“Kau terlambat satu menit.” Suara Jerome yang tengah duduk di sofa tunggal ruang tamu menghentikan langkah Jenna yang sudah setengah melintasi ruang tamu dengan langkah terburu.
Jenna nyaris menjerit kaget, tersentak kaget menyadari keberadaan Jerome. “A-aku ... maaf aku terlambat,” jelasnya sambil menggigit bibir bagian dalamnya. Ekspresi Jerome tampak sedatar es. Tak ada kemarahan yang muncul ke permukaan, tapi tatapan tajam pria itu terasa begitu menusuk kedua bola matanya. Membuat seluruh tubuh Jenna membeku di tempat.
Setelah memikirkan Daniellah satu-satunya kunci yang bisa membantunya menemukan Liora, Jenna langsung bergegas keluar dari apartemen Liora dan mencari taksi untuk mengantarnya ke apartemen Daniel. Berkali-kali ia memencet bel dan menunggu pintu tersebut dibuka, Jenna akhirnya menyerah. Membuatnya nyaris menghubungi nomor Daniel lewat ponselnya jika ia tidak ingat ponselnya pun sedang diawasi oleh Jerome.
Jenna pun kemba
Jenna menyimpan ponselnya di dasar lemari pakaian dan menyamarkannya dengan gaun-gaunnya yang menggantung hingga ke dasar lemari. Setelah memastikan tak ada sesuatu pun yang terlihat janggal, ia berpindah ke lemari pakaian yang satunya. Mengambil kotak hadiah yang dimaksud oleh Jerome. Tak terlalu terkejut menemukan lingerie berwarna merahlah yang ada di dalam kotak tersebut. Jerome selalu tergila-gila dengan tubuhnya, dan sekarang bukan saat yang untuk memikirkan harga diri. Jika Jerome menginginkan tubuhnya, ia akan memberikannya. Rasanya hatinya sudah terlalu kebas untuk memikirkan cinta dan segala macam perasaan sentimentil yang mengikuti. Cukup sekali hatinya dipatahkan oleh Juna. Ia tak akan memikirkan apa pun lagi selain lepas dari jeratan Jerome.Setelah menyiapkan air di bath up dan meneteskan bath foam, Jenna menggoyang-goyangkan air hingga tercipta buih di permukaan. Harum mawar, ia tak terlalu menyukainya tapi Jerome sangat menyukainya. Melepas pakaiannya, Jenna p
Seharian penuh, sejak Jenna memastikan mobil Jerome melewati pintu gerbang lewat balkon kamar mereka, hingga siang hari dan pelayan memberitahu makan siang sudah siapkan. Jenna tak berhenti mencoba menghubungi nomor Daniel. Panggilannya terhubung, hanya saja Daniel sengaja tidak mengangkatnya.Jenna pun menyuruh pelayan untuk membawa makanannya ke kamar, sembari tak menyerah untuk mencoba berbicara dengan Daniel.“Nyonya?” Pelayan itu mengalihkan perhatian Jenna dari layar ponsel. “Tuan Jerome ingin bicara dengan Anda.”Mata Jenna melebar, mengumpat pelan menatap telpon yang disodorkan oleh pelayan tersebut dan segera menyembunyikan ponsel baru miliknya dari pelayan tersebut di belakang tubuhnya.“Kali ini apa yang menyibukkan dirimu hingga mengabaikan panggilanku, Jenna?” desis Jerome kesal.“A-aku ketiduran, Jerome. Kau tahu hari ini aku butuh istirahat, kan?” jawab Jenna sambil berdiri dan melangka
“Rumah Sakit Iris. Lantai sembilan no. 5.”Jenna mengingat alamat tersebut dalam ingatannya.“Jika kau bisa menyembunyikan nomormu di belakang Jerome, sepertinya kau cukup bisa dipercaya.”Tak mudah, tapi bukan berarti Jenna tak bisa melakukannya.“Datanglah ke sini dan jangan sampai pengawal Jerome mengendus jejakmu. Aku akan menunggumu besok. Jam sepuluh.”“Ya. Aku akan menghubungimu jika sudah sampai di sekitar rumah sakit.”“Hmm,” jawab Daniel dalam gumaman pelan. “Di mana Jerome?”“Kami sedang makan malam di luar. Sepertinya dengan rekan kerjanya.”“Siapa?”“Namanya Samuel.”“Samuel Marsello?”“Kau tahu?”Daniel mendecakkan lidahnya. “Ya, selain tentang Liora, aku juga mengenal dengan baik pria-pria yang menaruh perhatian padanya. Salah satunya Samuel.”
Jadi, Jerome benar-benar tahu hubungan Liora dengan Samuel? Tubuh Jenna yang sempat memanas, dalam sekejap seperti guyur air es dan membuat seluruh tubuhnya membeku. Pria itu seolah sudah tahu setiap jejak pengkhianatan yang dilakukan oleh Liora tanpa kakaknya menyadari. Seolah sengaja membiarkan kakaknya melakukan apa pun dan di saat yang bersamaan, Jerome lah yang mempermainkan Liora.Yang membuat Jenna sendiri merasa tak aman akan kepercayaan pria itu yang diberikan untuknya. Apakah mungkin Jerome tahu ia menghubungi Daniel di belakang pria itu? Tidak. Jenna yakin untuk yang satu ini, ia sudah membuat kamuflase sebaik mungkin.Jerome melonggarkan lilitannya di pinggang Jenna, membiarkan wanita itu berpijak sepenuhnya ke lantai. Tangannya yang di tengkuk Jenna bergerak menuju bibir wanita itu yang merekah karena lumatannya. Pipi Jenna semerah tomat, bercampur kepucatan yang mulai merebak. Rasanya begitu menyenangkan mempermainkan emosi wanita itu dengan reaksi tubuh
Pertama kalinya, Jenna terpana menatap gedung termegah yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Gedung tinggi bertingkat yang berdiri kokoh di hadapannya, dengan dinding kaca berwarna biru gelap yang didesain dengan begitu mewah dan sempurna."Ke arah sini, Nyonya." Si sopir menginterupsi Jenna yang masih ternganga mengagumi bangunan di depannya.Jenna mengerjap, menahan malu dan bergegas menyesuaikan ekspresinya lalu berjalan mengikuti arah si sopir. Petugas keamanan, resepsionis, dan beberapa orang berkelas yang Jenna tak kenal, entah karyawan atau yang memiliki jabatan tinggi melihat cara berpakaiannya, menyempatkan diri untuk sekedar mengucapkan sapaan 'Nyonya Lim' kepadanya. Jenna merasa sangat canggung dengan perlakuan istimewa tersebut dan membalas dengan seulas senyum tipis.Si sopir membawanya ke lift khusus di ujung lorong pendek di sebelah barat, kemudian menekan tombol bertulis 'CEO' yang ada di deretan tombol paling atas."Tuan ada di ruangannya
“B-ba ...” Suara Jenna tersekat di tenggorokan. Tak mampu menyelesaikan sepatah kata pun di ujung lidahnya karena bibirnya yang bergetar hebat.Seringai keji tersungging tinggi di ujung bibir Jerome.Jenna menoleh ketika pengawal itu keluar, berdiri di samping pengawal yang lainnya dengan ponsel yang disembunyikan Jenna di tangan. Jemarinya berselancar di layar ponsel selama beberapa saat, lalu wajahnya terangkat dan menggeleng sekali pada Jerome.Jerome mengulurkan tangan meminta ponsel tersebut.“J-jerome, aku bisa menjelaskan ini,” cicitan Jenna sangat jelas. Berusaha berdiri di antara kedua kakinya yang lembek seperti jeli.Jerome tak menggubris. Semakin dalam ia mencoba mencari apa yang ada di dalam ponsel tersebut, kemarahan di dalam dadanya semakin mendidih. Tak ada apa pun yang bisa ia temukan di dalam sana. Setiap jejak sudah dihapus bersih. Terakhir, ia membanting ponsel tersebut di lantai, tepat di samping Jenna.
Jenna meringkuk seperti bola di tengah tempat tidur yang amburadul. Mengabaikan udara dingin AC yang menerpa seluruh permukaan kulit telanjangnya. Air matanya mengalir tiada henti, tanpa suara. Ia bisa menahan tangisannya keluar dari mulut, tapi tidak dengan kedua matanya.Hanya suara gemericik air dari kamar mandi yang terdengar di ruangan yang senyap tersebut. Jerome sedang membersihkan diri di dalam sana sejak beberapa menit yang lalu. Meninggalkan tubuhnya yang kotor begitu saja, penuh kepuasan yang membuat hati Jenna mengerang penuh kebencian dan dendam.Jenna membuka mata, langsung menatap gorden balkon yang bergerak lembut tertiup oleh angin. Seolah melambaikan tangan ke arahnya. Memanggilnya dengan undangan yang tak ingin Jenna tolak. Menarik selimut sutra tipis di ujung ranjang untuk menutupi ketelanjangannya, Jenna bergerak bangkit. Menahan jeritan karena rasa sakit dan perih yang berpusat di pangkal paha ketika mengambil langkah pertamanya turun dari tempat
Jerome merasa begitu marah merasakan kepanikan yang menggelegar di dalam dadanya tak sanggup ia kuasai. Perjalanan dua puluh menit menuju rumah sakit, belum pernah terasa sepanjang ini. Dengan tangannya yang menggenggam erat pergelangan tangan Jenna dan tubuh lunglai wanita itu berada dalam rangkulannya. Tubuh Jenna mulai dingin dan wajah wanita itu terlihat sangat pucat.Lebih pucat ketimbang ketika ia menyelamatkan wanita itu dari dasar kolam renang, dan ia masih belum melupakan kepanikan bercampur kemarahan ketika menjejalkan udara ke paru-paru Jenna yang dipenuhi air kolam, sekarang wanita itu harus menambah keresahan dan kemurkaannya berkali-kali lipat dengan menyayat nadi untuk mengakhiri nyawa.Sialan. Hanya dirinya yang punya hak untuk membunuh Jenna. Untuk mengakhiri nyawa wanita itu. Bukan siapa pun atau diri wanita itu sendiri. Seluruh jiwa dan raga wanita itu hanya miliknya.“Buat dia kembali hidup apa pun caranya. Berikan apa pun yang terbaik