"Ih. Nggak mau pulang ke rumah, gue pengen di sini aja. Gue takut di rumah sendirian," mencak Mery. Ia menarik-narik seragam Aldevan. Membuat cowok itu menghela berat. "Terus lo mau pulang kemana selain ke rumah? Kata dokter lo harus banyak istirahat, Ry. Lo belum pulih penuh," jawab Aldevan. Mery mengerucutkan bibir lalu melepaskan tarikannya dari seragam Aldevan. Mery mendengus. "Rumah gue kan sepi, gak ada orang, papa pasti pulangnya malam," lirih Mery. "Lagian kita kemana kek, asal jangan pulang ke rumah gue. Males banget dah." Aldevan menggeleng sambil berdecak beberapa kali, melihat tingkah Mery yang aneh itu. Tapi, mengapa ia harus menghindar dari rumahnya sendiri? "Kita jalan-jalan aja," saran Mery. Aldevan mengernyit, lagipula ini sudah sore, sepertinya tidak baik bagi mereka berdua menghabiskan waktu berdua. Entar ada gosip-gosip tidak enak tersebar luas. "Ini udah sore, Ry." "Ya nggak papa kan, kita cuma jalan-jalan,
"Berapa kali bunda katakan sayang, bunda pasti buat Aldevan kembali suka sama kamu, tinggal tunggu waktunya yang tepat saja," ujar Hasna--bundanya Hana, yang mencoba memperingatkan lagi pada Hana agar tidak mempertaruhkan kesehatannya hanya demi Aldevan. Cewek itu terlihat menangis sesegukan, sambil memijat kakinya yang membengkak akibat terjatuh sore tadi. "Sekarang kamu lihat lutut kamu, sampai lecet begini, mama takut berdampak pada penyakit kamu, apa sebaiknya sekarang kita ke dokter?" tanya Hasna khawatir. Hana menggeleng. "Nggak usah, Ma, cuman lecet sedikit. Beberapa hari lagi juga sembuh." Hasna menghembuskan napas berat, ia menatap putrinya nanar dan mengusap turun rambut Hana. "Sedikit apanya? Ini parah Hana, ayo kita ke dokter." Hana menggeleng lagi, sesaat ia tersenyum menatap Hasna. Sungguh, meski sakit di lukanya masih terasa, ia harus tetap kuat. "Ma, Hana nggak selemah itu sampai harus ke dokter, Hana masih bisa m
Tiga orang cewek sedang berkumpul di salah satu ruangan berac lengkap dengan beberapa fasilitas lainnya. Ada wifi, TV LED, kulkas, AC, bahkan luasnya hampir sama dengan ruang tamu. Dimana lagi kalau bukan di kamar Mery, kamar yang penuh makanan serta fasilitas mewah yang membuat siapa saja betah berlama di sana. Tasya sibuk berkutat menyelesaikan tugas di macbooknya, sesekali memijat pelipis, faktor dari banyaknya tugas yang diberikan Pak Yoshi. Memusingkan kepala. "Ah sialan." Kini Tasya sudah muak pada tugasnya. Ia menutup macbook, meluruskan kaki, sebelum akhirnya menguap dan merebahkan tubuh pada kasur king size Mery. "Kesel banget Sya, why?" tanya Raya, tangannya sibuk mengepang rambut Mery. Tasya menoleh setelah mendengus. "Biasa, tugas pak kumis, nyuruh-nyuruh gue bikin soal matematika." Raya terbahak puas. "Kesian deh lo, untung gue sama Mery di rumah sakit waktu itu, jadi kita ada alasan ngehindarin tugas. Iya kan, Ry?" Raya m
Pening, sakit perut, dan penglihatannya memburam. Setidaknya itulah yang dirasakan Aldevan sekarang. Setelah berulang kali memuntahkan semua isi perutnya, kini cowok itu bersandar pada tembok di belakangnya. Menahan gejolak aneh yang ada di perutnya. "Lo yakin gapapa, sini gue bantu lo ke UKS. Lo minta bisa obat di sana," ucap Kevin yang sedari tadi berada di sampingnya. "Nggak perlu, sebaiknya lo tinggalin gue aja. Biarin gue sendiri. Gue takut Mery liat," jawab Aldevan, wajahnya memucat. Kevin maju selangkah, ia menatap Aldevan. "Kenapa lo takut Mery liat?" "Gapapa." "Masa?" "Vin. Lo ngerti perintah gue nggak?!" kali ini suara Aldevan naik satu oktaf. Mengerti, Kevin pasrah. Ia bersuara lalu menepuk pundak Aldevan. "Oke, karena lo sedang emosi. Lo tunggu di sini, gue ambilin obat." Tanpa mendapat respon, Kevin pergi dari hadapannya. Aldevan sekilas mendapati cowok itu membuka bekal pink milik Mery. Bukan h
"Tinggalin semua kebiasaan buruk lo." Jawaban Aldevan membuat Mery mengerucutkan bibir, jika ditanyakan soal kebiasaan ia memang sulit merubahnya. Dari dulu, kebiasaan buruk Mery bagai bayangan yang mengikuti kemana pun ia pergi. Jangankan merubah, hal sepele seperti mengancing dua seragam atasnya saja ia sering lupa. "Merubah gimana sih maksud lo? Dari sananya gue emang ditakdirin kayak gini. Enggak ah gak mau, gue nggak terima," rengek Mery. Melipat tangan di bawah dada. Aldevan memutar bola matanya malas, menarik satu tangan Mery dan menyentuhkannya ke dadanya. "Ya sudah, terserah lo. Jadi hadiahnya juga nggak jadi." Mery menatap Aldevan terkejut. "Eh, masa gitu?" Aldevan menatap Mery pongah. "Supaya adil, lo nggak terima, gue juga nggak terima ciuman pertama gue lo ambil percuma. Lagian, apa susahnya lo berubah demi gue, demi masa depan lo sendiri," kata Aldevan. "Artinya lo bakal nikah sama gue?" tanya Mery antusias.
Kantin perlahan mulai penuh, setelah bel istirahat kedua berbunyi nyaring. Banyak siswa-siswi mengantri demi membeli jajanan atau sekedar menggosip berita baru di sekolah. Namun itu tidak untuk tiga orang cewek yang sedang duduk di salah satu kursi panjang, dua cewek di antaranya sibuk memainkan ponsel, tapi satu cewek–-berkepang lainnya malah sibuk berkutat dengan buku paket Matematika. "Yaelah, Ry. Kena angin apa lo mendadak rajin gitu?" tanya Raya. Dengan mulut hampir penuh camilan. "Kesantet Aldevan kali, gue mikirnya gitu, pemandangan langka banget dah, tuh liat Ry. Lo jadi tontonan mereka. Nggak malu apa?" Tasya melirik penghuni kantin yang rata-rata menoleh ke arah mereka, ah tidak! Lebih tepatnya ke arah Mery. Bagaimana tidak? Pemandangan Mery belajar di kantin itu sangatlah langka. Bahkan ada yang sampai mengucek-ngucek matanya. Mery melirik sekilas keadaan kantin, memang benar, hampir semua mata menatapnya. Namun tidak akan
Taman kecil belakang sekolah menjadi pilihan Aldevan untuk mengajarkan Mery materi matematika. Jujur, ia sendiri tidak begitu ahli jika menyangkut hitungan. Adanya hembusan angin menerpa sesekali membuat mereka nyaman, apalagi hanya berdua saja. "Ih, ini susah banget, pake rumus apa coba? Gue nggak paham, au ah belajarnya besok aja lagi." Mery mulai merengek setelah membaca satu soal, lantas membuat kepalanya pusing seketik. Aldevan mendengus geli, dia mengambil satu pulpen dari tangan Mery. "Ini mudah kok, lo baca dulu materinya, jangan langsung ke soal," kata Aldevan, membalik halaman buku paketnya. Menunjuk penjelasan materi di sana. "Materinya mudah, soal tentang barisan dan deret. Gue yakin lo bisa, baca pelan-pelan." "Susah tauu! Lebih susah dari dapetin itu dari lo," kata Mery menunjuk bibir Aldevan. Cowok itu memutar bola mata. "Susah lagi kalo lo gak usaha pahamin, ini mudah, Ry, anak kelas sepuluh aja pasti bisa. Masa lo
"Yeay, udah sampe. Nggak mau masuk dulu, jarang banget ih lo mampir, mumpung gue lagi sendiri," ucap Mery, ketika motor Aldevan berhenti tepat depan pagar rumahnya. Gelengan pelan respon Aldevan, ia hanya tidak nyaman jika berduaan saja dalam rumah yang sepi. Diusapnya lembut rambut Mery, kemudian berkata. "Enggak." "Ih, mau ya, kali ini aja, gue lupa kapan terakhir kali lo ke rumah gue, rasanya udah lama banget. Mau ya, mau, mau dong." Mery bersikeras, dia menarik-narik lengan seragam Aldevan, seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan. Karena Mery sudah turun dari motor, Aldevan sulit mengelak sebab kini cewek itu merentangkan tangan, tepat depan motornya. "Iya dah, iya gue mampir. Cuma sebentar, gue ada urusan habis ini." Aldevan menghela berat dan melepas helmnya, turun dari motor lalu berhadapan dengan Mery. "Yeay, ayo masuk," senang Mery, langsung menuntun Aldevan masuk ke rumahnya. Namun baru sampai depan pintu, cowok