"Kampret temen gue, lo habis berantem?"
"Bukan urusan lo." Aldevan mendekati Arlan dan mengambil alih kardus besar itu tanpa merasa berat sedikitpun. "Gue ada macet di jalan tadi, lo jangan kira gue telat bangun."
Arlan maupun Kevin sama-sama melongo, melihat satu temannya itu mengangkat kardus yang sebelas dua belas dengan berat badan Arlan. Tatapannya, dari sorot cowok itu Kevin telah menyimpulkan sesuatu.
"Buset dah, yakin gua lo habis berantem. Setidaknya lo ngomong kalo ada masalah, siapa tahu kita bisa bantu," saran Kevin, lalu melirik sekilas Mery.
"Bantuin kaki gue dulu ogeb, seenak jidat lo timpukin tuh kardus ke kaki gue. Sialan!" Arlan mendekat dan menjitak kepala Kevin keras membuat cowok itu meringis sesaat.
"Iya nyet iya, entar kita ke UGD."
"Kampret!"
Kevin menatap Mery, sementara Aldevan berjalan sambil membawa kardus besar tadi ke back stage, banyak pertanyaan yang ia bendung di otak
Sesuai perintah Aldevan, Mery berjalan menuju perpustakaan, tempat yang bahkan tidak pernah sama sekali ia kunjungi itu. Dari dulu, Mery memang malas pergi ke perpustakaan, menurutnya itu hanya membuang waktu apalagi aura nerd berhamburan di sana. Dengan langkah malas, ia melewati koridor sambil sesekali melirik ke samping, tentu saja ia takut ketahuan Bu Martha. Beberapa kelas dengan murid di dalamnya sudah duduk rapi. Meski begitu Mery ogah mempedulikan kelasnya yang kemungkinan melakukan hal sama. Sesampainya di perpustakaan, mata Mery langsung menangkap sosok Aldevan yang duduk pada salah satu kursi sambil fokus membaca buku, saking fokusnya cowok itu tidak menyadari kehadiran Mery. Mery mendengus, apakah Aldevan ingin mengajarkannya sesuatu? Kalau tau begitu sih, mending dia kabur saja. Males bgt gue disuruh belajar, batin Mery. Berniat kabur, Mery berbalik namun deheman seseorang menghentikkan langkahnya. "Ekhem, mau kemana lo?"
Pertunjukkan eskul berlangsung sekitar lima menit lagi, setelah kepala sekolah SMA Nishida memberikan sambutan langsung di atas panggung dengan pidato panjangnya. Semua siswa juga telah hadir demi menonton, mereka mengambil tempat pada setiap koridor depan kelas mereka. Ada juga yang memilih menonton dari atas rooftop karena koridor bawah sudah penuh hingga beberapa siswa sempat berdesakan. Dian, cowok itu tengah berdiri di sisi lapangan demi mengambil gambar setiap pertunjukkan. Hal yang biasa ia lakukan jika ada event-event seperti sekarang. Sementara Arlan dan Kevin berada pada dua sisi yang berbeda, Arlan sibuk berbincang dengan Hana yang berada di rooftop dan Kevin pada sisi kiri lapangan. Kevin berdecak tidak sabar, dia mendongak dan melambaikan tangan pada Arlan. "WOY! ARLAN, TURUN NYET. BENTAR LAGI MULAI." Dari kejauhan, Arlan nyengir. Di sebelah cowok itu ada Hana. "Bentaran doang! Lu mah, ngiri!" Aldevan yang menyadari hal itu
Kenapa lo tiba-tiba bawa gue menjauh? Gue masih mau ngobrol sama Hana," tanya Mery. Berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Aldevan. Jika semua pasang mata justru terpaku pada teater yang mulai diiringi musik di panggung sana, tidak bagi Aldevan, cowok itu malah membawa Mery menuruni tangga. "Lo kenal Hana?" tanya Aldevan to the point. "Baru tadi, lo kenal? Mukanya kayak nggak suka amat gitu." Aldevan menghela berat, jangan lupa jika tangan mereka masih menggenggam erat, mengundang teriakan histeris para siswi ketika mereka lewat. Njass dah, pamer bet tuh adek kelas Alah, kutil cicak. Gue juga bisa. Aduh abang ganteng pamer kemesraan. Iya tuh, gak tau apa adek lagi jomblo. Umpatan itu terdengar jelas sepanjang lorong yang mereka lewati, dari rooftop sampai kaki mereka memijak anak tangga terakhir, suara itu masih menusuk pendengaran mereka namun Aldevan enggan mempedulikannya. Oke, kembali ke topik. Ald
Dua bola mata itu membulat sempurna ketika mendapati pemilik suara, Hana buru-buru memalingkan muka dan berusaha setenang mungkin menghadapinya. "Jangan takut, gue nggak seember yang lo kira. Maaf gue lancang ngedenger omongan lo." Cewek itu mengulas senyum tipis, ia menepuk bahu Hana. "Lo suka Aldevan sejak kapan?" Hana menahan napas beberapa saat, matanya memicing seolah meragukan cewek berkacamata di hadapannya kini. Jelas, lihat saja dari penampilannya yang cupu. "Lo siapa? Kelas berapa? Kenapa lo nguping?" cecar Hana takut. Cewek itu menaikkan alisnya lalu tertawa pelan. "Nanyanya slowan dikit, gue Hanasa. Kelas X IPS-2," jawabnya santai. "Lo sendiri, nama lo Hana, kan?" Tentu saja Hana terkejut, ia melontarkan tatapan sinis pada cewek bernama Hana itu. "Darimana lo tau, lo juga nggak bisa sopanan dikit sama kakak kelas? Setidaknya lo manggil gue kakak," ujar Hana bersedekap. "Harus? Gue sendiri merasa sia-sia," ujar Hanasa.
Langkah lebar Mery membawanya sampai ke depan pintu toilet, sayangnya toilet cewek hanya ada dua, dan keduanya sedang di pakai. Mery menghentakkan kakinya kesal, ia sudah tidak tahan lagi. "Aduh, yang di dalam lama amat sih, udah nggak tahan nih, ah pengen gue gedor aja ni pintu," kesalnya sendiri. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya pintu toilet terbuka, Mery yang sudah kebelet banget menarik cewek itu--yang ternyata Hana, secara paksa. "Lama amat sih?!" tanya Mery, menatapnya sinis. "Maaf Ry, gue lagi habis enak penuhin panggilan alam," jawabnya sesopan mungkin. "Tapi lo harus ingat waktu juga, orang banyak ngantri di luar, ish! Ngeselin!" Hana mengangguk singkat, sebisa mungkin ia mengontrol emosi sebagai siswi teladan. "Ya udah, cepet gih lo masuk." Dengusan kecil lolos dari hidung Mery, ditatapnya Hana--cewek itu bereaksi biasa saja, tidak seperti cewek lain yang pasti marah kalau dia ngegas sedikit saja. "Hat
Tangan Aldevan terkepal selama menuju kolam renang belakang sekolah, ada rasa khawatir dan ketakutan sendiri menyerbu hatinya. Beberapa siswa yang tadinya sibuk makan berusaha mengekor diam-diam dari belakang, tetapi tidak untuk Arlan, Kevin, Sarah, Tasya, Raya dan Hana yang secara terang-terangan mengikuti sahabatnya. "Gue rasa lo harus tenang dulu, Al ," saran Arlan sembari mensejajarkan langkah, menepuk pundak Aldevan berniat menenangkan. Aldevan mendelik dengan ujung matanya. "Gimana gue bisa tenang, bego?!" sahutnya membuat Arlan bungkam. "Lo pastiin dulu berita itu bener atau nggak." Arlan berani bersuara, Aldevan sontak menghentikan langkahnya begitu juga empat orang di belakangnya, menatap Arlan. "Jadi Kakak kira aku bohong?" tanya Sarah, tidak terima merasa diragukan. Arlan mengernyit menatap Sarah. "Jangan-jangan, kenapa cuma lo yang liat?" Sarah mendengus. "Ceritain sekarang sama aja buang waktu, Kak, mending kak Aldev
Selang puluhan menit sudah, Aldevan menopang dagunya dengan tangan. Sambil menunggu kabar dari dokter tentang keadaan Mery, yang sedang dirawat di ruang ICU. Jam berdetak pada dinding koridor memecah kesunyian, Aldevan memijit pelipisnya berkali-kali, kepalanya terasa berdenyut saat memikirkan siapa pelaku itu. Mungkinkah Hana? Tapi bagaimana ia tahu jika Mery tidak bisa berenang? Memilih memikirkan itu nanti, Aldevan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Suara langkah kaki terdengar mendekat, Aldevan melirik ke samping dan mendapati Raya bersama Bu Astri berjalan mendekat. "Gimana, udah ada kabar?" tanya Raya cemas. Aldevan menggeleng cepat. "Belum." Raya menghembuskan napas berat. "Gue takut Mery kenapa-kenapa." Lalu menjatuhkan pantatnya pada kursi samping Aldevan. "Lo nggak cemas gitu?" tanya Raya, menatap Aldevan. "Apa dari muka gue lo nggak bisa simpulin sesuatu?" tanyanya datar. Raya langsung nyengir.
"Rambut gue sakit, gue dijambak, mata gue ditutup pake kain, tangan gue diiket, kaki gue juga. Saat itu, gue merasa kayak mumi yang siap dilempar ke dalam peti," kata Mery. Ia menunduk ketakutan. "Gue ingat tubuh gue juga diiket, setelah itu gue nggak bisa gerak, boro-boro mau ngelawan." Mery bersuara serak, setelah Aldevan menanyakan kronologi kejaAldevan sebelum dia dilempar ke kolam, mata cewek itu berkaca-kaca, tangannya meremas selimut berwarna putih. Wajahnya pucat serta bibirnya gemetar. Untuk kedua kalinya, Aldevan melihat Mery menitikkan air mata, selepas pertanyaannya beberapa hari lalu di perpustakaan. "Lagi, apa yang lo ingat?" Meski berat, Aldevan tetap bersikukuh melanjutkan pertanyaannya. Karena selagi ia bisa, tidak ada kecuali untuk mengurungkan perintah Bu Astri. "Setelah itu … gue diseret sampai ke kolam, selagi gue diseret gue denger mereka ngobrolin sesuatu. Gue denger nama lo dan gue disebut beberapa kali, tapi gue