Share

07. Ayo Kita Menikah

"Karena itu …."

Elina masih menunggu dengan berdebar-debar, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Jika memang ini seperti dugaannya, Reyhan tak menginginkan bayi mereka, maka ia pun tak tahu harus bagaimana.

"… gue udah mutusin, kalo gue bakal nikahin lo."

Terkejut. Elina terdiam mendengar ucapan Reyhan, sedikit tak menyangka pula. Ini tak seperti yang ia duga, tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya?

Maksudnya, belum lama ini pernikahannya batal, lalu kini dia mengajak wanita lain untuk menikah? Apa kata orang nanti?

"Lo serius? Lo sadar ngomong kayak gitu?" Bukan tanpa alasan Elina bertanya hal tersebut. Dilihat dari keadaan Reyhan saat ini, dia terlihat pucat dan lelah. Mungkin saja pria itu berkata dengan asal.

Namun, dia mengangguk mantap. "Seratus persen sadar."

"Tapi, literally kita berdua baru ketemu dua kali?" Hati Elina gundah. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan?

Ini mungkin adalah satu-satunya solusi yang aman bagi masalah yang tengah menimpanya, tapi ia tak yakin akan berjalan dengan baik melihat dari pengalaman asmara Reyhan sebelum ini. Hubungan tanpa cinta tidak akan mudah atau mungkin tidak akan berhasil. Terlebih mereka berdua sama-sama baru dikhianati oleh pasangan masing-masing. Bayang-bayang masa lalu pasti masih ada.

Sementara pria di hadapannya hanya memandangnya dengan tatapan tenang. "Iya bener, tapi di pertemuan kedua ini kita tahu satu fakta kalo kita berdua bakal jadi orang tua."

Elina menatap acak ke seluruh penjuru kafe yang bisa dijangkau matanya. "Lo— lo gak akan nyuruh gue buat aborsi?"

Reyhan sejujurnya agak terkejut dengan pertanyaan Elina, karena sumpah demi apapun, hal tersebut tak pernah terlintas di benaknya. Lagi pula untuk apa ia melenyapkan darah dagingnya sendiri? Ia tidak ingin menjadi ayah yang kejam.

Tapi ia cukup paham tentang pemikiran Elina. Wanita itu saat ini berada di saat yang sulit —hamil karena orang asing— dan aborsi adalah mungkin satu-satunya jalan keluar baginya saat ini. Namun, Reyhan sudah memutuskan bahwa dia akan bertanggung jawab.

"Gue harap lo jauhin pikiran itu, gue gak sejahat itu buat ngebunuh anak gue sendiri," ucapnya mencoba meyakinkan.

Namun, Elina terlihat masih meragukan niatnya. "Meskipun itu lahir dari orang asing kayak gue?"

"Iya, dari siapapun itu, dia tetap anak gue."

Reyhan terlihat sangat meyakinkan saat ini, tapi Elina masih belum bisa menyetujui ajakannya sebab hal ini terlalu terburu-buru. Pernikahan bukanlah hal yang sepele.

"Lo harus pikirin hal ini mateng-mateng atau lo bakal nyesel, pernikahan itu bukan buat main-main."

Pria itu menggeleng. "Gue tau ini terlalu mendadak, lo gak harus jawab sekarang. Tapi setidaknya pikirin bayi yang lo kandung, dia butuh orang tua yang lengkap." Elina lantas terdiam.

"Lo pengen tahu satu kebenaran?" Sebuah pertanyaan yang menarik, Elina menatap Reyhan dengan penuh penasaran.

"Apa itu?" tanyanya.

"Insiden yang terjadi di antara kita malam itu, bukan cuma sekedar kecelakaan biasa yang gak disengaja." Kedua alis wanita itu menukik. Maksudnya?

Reyhan kembali berucap, "Sebenernya ini semua udah direncanain sama Kanaya, mantan tunangan gue. Lo sama gue sengaja dia jebak biar tidur bareng dan bikin pernikahan batal."

Mendengar penjelasan tersebut, kedua mata Elina melebar, emosinya tersulut. Bahkan ia tidak sadar telah menggebrak meja. Untungnya keadaan kafe ini tengah sepi jadi tak menganggu pengunjung yang lain.

Ricky yang memperhatikan di balik kaca di luar sana sampai berniat untuk menghampiri Elina, takut-takut jika pemuda asing yang bersama sahabatnya itu melakukan sesuatu sehingga membuat Elina marah. Namun, sebuah isyarat untuk tetap diam dari wanita itu membuatnya niatnya urung.

Kedua tangan Eliana bertumpu di atas meja untuk menyangga kepalnya. Dia tak habis pikir, ini masalah percintaan orang lain, tapi mengapa harus dirinya yang terlibat?

"Wah berengsek banget, gue yang gak tahu apa-apa diseret gitu aja ke permasalahan kalian. Gue harus marah sama siapa, nih?" Kepala Elina pening memikirkan hal itu. Dari sekian banyaknya orang di dunia ini, mengapa harus dia?

Namun, mengesampingkan hal itu, bagaimana bisa ada orang sejahat mantan tunangan Reyhan? Yang rela menghalalkan segara cara demi bisa mendapat apa yang dia mau, merugikan orang lain demi keuntungannya sendiri.

Reyhan menundukan kepalanya. "Gue bener-bener minta maaf sama lo, seharusnya lo gak ada di situasi ini."

Elina berdecak. Benar, benar sekali jika seharusnya dia tak berada di situasi ini. Kenapa ingin hidup tenang saja harus sesulit ini?

"Ck, ya udah lah, pusing gue mikirinnya!" Ia kesal bukan main.

Tapi jika kembali dipikir, dia tak bisa marah dan menyalahkan Reyhan begitu saja karena posisi mereka di sini sama-sama menjadi korban. Bagus pria itu mau bertanggung jawab pada bayinya.

"Karena itu … gue harap lo pertimbangin lagi ajakan gue tadi. Kalo lo udah sampai di keputusan akhir, tolong kasih tahu gue."

* * * * *

Ricky mengantarkan Elina pulang dengan keadaan hening, hanya suara kendaraan di sepanjang jalan yang mengiringi perjalanan mereka. Pria itu bahkan tak bertanya apapun sejak ia selesai bicara dengan Reyhan.

Elina tahu jika sebenarnya dia sangat ingin bertanya, tapi dia menahannya sebab masih marah. Bertahun-tahun mereka berteman, tabiat Rikcy memang seperti itu.

Tak lama mereka sampai di rumah Elina.

"Makasih dah nganterin pulang," ucapnya sambil mengembalikan helm, dibalas deheman oleh pria itu.

"Gue balik, sana masuk terus istirahat."

Elina memperhatikan Ricky yang pergi dengan motornya, menatap punggung tegap itu hingga menghilang dari pandangan.

Ia menghela napas. 'Maaf, Ky … gue belom bisa cerita buat sekarang.'

* * * * *

Beberapa hari telah berlalu, Elina masih menjalani hari-harinya seperti biasa. Pergi bekerja hingga sore lalu pulang dan istirahat. Walau ada sedikit yang berubah yaitu sikap Ricky yang mengabaikannya. Elina masih belum menceritakan apapun pada pria itu.

Hari ini akhir pekan, Elina duduk di sofa sambil menonton televisi─ tidak, lebih tepatnya televisi yang menonton Elina. Wanita itu termenung, pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Reyhan di kafe.

Pria itu memintanya untuk mempertimbangkan ajakannya untuk menikah, dan Elina benar-benar melakukan hal itu, bahkan sampai berhari-hari. Namun, hingga saat ini ia masih belum bisa mencapai keputusan akhir. Haruskah ia menerima ajakan Reyhan? Atau ia tolak saja?

Sebenarnya ia tak punya pilihan lain yang aman selain hal itu, terlalu riskan jika dia memilih untuk aborsi. Karena itu ia akan menerima ajakannya untuk menikah.

Masa bodoh Reyhan tak mencintainya, begitu pula dirinya yang tak mencintai pria itu. Yang terpenting sekarang adalah bayi mereka dan juga agar meminimalisir kemarahan orang tuanya saat tahu dirinya hamil di luar nikah.

Tangannya kemudian mengelus perutnya yang terasa tak nyaman, ia tak percaya hal ini terjadi, tapi di dalam perutnya ini ada kehidupan yang sedang tumbuh dengan sehat.

Ia harus segera mengabari Reyhan, karena itu ia berdiri untuk mengambil kartu nama pria itu yang ada di dalam tasnya, yang selama ini ia biarkan begitu saja tanpa dilihat.

Tapi tiba-tiba niatnya urung saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Kening Elina mengerut saat melihat nama orang yang mengirim pesan tersebut.

[Kak Haris]

Lin, bisa kita ketemu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status