Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,
Gadis dua empat tahun itu tersenyum begitu gawainya berdering. Di jam setelah tahajud, pria itu selalu meneleponnya. Dipanggilnya, “Rei.” Nama yang singkat tetapi mampu membuat hati Caca kalang kabut. Berdetak kencang setiap kali diteleponnya.Seperti sekarang saat mengobrol dengan pria itu. Rei, mengaku anak petani miskin dari Cilacap. Entah, siapa pun dia, Caca tidak peduli, gadis berhijab itu setia menunggu suaranya, walau di jam orang masih terlelap.Freetalk. Adalah, layanan berbicara bebas—gratis selama satu bulan jika mengisi pulsa lima puluh ribu. Ini layanan khusus untuk pelanggan salah satu provider telekomunikasi. Jika masa berlangganan sudah lebih dari satu tahun.Layanan ini yang dimanfaatkan oleh Re dan Caca setiap malam untuk saling mengobrol—hingga sebelum fajar menjelang. Mengacak nomor telepon, yang membawa mereka saling kenal beberapa bulan terakhir ini. Suara Re, berat tetapi menenangkan, banyak bercerita, tahu tentang ban
Andrevan Manantara.[Assalamualaikum, Rei. Caca udah ada di kantor.]Pria bertinggi seratus delapan puluh itu tersenyum. Membaca pesan singkat yang dikirim. Panggilan Caca sepertinya sudah sangat familier di telinga. Apa lagi suaranya yang merdu itu. Waktu rasanya ingin dia berhentikan, hanya ingin mendengarkan tawa renyahnya, atau keluh kesah manja gadis itu.[Iya, Ca, nanti malam kita teleponan lagi, ya.]Untuk Andrevan, dekat dengan seorang gadis rasanya pantang. Melihat wajah sekretarisnya saja dia enggan, bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Padahal, hari-hari harus berurusan dengan perempuan itu.Balasan dari Caca sekali lagi membuat senyuman di bibirnya tiada sirna. [Iya, Re.]Pria itu menuruni tangga panjang menuju meja makan tempat keluarganya sarapan. Dia melihat sudah ada ambu duduk di salah satu kursi.“Repan, kamu sarapan dulu, anak ambu ….”Itu ibu Andrevan, anak itu memang dipanggil Repan oleh ibu tercinta. Sulit baginya mengg
Caca, menjalani hari seperti biasa di tempat dia bekerja. Suatu perusahaan besar Ibu Kota. Walau, ayahnya pejabat, tetap saja anak-anaknya diajarkan untuk mandiri.Kakaknya Rani, bekerja disalah satu perusahaan juga. Sambil merintis usaha sendiri bersama teman kuliahnya.Walau, tidak banyak yang tahu, gadis itu menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan seorang pria. Tentu, ibu dan ayah tidak mengetahui hal ini. Rani, perempuan dua puluh delapan itu hanya beranggapan, orang tuanya terlalu acuh. Dia memang enggak seperti Caca yang berkerudung, cantik dan juga lemah lembut.Sedikit serampangan, pertemuannya dengan anak sepupu ayahnya seperti berkah tersendiri untuknya. Ruadiantara Jokosuseno namanya, pria bertinggi seratus delapan puluh senti itu berhasil menggetarkan dinding pertahanan Rani, hingga sanggup memberikan semuanya untuk pria itu.Walau kehormatan perempuan paling penting, tetapi dalam hati Rani, dia tidak peduli. Toh, selama ini ayah d
Papa tersenyum lembut, dia hanya berpikir malam ini butuh bantuan anaknya, ada pekerjaan yang tidak bisa dia handle sendiri. Lelaki tengah baya melangkah ke dalam kamar, menepuk pundak anak paling besarnya. “Papa mau bicara, boleh masuk?”“Boleh,” jawab Revan, “kenapa enggak?” Anak itu menggeser badan, papa merangkul bahu anaknya itu, masuk ke dalam kamar, “duduk, Pa,” Papa duduk di kursi meja kerja yang terbuat dari kayu.“Ya,” Mata papa terlihat berkeliling kamar dia menghela napas, lalu menatap anaknya yang duduk di tepian ranjang. “Gini, Re, bulan depan, mau kan kamu temani Papa, ada perjanjian bisnis yang harus disepakati, dan juga ada beberapa hal yang harus dipelajari dari bidang bisnis ini di sana.”Tentu saja, sebagai anak yang berbakti, Revan, mau-mau saja, tidak ada halangan bukan?“Dan juga, papa sekali lagi minta tolong, setelah pul
Tidak tertarik sama sekali dengan pria bernama Tara itu. Lagi pula, dalam hati bukan pria bersih itu yang ada dalam hatinya, tetapi Re.Bude Amir lantas saja menceletuk. “Kalau gitu, kalian ngobrol aja dulu. Mama sama Mbayu Ratna ke dapur dulu, siapin makan siang.”“Venca ikut, deh,” anak itu lantas saja berdiri.“Lho, kamu di sini aja,” sanggah ibu dengan cepat menahan badan Caca berdiri. “Kenalan itu lho, sama Tara,” peremouan bernama Ratna itu melirik pria bercelana pendek itu.Sementara Venca, memutar bola mata protes. Walau protesannya itu tidak ditanggapi dan juga ibu tetap tak acuh, tetap melangkah menyusul Bude Amir.Caca mendengkus, tidak berkata, begitu pun pria bernama Tara, Tara itu. Setengah kesal sebenarnya, sementara Tara, menarik napas, dia juga bingung ada apa, pagi begini mamanya membangunkannya.Bukan membangunkan, menyuruh keluar kamar. Biasanya, Sabtu begini dia jarang keluar kamar. Malas saja rasanya. Apalagi, mal
Tara menghitung waktu, melirik jam digital dan juga menatap mama. Jam berapa kira-kira basa-basi ini akan selesai. Jam dua belas pas, angka di ponselnya. Dia menhitung, mungkin akan pamit sebelum semua ini akan selesai.[Aku jemput di tempat biasa satu jam lagi.]Dalam diam Tara menyelesaikan makannya. Dia menutup sendok dan garpu. Dan bersiap meninggalkan kursi meja makan, dia menggeser kursi.“Lho, kamu udahan, Tar?” Mata mama membesar. Masih mengunyah pisang yang tadi dia ambil selesai makan.“Udah, Ma, Tara mau pergi,” jawabnya, suaranya masih rendah sopan.Tetiba, papa yang pulang golf, menyapa semua orang. “Assalamualaikum!”Semua mata teralih ke sumber suara itu. Tara lantas mencium takzim papa yang baru saja datang.Mata lelaki tua itu mengarah ke Ibu Ratna dan anaknya, Venca.“Lho, jadi, tho, Mbak Ratna datang.” Pakde Amir lantas saja menghampiri, dan Venca yang menyambut dengan senyuman.Lantas lelaki itu
Tentu saja, reaksi Tara membuat Caca terkejut setengah mati. Enggak mungkin pria itu mengangguk, walau pelan dan terlihat lemah. Seperti tak bersemangat begitu.“Bagaimana dengan Caca, Pakde? Apa Ibu juga akan mendengarkan permintaan Caca kalau enggak setuju.” Gadis itu memutar badan agar dapat menatap wajah ibu.Ibu Ratna, menggeleng. Hati Caca mencelus, habis sudah semua harapannya bersama Re, pernikahan itu bukan sesuatu yang main-main bukan, begitu pikir Caca. Lalu bagaimana jadinya kalau dia tidak benar-benar mencintai Tara.“Bagaimana dengan Re?” tanya Caca, sambil berharap perjodohan ini mau dibatalkan oleh ibu dan juga pakdenya.“Nah, dia punya pacar juga ‘kan? Apa gue bilang enggak sebaik itu kan cewek berkerudung ini,” tuding Tara lagi. “Katanya orang berekrudung enggka pacaran,” sindir pria itu lagi.Napas Caca semakin tersengal. Menatap tajam Tara, tanpa rasa simpati sedikit pun. Para orang tua tampaknya melihat gelagat Caca y