu pas aku screenshot belum ada like sama komen. Tapi, tadi barusan kucek lagi udah ada yang komen, Mil. Kamu kenapa sama suamimu? Apa ada masalah?” Panik. Itulah yang kutangkap dari suara Anisa, perempuan 29 tahun yang memiliki postur imut dan wajah awet muda tersebut.
“Ceritanya panjang, Nis. Bisa nggak, aku minta tolong screenshot lagi isi komentarnya kaya apa? Aku diblokir soalnya.”
“Apa? Diblokir?! Astaghfirullah! Mila, kalian ini lagi kenapa? Sumpah, aku kaget banget! Kalian dari luar kelihatannya baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba ada kabar nggak enak begini?” Anisa semakin histeris. Reaksi wanita berjilbab besar itu wajar menurutku. Selama kami berkawan, tak pernah sekali pun aku menceritakan masalah rumah tanggaku yang memang sebenarnya tak pernah ada masalah.
“Bukan hanya kamu yang kaget, Nis. Aku yang lebih kaget di sini. Kupikir, rumah tangga yang adem ayem itu akan langgeng tanpa ada cacatnya. Ternyata, masalah yang sesungguhnya adalah rumah tangga yang kelihatan tak punya ada masalah, tapi sebenarnya sedang di ambang kehancuran dalam keheningan. Nis, buruan. Aku butuh screenshot darimu. Kirimkan sekarang, ya. Tolong banget,” pintaku memohon.
“Iya, Mila. Sebentar, ya. Matiin dulu.”
Sambungan telepon pun diputus oleh Anisa. Duduk bersandarlah diriku di kepala ranjang dengan perasaan yang campur aduk. Menanti datangnya bukti baru dari Anisa. Sesekali, kulihat wajah Syifa yang damai dalam lelapnya. Dalam hati aku berkata, maafkan Bunda ya, Syif. Bunda nggak bisa mempertahankan keharmonisan rumah tangga bersama Ayah. Mungkin, setelah besar nanti kamu akan mengerti apa yang Bunda putuskan ini adalah yang paling terbaik buat kita berdua.
Ponsel di genggamanku bergetar. Berlonjak kaget diriku. Segera jemari ini membuka pesan masuk dari Anisa.
Mataku semakin membulat besar. Serasa ada yang menohok di ulu hati. Betapa tidak, orang-orang yang selalu kuduga baik, kini malah berbalik menusukku dari belakang.
[Lepaskan aja, Sal. Kamu berhak bahagia!] Komentar tersetan itu datang dari akun Mas Kamal, sepupu Mas Faisal dari pihak Abi. Mas Kamal adalah anak pertama dari Pakde Mustafa Hadinata, kakak pertama Abi. Mas Kamal adalah orang yang baik menurutku. Dia sering sekali bertandang ke sini membawa anak dan istrinya di hari besar maupun hari libur. Aku bahkan akrab dengan Mbak Yuni, istrinya. Ya Allah, betapa jahatnya komentar tersebut. Apa yang sedang keluarga ini rencanakan sebenarnya?
Komentar tersebut juga dibalas oleh Mas Faisal lima menit lalu. Jawabannya semakin menggorok habis harga diriku. Inginku murka dan menyumpah serapahi mereka rasanya. Semua keluarga ini jelas-jelas freak!
[Yoi, Brother. Doakan yang terbaik. Ada kalanya juga orang yang diam itu lama-lama lelah dan meledak. Ya, nggak?]
Lelah? Meledak? Siapa yang seharusnya lelah dan meledak di sini? Astaghfirullah!
Sambil menahan gejolak amarah yang meledak-ledak, aku mengetik balasan pesan untuk Anisa. [Nis, tolong buka akun atas nama Adelia Soedjono. Lihat apakah ada update status bernama serupa. Tolong kirimkan screenshot-nya ke sini, ya. Aku juga diblokir sama dia.]
Pesanku langsung centang dua biru. Anisa gerak cepat membalas pesan tersebut dengan emotikon jempol. Artinya, dia bersedia untuk menolongku.
Harap-harap cemas kunantikan balasan teman baikku tersebut. Semenit, dua menit … rasanya waktu berputar semakin lambat. Hatiku kian tak tentu arah. Kira-kira, apa yang diposting oleh Adelia hingga dirinya memblokirku segala?
[Mil, Adelia yang foto profilnya ini bukan?]
Anisa mengirimkan pesan. Dia juga melampirkan sebuah akun dengan foto profil perempuan cantik dengan rambut panjang selengan yang di-curly dan dicat warna blonde. Perempuan itu sedang di dalam mobil. Berswa foto dengan tangan kiri yang memegang bawah dagu. Maka, terlihatlah cincin berlian dan gelang emas model terbarunya di foto tersebut. Entah mengapa, seketika aku jijik melihat muka wanita jalang itu!
[Iya. Itu orangnya. Ada posting status atau foto yang dikirim ke publik nggak? Atau statusnya di privasi semua?]
Pesanku langsung centang dua biru. Anisa juga tampak mengetik di layar.
[Mil, perempuan ini ada hubungan dengan suamimukah?]
Pertanyaan Anisa membuatku hatiku semakin nyeri. Anisa bisa menyimpulkan seperti itu pasti karena telah melihat sesuatu di dinding F******k milik Adelia. Belum sempat aku membalas, Anisa lebih dahulu mengirimkan sebuah gambar tangkap layar. Isinya … membuatku istighfar berkali-kali. Air mata yang semula telah kuharamkan untuk menangisi Mas Faisal, kini malah runtuh membasahi pipi.
Mas Faisal … Adelia. Terima kasih untuk luka yang kalian berikan malam ini!
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs