Jasmine tak pernah menyangka bahwa kepindahan ibunya ke rumah seorang duda kaya akan mengubah hidupnya. Ia mendapatkan keluarga baru—termasuk Reyan, pria dingin dan dewasa yang kini sah menjadi kakak tirinya. Tapi bagaimana jika perasaan yang tumbuh bukan kasih saudara, melainkan cinta yang terlarang? Saat cinta tak mengenal batas darah—akankah mereka memilih rasa, atau logika?
Lihat lebih banyak“Ayo, Jas. Kopermu Ibu bawakan.”
“Ibu… aku bisa sendiri,” jawabku pelan. Langkahku menapaki lantai marmer rumah yang terlalu luas itu seperti berjalan di tempat asing. Tidak ada yang menyambut. Tidak ada suara. Hanya suara roda koper yang bergesek di lantai. Rumah ini… tidak terasa seperti rumah. Lebih seperti panggung. Semua terlalu rapi. Terlalu sepi. “Ibu tinggal di sini sekarang?” tanyaku, memandang ke arah lukisan besar yang menggantung di lorong. Ibu tersenyum. “Iya. Bersama Om Daniel dan Reyan. Mulai sekarang, kita satu keluarga.” Satu keluarga. Kata yang terlalu besar untuk dijelaskan dengan senyum. “Ibu tahu kamu butuh waktu. Tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja,” lanjut Ibu, tangannya menyentuh bahuku. Aku mengangguk kecil. Tapi dalam hati… aku tidak yakin. Dari tangga atas, langkah kaki terdengar. Lambat. Tegas. Lalu seseorang muncul di ujung anak tangga. Reyan. Tinggi. Dingin. Tatapannya tajam, seperti tak pernah benar-benar ingin melihat siapa pun. Rambutnya sedikit acak, dan tubuhnya tegap tanpa usaha. Dia turun tangga tanpa kata. Ibu tersenyum ramah. “Rey, kenalkan, ini Jasmine. Mulai hari ini, dia akan tinggal bersama kita.” Reyan hanya mengangguk. Sepatah pun tak keluar dari mulutnya. Tapi matanya… seperti mengukurku. Menelanjangiku, bukan secara fisik, tapi seperti sedang membaca isi kepalaku. Aku berusaha tersenyum sopan. “Hai.” Dia tidak membalas. Hanya berbalik dan berjalan menjauh. “Ibu minta maaf, dia memang agak… sulit dibuka,” ucap Ibu canggung. “Tapi dia baik, kok. Nanti juga kamu akan kenal lebih jauh.” Aku menahan napas. Tidak ingin berkata apa-apa. ** Kamar yang diberikan padaku berada di lantai dua, tak jauh dari kamar Reyan. Letaknya menghadap taman belakang, tapi aku lebih memperhatikan pintu Reyan yang tertutup rapat di ujung lorong. “Kalau ada apa-apa, kamar Ibu di bawah. Reyan… dia jarang di rumah, jadi kamu nggak akan sering ketemu juga,” kata Ibu sambil meletakkan koperku. Aku hanya mengangguk. Tapi kenyataannya, aku tahu sejak awal… kehadiran Reyan bukan sesuatu yang bisa dihindari. “Ibu ke bawah dulu, ya. Om Daniel belum makan, katanya mau ngobrol sebentar.” Aku mengantar Ibu ke pintu dengan pandangan. Setelah pintu tertutup, keheningan itu datang lagi. Aku duduk di tepi ranjang. Mengamati ruangan yang akan jadi tempat tinggalku entah sampai kapan. Dindingnya bersih, ranjangnya putih, dan semuanya terlalu steril. Tidak ada tanda kehidupan. Di luar jendela, senja mulai turun. Di lorong… masih sepi. Tapi entah kenapa, aku merasa sedang diperhatikan. Lalu terdengar suara dari luar pintu. Tok. Tok. Aku berdiri cepat. Membuka pintu perlahan. Reyan berdiri di sana. Masih dengan ekspresi yang tak terbaca. “Kalau kamu pakai kamar itu, jangan terlalu banyak buka jendela. Angin malam di sini sering bikin alarm rumah bunyi,” katanya datar. Aku mengangguk. “Oke. Terima kasih sudah kasih tahu.” Dia tidak pergi. Tatapannya masih menusuk. Tapi sekarang… seperti menantang. “Kamu nggak takut tinggal di sini?” tanyanya tiba-tiba. “Kenapa harus takut?” jawabku hati-hati. Dia mengangkat bahu. “Nggak semua orang suka tinggal di rumah yang bukan rumah mereka.” Lalu dia berbalik. Tapi sebelum pergi, dia sempat berkata pelan: “Kalau kamu penasaran… hati-hati. Beberapa hal di sini lebih baik nggak kamu tahu.” Pintunya tertutup. Dan entah kenapa… justru itu yang membuatku ingin tahu lebih dalam.Suara kota menyambut mereka begitu pintu apartemen terbuka.Bising, ramai, dan tak peduli.Jasmin mengenakan hoodie besar milik Adele dan celana jeans longgar, wajahnya polos tanpa riasan, seperti mencoba menghapus identitas gadis yang kemarin masih berdiri di taman Von Thalheim bersama Reyan.“Aku bahkan lupa cara jadi orang biasa,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di dada.Adele menatapnya sambil menahan tawa. “Selamat datang di kehidupan. Tidak ada piano klasik, tidak ada kristal, dan tidak ada… Reyan.”Nama itu membuat dada Jasmin terhenti sejenak. Tapi ia tidak menunduk. Tidak lagi.“Jangan ucapkan namanya kalau kau tak siap menangkapku saat aku jatuh,” ucapnya setengah bercanda.Adele mengangkat tangannya seolah bersumpah. “Aku akan selalu di bawah kalau kau jatuh.”Jasmin tertawa lirih. “Itu terdengar salah.”“Memang, tapi jujur.”Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kedai kop
“Apa menurutmu… aku lemah?” bisik Jasmin.Adele, yang baru saja meletakkan sisa teh ke meja kecil di samping ranjang, menoleh pelan.“Tidak. Justru karena kau kuat… makanya kau berani pergi.”Jasmin menarik lututnya ke dada. Matanya masih kosong, tapi tubuhnya terlihat lebih tenang. Seolah setelah menangis cukup lama, hatinya pasrah pada luka itu.“Aku mencintainya,” katanya sekali lagi. “Tapi aku tidak ingin dia mencintaiku sambil membenci hidupnya sendiri.”Adele tak menjawab. Ia tahu, tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu dalam satu malam.Mereka terdiam. Dan di dalam keheningan itu, suara ponsel Jasmin bergetar di meja.Nama Reyan muncul di layar.Jasmin menatapnya lama. Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh tombol terima, tapi…Ia membiarkannya berdering sampai mati.Adele menatapnya. “Kau yakin?”“Kalau aku dengar suaranya sekarang…” suara Jasm
Reyan tak menjawab.Ia hanya berdiri di sana, mematung, bahkan saat tangan Jasmin perlahan-lahan melepas sentuhannya.“Aku harus pergi,” bisik Jasmin sekali lagi.Ia menunggu sejenak. Tapi Reyan tetap diam. Entah karena marah, kecewa, atau terlalu hancur untuk berkata apa-apa.Maka Jasmin melangkah mundur. Dua langkah. Tiga.Baru setelah punggungnya menjauh sejauh lima langkah, suara itu terdengar.“Jasmin…”Ia berhenti.“Kalau kau berubah pikiran…” Reyan menelan ludah, menahan suara yang nyaris pecah. “Kau tahu di mana harus menemukan aku.”Jasmin tak menoleh.Karena kalau ia menoleh, ia tahu tak akan sanggup pergi.Di luar villa, langit mulai meredup. Tapi tidak ada matahari tenggelam, tidak ada senja yang indah. Hanya langit kelabu yang terasa hampa. Sama seperti dadanya.Jasmin menuruni tangga villa dengan langkah yang tak lagi bisa dipertahankan. Ia hampir berlari me
Pintu kamar Reyan masih tertutup saat malam kembali datang. Tapi kali ini… tidak ada ketukan. Tidak ada langkah kaki yang berjalan di lorong. Tidak ada sentuhan di pipi atau napas yang memburu di telingaku.Kosong.Dia tidak pulang seharian.Dan aku? Aku hanya duduk di ranjangku. Menatap lampu tidur yang kuning redup, sambil memeluk lutut sendiri. Aku pikir… setelah malam itu, semua akan berubah.Tapi ternyata, setelah seseorang membuka sedikit celah dalam dirinya—dia bisa menutupnya dua kali lebih cepat.Aku menghela napas. Lalu bangkit. Langkahku pelan menuju jendela. Kucoba mengintip ke luar, tapi jalanan sepi. Tak ada cahaya mobil. Tak ada suara gerbang.Dia benar-benar pergi.“Kenapa harus begini?” gumamku lirih. “Kita baru saja mulai bicara…”Tok. Tok.Suara pelan itu menghentikan napasku sejenak.Tok. Tok.Bukan dari jendela. Tapi dari arah pintu.Aku berbalik cepat. Ha
“Jadi kamu tidur di kamarnya?”Pertanyaan itu keluar dari mulut Papa pagi harinya, tanpa nada tinggi. Tapi justru karena itulah… aku tidak bisa membalas.Kami duduk di ruang tengah, hanya berdua. Ibu masih di dapur. Reyan entah ke mana. Mungkin sengaja menghilang sejak kejadian tadi malam.Aku menunduk. “Aku… hanya ingin bicara.”Papa menghela napas panjang. “Di dunia ini ada banyak cara untuk bicara, Jasmine. Tapi tidak dengan tidur di ranjang laki-laki, malam-malam, dalam rumah yang sama.”“Tidak terjadi apa-apa.”“Itu bukan intinya.”Aku mengangkat wajah. “Kalau aku tidak jujur sama Reyan, aku akan terus merasa asing. Dan aku capek jadi orang yang selalu menebak apa yang salah.”Papa memandangi wajahku lama, lalu berkata pelan, “Kamu tahu dia bukan pria biasa. Dia punya luka, Jas. Luka yang besar. Ibumu tahu itu. Aku juga tahu. Tapi kamu…”“Aku juga tahu,” potongku cepat. “Aku tahu dia pernah dikhian
“Aku belum pernah kayak gini sebelumnya.”Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Suaraku nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang mengguyur atap rumah.Reyan melirik dari balik selimut. “Maksudnya?”“Berada di kamar pria tengah malam… dan ngerasa lebih tenang daripada takut.”Dia tidak menjawab. Tapi ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya. Sekilas. Lalu hilang lagi.“Aku bisa nyalain musik kalau kamu nggak bisa tidur,” katanya pelan.Aku menggeleng. “Kalau terlalu tenang, justru aku bisa dengar suara pikiranku sendiri.”Dia tertawa pendek. “Bahaya, ya?”“Banget.”Kami kembali diam. Tapi bukan karena kehabisan topik. Hanya… ada kenyamanan aneh dalam keheningan ini.Di seberang ranjang, Reyan duduk bersandar ke kepala tempat tidur. Aku masih berbaring menyamping, memandangnya dari sisi ranjang yang lain. Lampu tidur menyala redup. Hanya satu. Cukup membuat siluet wajahnya ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen