Share

5

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-07 20:16:32

            “Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah.

            “Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga.  Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan!

            “Hebat bukan main si Abi. Bisa tahu bahwa hatiku busuk dan malaikat telah melaknatku segala. Abi berteman dengan malaikat ya, memangnya?” tanyaku melecehkan.

            “Perempuan setan! Omonganmu betul-betul seperti orang tidak beragama! Terkutuk kamu, Mila!” Sumpah serapah dan caci maki tak hentinya keluar dari mulut sopan Abi. Sepertinya, beliau tengah membutuhkan sabun pencuci piring atau detergen anti bakteria. Ya, untuk membabat habis kata-kata kotornya itu!

            “Terima kasih, Bi, sebab telah mau menjadi mertuanya setan,” sahutku. Pokoknya, apa pun yang dia bakal ucapkan, akan kujawab sampai dia berhenti sendiri.

            “Mulai detik ini, aku tak menganggapmu sebagai menantu! Pun anakmu! Tak pantas dia berbintikan anakku. Tidak pantas dia menyandang nama Hadinata di belakang namanya. Kuharamkan nama suci itu untuk anak perempuanmu!”

            Aku memutar bola mata. Mulai merasa gerah dengan omongannya yang ngelantur. Lama-lama, Abi sudah seperti orang pikun yang jika berbicara tak tentu arahnya.

            “Oke, nama belakang itu tak akan dipakai lagi oleh Syifa. Apalagi, Bi? Katakan saja apa yang Abi mau, mumpung masih ada umur untuk berbicara denganku.”

            “Tinggalkan rumah yang kalian tempati! Keluar dari rumah anakku! Jangan bawa sehelai pun pakaian, sebab dialah yang selama ini mengeluarkan uang hasil jerih payahnya hanya untuk menghidupi perempuan tak berguna seperti kalian!”

            Mau muntah aku mendengarnya. Rumah tipe 45 ini dibeli Mas Faisal dua bulan setelah kami menikah secara cash. Harganya 280 juta, di mana aku mengikhlaskan seluruh tabunganku sejak pertama kali menikah sebesar 120 juta rupiah untuk menggenapi uang yang dia punya. Rumah ini dibangun atas jerih payah kami berdua, bukan hanya dari keringat Mas Faisal belaka. Untungnya, aku tak goblok-goblok amat. Rumah itu kupinta dibuat sertifikatnya atas nama diriku, bukan Mas Faisal. Enak saja Abi menyuruhku angkat kaki di rumahku sendiri.

            “Sertifikatnya ada di sini dan atas namaku. Apa yang jadi soalan hingga aku harus turun dari sini? Faisal yang harus turun dari rumah ini. Aku ikhlas kalau dia tak pulang-pulang lagi demi hidup bersama sepupunya yang kaya raya itu!”

            “Wanita serakah! Semoga kamu cepat mati!”

            Sambungan telepon pun lalu dimatikan. Aku geram setengah mati sebab tak sempat untuk membalas semua kata-kata culas Abi.

            “Ya Allah, berikanlah mereka umur yang sangat panjang supaya bisa bertobat!” kataku kesal sambil memasukan ponsel ke dalam saku daster.

            Kulanjutkan proses membakar seluruh barang-barang Mas Faisal. Setelah baju dan kertas-kertas itu hangus, segera kusiram drum besi tersebut dengan berember-ember air kamar mandi belakang.

            Terserah saja besok pagi aku dipanggil ketua RT sebab telah bakar sampah malam-malam. Aku tidak mau peduli. Yang penting hatiku puas!

            Api telah padam sepenuhnya, barulah aku bisa lega dan tenang ketika harus masuk kembali ke dalam. Buru-buru aku mandi di toilet dekat dapur, supaya setelah ini bisa beristirahat di samping Syifa. Tak perlu lama membasuh badan yang penting bersih dan wangi. Sekiranya sepuluh menitan di kamar mandi, aku pun menyudahi aktifitas bebersihku dan gegas melangkah ke kamar.

            Aku kaget ketika melihat Syifa sudah duduk di atas tempat tidur. Wajahnya murung. Tatapannya sendu memandang ke arahku.

            “Sayang, kenapa, Nak? Syifa masih pusing?” tanyaku seraya gegas naik ke ranjang.

            Syifa menggeleng. Gadis empat tahun dengan rambut ikal sebahu itu menarik ujung handuk yang kukenakan untuk menutupi tubuh.

            “Bunda … mana Ayah?”

            Hatiku sontak terkoyak mendengarkan pertanyaan dari bibir mungilnya. Derai air mata pun tertumpah perlahan dari pelupuk. Ya Allah, bagaimana aku harus menjelaskan pada putriku?

            “Ayah masih kerja, Nak,” jawabuku seraya mendekap erat tubuhnya yang sudah kembali normal. Tak lagi terasa demam atau hangat pada badan Syifa.

            “Kapan pulang?” tanya Syifa lagi.

            Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ya Allah, berikanlah keadilan-Mu. Anakku di sini merengek menanyakan sang ayah, sementara ayahnya sedang sibuk bercinta dengan perempuan lain. Demi Allah, aku tak ridho diperlakukan begini oleh Mas Faisal!

***

            Butuh perjuangan untuk menidurkan Syifa kembali. Setelah kuberikan segelas susu hangat dan membacakan dongeng si kancil untuknya, tepat pukul setengah tiga pagi anak itu akhirnya bisa terlelap lagi. Aku bersyukur. Akhirnya, aku bisa ikut beristirahat juga. Tubuhku luar biasa penat. Aku sangat ingin tidur demi mengembalikan stamina yang melemah.

            Baru saja aku hendak merebahkan kepala, getaran di ponselku lagi-lagi membuat mata ini melek. Sialnya, tadi ponsel tak sempat ku-silent atau kumatikan sekalian. Menyesal luar biasa mengapa tak kulakukan sebelum berbaring tadi.

Ponsel yang kuletakan di bawah bantal lekas kurogoh. Ketika sudah di genggaman, kulihat ada pesan masuk dari Anisa, sahabatku semasa bekerja dulu dan masih sering berkomunikasi hingga sekarang. Alisku langsung bertaut. Tumben Anisa W* jam segini?

            Ketika kubuka, mataku membelalak besar. Apa ini?

[Mila, ini aku lihat postingan suamimu di F* lima belas menit lalu. Mas Faisal kenapa, Mil? Kok, begini postingannya?]

            Sebuah gambar tangkap layar alias screenshot disertakan Anisa di bawah pesannya. Kantukku seketika enyah. Buyar sudah keinginanku buat rebah. Astaghfirullah! Di mana akal sehat Mas Faisal? Apa laki-laki sudah semakin gila?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
irwin rogate
pekerjaan itu kembali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   88. Kebahagiaan Tanpa Tepi

    Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   87. Pesan-pesan

    Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   86. Sebuah Kisah

    Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   85. Perjumpaan Penuh Sesal

    Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   84. Bangsal Seroja

    Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   83. Permintaan Maaf

    Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status