Share

Penolakan Tara

Tara menghitung waktu, melirik jam digital dan juga menatap mama. Jam berapa kira-kira basa-basi ini akan selesai. Jam dua belas pas, angka di ponselnya. Dia menhitung, mungkin akan pamit sebelum semua ini akan selesai.

[Aku jemput di tempat biasa satu jam lagi.]

Dalam diam Tara menyelesaikan makannya. Dia menutup sendok dan garpu. Dan bersiap meninggalkan kursi meja makan, dia menggeser kursi. 

“Lho, kamu udahan, Tar?” Mata mama membesar. Masih mengunyah pisang yang tadi dia ambil selesai makan. 

“Udah, Ma, Tara mau pergi,” jawabnya, suaranya masih rendah sopan. 

Tetiba, papa yang pulang golf, menyapa semua orang. “Assalamualaikum!” 

Semua mata teralih ke sumber suara itu. Tara lantas mencium takzim papa yang baru saja datang. 

Mata lelaki tua itu mengarah ke Ibu Ratna dan anaknya, Venca. 

“Lho, jadi, tho, Mbak Ratna datang.” Pakde Amir lantas saja menghampiri, dan Venca yang menyambut dengan senyuman. 

Lantas lelaki itu menduduki kursi kebanggaannya. Wajahnya masih penuh dengan senyuman. Melihat Tara dan Venca bergantian. 

“Pa, Tara duluan ya, ada janji sama temen.” 

“Mau ke mana? Duduk dulu.” Suruh papa, sementara mama masih menuangkan air minum untuk papa. 

“Ada janji, Pa, sama temen, enggak enak kalau dia lama nunggu.”

“Lho, tunggu dulu, Papa mau bicara sebentar. Habis itu kamu bisa pergi.” 

Tara merasa pembicaraan papa adalah perintah yang harus selalu dia turuti. 

“Gimana, Mba Ratna? Apa kita jadi memanjangkan silaturahmi kita?” tanya Pakde Amir, kumisnya seperti ikut bergerak ketika dia berbicara. 

“Jadi, Mas, saya sama Bapaknya Caca sudah berbicara,” jawabnya.

Terang saja Caca dan Tara saling memandang, lalu mengalihkan pandangan ke orang tua masing-masing, ada apa sebenarnya, Caca menatap tajam ibu. 

“Jadi, gini, Tara, kemarin, Papa wes minta kepastian perhitungan weton kalian. Dan iki lho, ya, pas, Mba Ratna,” tutur Papa dengan semringah. 

“Wah, Alhamdulillah,” sambut Ibu Caca, tangannya menggenggam jemari anak—kesanyangannya. Yang disahuti dengkusan oleh gadis berjilbab itu.

Caca mencoba menampik, tidak mau menerima tentu saja, buat apa, jaman seperti ini menentukan weton? 

Begitu juga Tara yang keningnya berkerut-kerut tidak mengerti apa arti weton.

“Papa maksudnya ngomong apa?” tanya Tara dengan santun. Dalam hatinya, hilang jatah hari ini dan besok, dia sangat merindukan gadisnya itu padahal. 

“Wes, kalian ndak usah mumet, Caca dan kamu, Tara, wetonnya pas. Jadi kita sudah bisa menentukan tanggal pernikahan.”

“Apa?” 

Tentu saja Caca dan Tara kaget mendengar ini, mereka menyahut dan membesarkan mata bersamaan. Apalagi, dalam keadaan Tara yang berhubungan jauh dan dalam dengan seorang gadis. Dia merasa harus bertanggung jawab dengan menikahinya, tetapi bagaimana dengan orang tuanya dan perjodihan konyol ini.

 “Nggak mungkin, Bu,” Caca berkilah. “Ibu tahu sendiri kan—”

“Wes, kamu juga akan cinta nanti sama Nak Tara, ya, Mas?” 

“Yo, jelas,” sahut Papa. 

“Tapi, Pa, Ma, ini bukan zaman Sitti Nurbaya, masa mau main jodohin aja tanpa tanya kita dulu, mau apa enggak,” kilah Tara tak kalah kesal, apalagi ketika sekilas dia menatap Caca, yang terlihat sangat munafik. 

“Lho, Le, weton kalian iki lho, wes pas, tanggal baik juga sudah ditentukan, apalagi, tho. Kamu saja yang enggak lihat, Caca iku cantik lho,” tutur mama Tara. 

“Tapi, Tara enggak tahu siapa dia, kerjaannya aja sekretaris enggak jelas.”

“Enak aja enggak jelas!” hardik Caca, dia masih sakit hati disinggung soal kerjaannya. “Siapa juga elo, enggak pernah ketemu juga, apa kerjaan elo juga bener?” Mata indah Caca memerah, dan membesar, juga sekaligus menentang pernyataan dan juga aneka prasangka buruk Tara tadi. 

“Yeh, elo itu behijab enggak bener,” tuduh Tara lagi. 

Papa Tara menengahkan. “Sudah, sudah, sudah, Caca, maafkan Tara ya. Ayo, Tara duduk dulu,” suruh Papa. 

Tara masih mendengkus kesal.

Tentu saja, napas Caca pun masih tersengal. 

“Gini lho, Tar—”

“Udah, Tara mau izin janjian sama temen, telat, nih,” tukas anak itu. 

“Dengar Papa dulu, Tar, setelah itu kamu mau ke mana pun, terserah!” 

Mau tidak mau kalau suara papa sudah meninggi, Tara menurut, dengan lemas dia mendudukkan badan di kursi meja makan. 

“Jadi, Caca dan Tara, perjodohan ini untuk kebaikan kalian juga. Makin cepat semakin baik.”

“Tapi, Pa—”

“Dengar Papa dulu, jangan potong pembicaraan,” potong Papa dengan galak. “Jadi, karena kecocokkan kalian pastinya, jadi pernikahan ini harus segera dilaksanakan bulan depan.”

“APA?!”

Lagi-lagi, mereka menyahut bersamaan. 

“Iya, Ca,” Ibu Ratna akhirnya membuka suara. “Yakin saja, awalnya memang kalian seperti ini, nantinya pasti rasa cinta dan sayang itu akan ada, Ya, Mas, Mbak?” 

Papa dan Mama Tara mengangguk, tentu saja, mata mereka sambil menatap penuh harap kepada Tara dan Caca. 

“Pokoknya Tara enggak mau. Gimana dengan pacar Tara, Pa?” 

Pria itu masih sepenuh hati menyanggah, begitu juga Caca. 

“Tara, sekali ini saja, kamu membuat Papa dan Mama senang, paling tidak, kami bahagia kamu menikah dengan perempuan yang baik. Bukan dengan perempuan yang kamu pilih sembarangan.”

“Papa, dia bukan perempuan sembarangan. Dia juga gadis baik-baik,” belanya. Dalam hati hanya berpikir bagaimana menikahi pacarnya itu, tidak mungkin meninggalkannya ketika hubungan mereka sudah lebih dari sekadar pacaran. Tara bukan pria brengsek sebenarnya. Tidak tega juga kalau meninggalkan gadis itu. 

“Ya, Papa tahu—hanya saja pilihan kamu kurang tepat, Tara,” tuding Papa lagi. 

“Kurang tepat bagaimana, Pa? Enggak berkerudung maksud Papa? Enggak kayak dia,” tunjuk Tara penuh dengan prasangka  buruk, dia yakin sekali kalau Caca itu enggak sebaik kelihatannya, mungkin sudah banyak lelaki juga yang tidur dengannya. 

“Jaga bicara kamu jangan asal, enggak semua orang itu seburuk yang ada di pikiran kamu!” tekan Caca, sambil bangkit dari kursi meja makan. Matanya berkaca-kaca, lelah rasanya dituding seperti itu kemarahannya kini melebihi ubun-ubun. 

Mama dan Papa Tara seperti mengerti, Ibu Amir, mengelus punggung anaknya itu untuk meredakan amarahnya. 

Tak kalah, Ibu Ratna pun menenangkan Caca yang marah. Menepuk pelan pundaknya. 

Papa pun menarik napas berat sekali rasanya beban di pundaknya, menggiring anak-anaknya ke jalan yang benar saja, dipilihkan calon istri yang baik bibit bebet dan bobotnya, Tara tidak mau, malah memilih gadis lain. 

Tara kembali duduk walau, napasnya tersengal. 

“Papa minta, sebelum kamu pergi hari ini, ini mutlak keputusan Papa dan Mama. Tidak bisa disanggah atau ditolak. Biar bagaimana juga keluarga Mbak Ratna, kami sudah tahu bibit bebet bobotnya,” titah Papa sungguh tidak bisa Tara tolak, hobi orang tuanya ini mengancam, entah apa yang akan mereka lakukan kali ini. 

Tara hanya bisa mengangguk pelan, walau hatinya menolak keras. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status