Bab 73POV AuthorMemungut Kembali Serpihan Kasih “Syifa, maaf Papa tadi agak lama, Nak.” Sofyan berkata kepada anak sambungnya setelah dia selesai mengusir Reva dari kediaman mereka. Napas Sofyan yang agak terengah-engah dan bulir-bulir keringat yang mulai membasahi pelipisnya, menunjukkan bahwa pria berwajah tampan itu cukup dibuat kelelahan oleh masalah besar tadi. Akan tetapi, setelah melihat wajah manis Syifa, semua lelah yang mendera kini terasa lepas perlahan dari pundak Sofyan. Apalagi saat Syifa mengulaskan senyuman polosnya. Hati Sofyan luluh. Dia benar-benar lega sebab tak lagi menonton tangis sendu dari wajah cantik milik anak kandung dari istrinya itu. “Nggak apa-apa, Pa.” Syifa yang sedari tadi menunggu di atas ranjangnya, buru-buru melompat ke lantai. Kakinya berlari ke arah Sofyan yang baru saja masuk ke kamar gadis kecil tersebut. Di tengah-tengah ruangan, Syifa pun memeluk tubuh papanya. Tak ada ragu, malu, ataupun cang
Bab 74POV AuthorKekecewaan Syifa “Halo, Bu.” Suara Sofyan terdengar takut-takut. Dia memang seorang pria dewasa yang tak lagi muda. Akan tetapi, rasa segan terhadap sang ibu memang tak pernah berubah dari diri Sofyan. Masih sama seperti di saat dia masih kecil dulu. “Assalamualaikum, Yan.” Lembut. Itulah kesan yang timbul ketika Sofyan mendengar suara sang ibu. Namun, tak juga serta merta membuat Sofyan tenang begitu saja. Dia tetap yakin bahwa ibunya pasti akan menumpahkan petuah-petuah yang berkaitan dengan pengusiran atas sang kakak. “Waalaikumsalam, Bu. Apa kabarnya, Bu? Maaf, hari ini Sofyan belum sempat menelepon Ibu. Mila jatuh sakit, Bu. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi kesehatannya tiba-tiba drop. Janinnya juga sempat ikutan lemah.” Sofyan berusaha menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh sang istri maupun jabang bayi dalam kandungan. Semua dilakukan Sofyan demi merebut simpati dari sang ibunda. “Innalillahi!
Bab 75Penuh Tanya Hatiku Betapa sedihnya aku ketika melihat Syifa tertidur di atas sofa panjang yang berada tak jauh dari pintu masuk ruang VIP. Di sebelah Syifa juga tertidur pulas sosok Bi Dilah. Untung saja kursi sofa berwarna hitam itu memiliki space yang cukup luas. Sehingga muat ditiduri dua orang, bahkan dua orang dewasa sekali pun. Sedangkan Mas Sofyan, lelaki itu masih duduk mendampingi di kursi yang dia taruh di tepi ranjang tempat tidurku. Pria itu tampak lelah. Meski lelah, tangannya tetap fokus menatap ponsel dengan jemarinya yang sedari tadi sibuk mengetik-ngetik sesuatu. “Mas, kamu nggak tidur?” tanyaku. Sebenarnya, aku sudah terlelap cukup nyenyak. Namun, tiba-tiba saja aku terbangun lagi dan melihat bahwa suamiku masih terjaga di tengah malam yang telah sangat larut. Jam di dinding telah menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh lima menit dini hari. Seharusnya Mas Sofyan beristirahat, bukan malahan bermain ponsel dengan matanya yang telah berka
Bab 76Antara Suka dan Duka “Aku … pengennya setelah pulang ini di rumah udah nggak ada pertengkaran lagi, Mas. Aku pengen tenang. Aku pengen sehat-sehat dan nggak stres lagi menghadapi Mbak Reva,” kataku lugas. Mas Sofyan masih terdiam. Dia lalu menatap nanar sambil menundukkan kepalanya. Tak lama, terdengar suara embusan napas yang begitu berat dari hidung mancungnya. “Mila, aku sudah mengusir Mbak Reva pas pulang ke rumah tadi.” Jawaban tak terduga dari bibir merah milik Mas Sofyan tentu membuatku terhenyak. Aku setengah percaya menanggapinya. Apa Mas Sofyan hanya bercanda? Mana mungkin dia mengusir perempuan sok kuasa itu dari rumah kami. Sedangkan, selama ini Mas Sofyan kerap berpihak kepadanya, terlepas dari apa pun masalah yang Mbak Reva perbuat. “Kamu serius, Mas?” Tercengang diriku kini. Setengah membelalak mataku melihat Mas Sofyan. “Iya. Mana mungkin aku bohong ke kamu untuk masalah seperti ini, Mil. Mb
Bab 77Ikhlas Yang Selalu “Jadi … kamu kasih uang ke Mbak Reva itu ambil dari tabungan, Mas?” tanyaku sambil menatapnya setengah tak percaya. Ditahan pun percuma saja. Pertanyaan itu akan tetap membelenggu kepala. Kapan-kapan juga pasti tercetus di mulut. Makanya segera kuutarakan, meskipun akhirnya tanggapan Mas Sofyan juga pasti akan memberikan pembelaan demi pembelaan untuk dirinya sendiri. “Iya, Mil. Mau bagaimana lagi? Aku tidak pegang uang lain selain tabungan itu, Mila. Kan, kamu juga punya uang tabungan sendiri dari royalti menulismu. Makanya aku akhirnya memberikan uang itu saat Mbak Reva meminta. Mau kutolak, waktu itu aku tidak enak sama Ibu, Mil.” Nah, kan. Betul dugaanku, bukan? Mas Sofyan membela dirinya. Aku jadi berkecil hati lagi sebenarnya. Mentang-mentang aku punya uang sendiri, apa Mas Sofyan bisa seenaknya mengeluarkan uang tabungannya untuk kebutuhan Mbak Reva, meski saat itu suamiku tak akan tahu jika ternyata kaka
Bab 78Lagi-lagi Faisal Pembahasan itu akhirnya kami tinggalkan. Aku kembali terlelap nyenyak, begitu pun dengan suamiku. Pukul lima pagi Mas Sofyan membangunkanku untuk salat Subuh. Ternyata, Bi Dilah dan Syifa sudah bangun duluan. Mereka berdua kata suamiku kini tengah salat di mushala bawah. Mas Sofyan membantuku untuk bertayamum. Lelaki itu juga yang memasangkan mukena buatku. Dia membiarkanku salat dengan posisi duduk. Alhamdulillah, tubuhku sudah lumayan segar. Tidak pusing lagi. Aku juga sudah sanggup duduk dengan durasi yang lumayan lama. Ini benar-benar keajaiban, pikirku. Mungkin Allah sudah mulai mengangkat segala penyakitku, agar aku bisa kembali giat beribadah maupun bekerja. Sementara aku berzikir selepas salat di atas kasurku, kutengok sekilas Mas Sofyan kini tengah asyik menghadap layar laptop yang sedang dia pangku. Matanya sangat serius menatap layar itu. Kupilih untuk membiarkan suamiku konsentrasi dengan tugasnya, sedang aku mela
Bab 79Penuh Drama “Ya, sudah, Mas. Kalau memang kamu merasa perlu untuk menghubungi Faisal, silakan aja.”Aku akhirnya menyerah. Kubiarkan saja suamiku untuk menelepon mantanku tersebut. Walaupun sebenarnya, aku juga berat hati jika Mas Sofyan harus terlibat banyak dalam urusan yang bisa menyebabkan pertikaian di antara kami.“Oke, Mil. Aku akan hubungi sebentar lagi. Kamu nggak usah terlalu mikirin masalah itu, ya. Sekarang yang penting adalah kesembuhan kamu dan anak kita,” ucap Mas Sofyan sembari mengelus perutku beberapa kali.Aku pun mengangguk patuh. Kuulaskan seberkas senyuman manis kepada suamiku tercinta. Sungguh beruntungnya seorang mantan janda beranak satu yang tak punya pekerjaan tetap ini bisa menikah dengan pria sehebat Mas Sofyan.“Makasih, Mas. Sekali lagi, aku minta maaf kalau terlalu banyak merepotkanmu,” ucapku dengan suara bergetar.Mas Sofyan tak menyahut. Dia malahan bangkit dari duduknya, lalu membungkuk, dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Kini, w
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti