Jasmin membuka kotak makanannya, aroma pasta tomat dan rempah membuat perutnya terasa bergejolak, tapi bukan karena lapar.
Sudah lama ia tidak benar-benar makan. Dan hari ini, saat sendok itu menyentuh bibirnya, ia merasa seperti sedang menelan sesuatu yang lebih berat dari sekadar makanan: kenyataan bahwa dirinya akhirnya bertahan.“Kalau aku pergi dari sini…” katanya pelan sambil menatap ke depan, “…aku belum tahu akan ke mana.”“Tak semua perjalanan butuh tujuan di awal,” sahut Adele. “Yang penting kau melangkah.”Jasmin mengangguk pelan, lalu menyuap makanannya lagi. Tidak terburu-buru. Tidak lagi merasa dikejar apa pun.Hanya ia… dan waktu yang mulai ia kendalikan.**Di tempat lain, jauh dari apartemen kecil itu, Reyan duduk di ruang musik keluarga. Ruangan itu biasanya tenang, penuh suara piano dari Elena atau gesekan biola dari Livia saat tamu datang.Tapi sekarang hanya ada dirinya.Dan sebuah kursiLangkah Jasmin bergema pelan di lorong apartemen yang sempit.Koper kecil ditariknya perlahan. Tidak berat. Tapi tidak juga ringan. Karena yang dibawanya bukan hanya pakaian, melainkan sepotong hati yang baru mulai ia jahit ulang.Adele berjalan di sampingnya, memeluk map coklat berisi alamat tempat tinggal baru Jasmin—sebuah kamar sewaan kecil di pinggir kota, tidak jauh dari galeri seni tempat Adele dulu bekerja paruh waktu.“Bisa kuhantar sampai ke sana?” tanya Adele.Jasmin menggeleng. “Aku ingin sampai sendiri. Aku harus tahu rasanya menapaki sesuatu tanpa siapa pun di sampingku.”Adele menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kalau begitu… jangan lupakan arah pulang.”“Aku tidak lupa,” balas Jasmin pelan. “Tapi untuk sekarang… aku memilih pergi.”Mereka berpelukan singkat. Tak banyak kata. Karena kadang, persahabatan paling kuat adalah yang tak butuh banyak ucapan.Dan saat pintu lift tertutup di hadapan Adele,
Jasmin membuka kotak makanannya, aroma pasta tomat dan rempah membuat perutnya terasa bergejolak, tapi bukan karena lapar.Sudah lama ia tidak benar-benar makan. Dan hari ini, saat sendok itu menyentuh bibirnya, ia merasa seperti sedang menelan sesuatu yang lebih berat dari sekadar makanan: kenyataan bahwa dirinya akhirnya bertahan.“Kalau aku pergi dari sini…” katanya pelan sambil menatap ke depan, “…aku belum tahu akan ke mana.”“Tak semua perjalanan butuh tujuan di awal,” sahut Adele. “Yang penting kau melangkah.”Jasmin mengangguk pelan, lalu menyuap makanannya lagi. Tidak terburu-buru. Tidak lagi merasa dikejar apa pun.Hanya ia… dan waktu yang mulai ia kendalikan.**Di tempat lain, jauh dari apartemen kecil itu, Reyan duduk di ruang musik keluarga. Ruangan itu biasanya tenang, penuh suara piano dari Elena atau gesekan biola dari Livia saat tamu datang.Tapi sekarang hanya ada dirinya.Dan sebuah kursi
“Dia melihatmu,” bisik Adele, mencoba menenangkan.“Ya,” jawab Jasmin lirih. “Dan dia memilih untuk tetap berjalan.”Untuk pertama kalinya sejak pergi, air mata Jasmin tidak datang.Hanya… kosong.Dan mungkin itulah tanda bahwa cinta itu… sedang perlahan mati.**Kedai kopi itu perlahan sepi, suara gelas, sendok, dan tawa orang-orang memudar. Tapi di dada Jasmin, semuanya tetap gaduh. Bukannya tenang, justru terasa seperti dunia sedang meruntuhkan satu bagian dari dirinya yang selama ini paling ia lindungi.Di dalam mobil, ia menatap jalanan yang mereka lewati dengan mata buram. Bukan karena air mata—tapi karena dirinya seperti berjalan di antara kabut. Semua terlihat, tapi tak terasa nyata. Bahkan saat Adele menggenggam tangannya, Jasmin hanya bisa memaksakan senyum tipis yang hampa.Begitu kembali ke apartemen, Jasmin langsung melepas jaket dan berjalan ke dapur. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir lama sebelum
Suara kota menyambut mereka begitu pintu apartemen terbuka.Bising, ramai, dan tak peduli.Jasmin mengenakan hoodie besar milik Adele dan celana jeans longgar, wajahnya polos tanpa riasan, seperti mencoba menghapus identitas gadis yang kemarin masih berdiri di taman Von Thalheim bersama Reyan.“Aku bahkan lupa cara jadi orang biasa,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di dada.Adele menatapnya sambil menahan tawa. “Selamat datang di kehidupan. Tidak ada piano klasik, tidak ada kristal, dan tidak ada… Reyan.”Nama itu membuat dada Jasmin terhenti sejenak. Tapi ia tidak menunduk. Tidak lagi.“Jangan ucapkan namanya kalau kau tak siap menangkapku saat aku jatuh,” ucapnya setengah bercanda.Adele mengangkat tangannya seolah bersumpah. “Aku akan selalu di bawah kalau kau jatuh.”Jasmin tertawa lirih. “Itu terdengar salah.”“Memang, tapi jujur.”Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kedai kop
“Apa menurutmu… aku lemah?” bisik Jasmin.Adele, yang baru saja meletakkan sisa teh ke meja kecil di samping ranjang, menoleh pelan.“Tidak. Justru karena kau kuat… makanya kau berani pergi.”Jasmin menarik lututnya ke dada. Matanya masih kosong, tapi tubuhnya terlihat lebih tenang. Seolah setelah menangis cukup lama, hatinya pasrah pada luka itu.“Aku mencintainya,” katanya sekali lagi. “Tapi aku tidak ingin dia mencintaiku sambil membenci hidupnya sendiri.”Adele tak menjawab. Ia tahu, tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu dalam satu malam.Mereka terdiam. Dan di dalam keheningan itu, suara ponsel Jasmin bergetar di meja.Nama Reyan muncul di layar.Jasmin menatapnya lama. Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh tombol terima, tapi…Ia membiarkannya berdering sampai mati.Adele menatapnya. “Kau yakin?”“Kalau aku dengar suaranya sekarang…” suara Jasm
Reyan tak menjawab.Ia hanya berdiri di sana, mematung, bahkan saat tangan Jasmin perlahan-lahan melepas sentuhannya.“Aku harus pergi,” bisik Jasmin sekali lagi.Ia menunggu sejenak. Tapi Reyan tetap diam. Entah karena marah, kecewa, atau terlalu hancur untuk berkata apa-apa.Maka Jasmin melangkah mundur. Dua langkah. Tiga.Baru setelah punggungnya menjauh sejauh lima langkah, suara itu terdengar.“Jasmin…”Ia berhenti.“Kalau kau berubah pikiran…” Reyan menelan ludah, menahan suara yang nyaris pecah. “Kau tahu di mana harus menemukan aku.”Jasmin tak menoleh.Karena kalau ia menoleh, ia tahu tak akan sanggup pergi.Di luar villa, langit mulai meredup. Tapi tidak ada matahari tenggelam, tidak ada senja yang indah. Hanya langit kelabu yang terasa hampa. Sama seperti dadanya.Jasmin menuruni tangga villa dengan langkah yang tak lagi bisa dipertahankan. Ia hampir berlari me