Demi membalas dendam, Banyu merancang jebakan kejam agar Diajeng—pacar musuh bebuyutannya, Alexander—tertidur di pelukan pria lain. Tapi takdir berkata lain. Dalam kekacauan rencana yang berantakan, justru Banyu dan Diajeng yang terjebak dalam cinta satu malam yang seharusnya tidak terjadi. Lebih parah lagi, Diajeng hamil... dan harus menikah dengan pria yang paling ia benci. Namun, siapa sebenarnya yang menjadi korban? Siapa yang sedang memainkan siapa? Ketika cinta, kebencian, dan rahasia kelam saling bertabrakan… mampukah hati yang pernah tersakiti kembali percaya?
view moreLangit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua.
Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah akur sejak kelas satu. Entah siapa yang mulai duluan, tapi sejak kompetisi matematika tingkat kabupaten, semua orang tahu: persaingan mereka lebih panas dari sekadar nilai ujian dan lebih sengit dari perang dunia dua. Dan di tengah keduanya, berdiri Diajeng Dirandra—gadis berambut panjang yang selalu dikepang setengah, suara lembut tapi tajam saat berbicara. Diajeng bukan tipe gadis populer yang haus perhatian, tapi entah kenapa dia justru menjadi pusat perhatian. Diajeng adalah gadis tercantik di Universitas. Banyak laki-laki yang terpesona meskipun dia tidak pernah tebar pesona. Dia pacar Alexander. Tapi tak semua orang percaya mereka benar-benar saling cinta. Meskipun dua sejoli tersebut selalu tampak serasi dan romantis. “Lihat tuh, murid teladan datang,” ejek Alexander sambil menepuk-nepuk pundak salah satu temannya, matanya menatap lurus ke arah Banyu. Banyu tak menggubris. Ia hanya lewat begitu saja, memasuki bisnis tanpa sepatah kata. Diajeng yang sedang berdiri di depan kelas, menyelipkan anak rambutnya ke telinga, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Banyu. Ada sedikit ketegangan di sana. Ia tak tahu kenapa, tapi Banyu selalu membuatnya merasa seolah dilucuti. Dia tahu betul, jika laki-laki tersebut adalah musuh kekasihnya sehingga di hatinya selalu muncul sedikit rasa tidak suka dengan Banyu. Satu jam kemudian, suasana kelas mendadak ricuh karena dosen datang terlambat, dan itu selalu jadi kesempatan Alexander untuk unjuk kekuasaan. "Eh, gimana kalau kita voting? Siapa yang lebih pantas jadi juara umum semester ini?” teriak Alexander. “Alexander, lah!” sorak sebagian kelas. “Woi, jangan lupa Banyu juara 1 terus,” celetuk yang lain. Banyu tetap menulis di bukunya, tenang. Tapi saat Alexander maju dan berdiri di depannya, semua orang tahu: ini bukan sekadar bercanda. "Kamu pikir kamu paling pinter, ya, Banyu?" suaranya mendesis, senyumnya tipis. Banyu mengangkat wajah perlahan. “Fakta bukan soal siapa yang pikir. Tapi data.” Ruangan mendadak hening dan mencekam. Ada rasa takut pada mahasiswa lain jika Alexander dan Banyu sampai baku hantam seperti beberapa waktu lalu. Diajeng merasa jengah. Ia bangkit dari kursinya dan menarik tangan Alexander. “Udah, Lex. Gak usah cari gara-gara.” Alexander menatap Diajeng dengan mata keras, tapi akhirnya duduk kembali. Dia selalu menuruti kata-kata gadis yang ia cintai. Banyu juga kembali menunduk ke buku catatannya. Tapi dalam hati masing-masing, sesuatu mulai bergerak. --- Hari-hari berlalu dengan intensitas yang semakin meningkat. Banyu mulai menyusun rencana. Bagi dia, Alexander bukan hanya musuh biasa. Dia adalah racun yang mengotori segalanya—dari prestasi sampai reputasi. Banyu tahu kelemahan Alexander: obsesi. Dan sasaran obsesi itu adalah Diajeng. “Kalau aku ingin menjatuhkan Alexander, aku harus buat dia kehilangan apa yang paling dia ingin miliki…” gumam Banyu malam itu di kamarnya. Dia mulai menyusun beberapa rencana yang akan dia lakukan untuk menghancyrkan Alexander. Di sisi lain, Alexander juga menyusun rencana. Ia tahu Banyu terlalu bersih. Terlalu lurus. Terlalu 'sempurna'. Dan dia tahu cara tercepat menghancurkan orang sempurna adalah membuatnya terlihat paling kotor. Keduanya seolah lupa jika manusia hanya bisa berencana, karena Tuhan adalah penentunya. Bahkan, Tuhan sangat mahir membolak balikkan hati dan perasaan manusia. Hari Sabtu datang, membawa semangat yang berbeda di Universitas Mahadwipa. Sejak pagi, aula kampus sudah ramai oleh para mahasiswa yang bersiap untuk lomba pentas seni tahunan. Suara musik, tawa, dan langkah kaki berlomba-lomba memenuhi udara, menciptakan hiruk pikuk yang penuh antusiasme. Di tengah keramaian itu, Diajeng Dirandra tampak sibuk mengatur perlengkapan acara. Sebagai anggota panitia, ia harus bolak-balik dari ruang kelas ke aula, memastikan semua berjalan lancar. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tetap tersenyum—wajahnya bersinar dalam kesibukan. Dari kejauhan, Alexander Benjamin mengamatinya diam-diam. Tatapannya tak lepas dari sosok kekasihnya yang tampak begitu berdedikasi. Ada kebanggaan di sana, tapi juga kegelisahan yang belum ia pahami sepenuhnya. Sementara itu, tak jauh dari tempat Alex berdiri, Banyu Samudra juga memperhatikan Diajeng. Bukan dengan cinta, melainkan dengan pandangan tajam penuh rencana. Hatinya masih menyimpan bara dendam yang belum padam. Bagi Banyu, Diajeng hanyalah bagian dari strategi untuk menghancurkan seseorang yang menjadi musuh terbesarnyar—Alexander. Tanpa mereka sadari, garis-garis takdir mulai membelit satu sama lain, perlahan tapi pasti. Di tengah semarak panggung dan tepuk tangan, takdir sedang menulis naskah rahasianya sendiri. Dan naskah itu dimulai… dari panggung seni yang seharusnya jadi ajang hiburan. Tapi justru menjadi panggung awal kehancuran hati. Malam itu, Banyu mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal. Isinya: foto Diajeng yang sedang duduk sendirian di perpustakaan, dengan caption: > “Kalau kau berani, kita main adil. Aku sudah siapkan panggungnya.” Banyu tahu itu dari Alexander. Dan itu tantangan.Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri.Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan.Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana.---Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang seda
Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya. "Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng. Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex." Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis. Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang. "Aku kenapa…?" bisiknya
"Aku benci kamu." Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Diajeng sebelum bibir lembut Banyu membungkam bibir merah gadis itu dengan ciuman panas dari laki-laki tersebut. Tidak ada kalimat lain yang terucap selain suara desahan dari kedua manusia itu dalam kedapnya kamar tersebut. Sementara Alexander di luar sana mencari kekasihnya seperti orang gila. Apalagi ponsel Diajeng tidak dapat di hubungi. Alexander mendapati rencananya gagal karena menemukan Vanessa tak sadarkan diri dan Banyu menghilang. Di tambah lagi di tidak menemukan Diajeng. Padahal dia ingin menemui kekasihnya tersebut untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Laki-laki tampan dengan wajah perpaduan Indo-Eropa tersebut benar-benar kesal. ---- Sinar matahari masuk dari celah tirai, menyinari dua tubuh yang terbaring di atas kasur hotel. Diajeng membuka mata dengan pelan. Sakit kepala, mual, dan nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Saat ia melihat sekeliling dan sadar... ia telanjang. Tubu
Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan. Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra. Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dih
Aula Univeesitas Mahadwipa berubah menjadi lautan sorak-sorai. Lampu sorot menari di langit-langit, musik menggelegar, dan denting suara tawa para siswa mengisi udara. Tapi di sudut aula, di balik tirai belakang panggung, suasana berbeda. Alexander Benjamin berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Tatapannya tajam, tertuju pada seorang gadis berambut pirang bergelombang yang sedang merapikan make-up. “Jangan lupa peranmu malam ini, Vanessa,” bisik Alexander sambil menyelipkan amplop kecil ke tas tangan si gadis. “Pastikan Banyu... kehilangan kendali. Dia harus kelihatan seperti monster di mata semua orang.” Vanessa mengangguk, tersenyum menggoda. “Tenang. Aku tahu cara menjerat pria cuek sepertinya.” Alexander berbalik. Bibirnya terangkat sinis. “Game dimulai, Banyu Samudra.” Sementara itu, di ruang peralatan pentas, Diajeng Dirandra sibuk menata perlengkapan lomba fashion show. Kardus berisi aksesoris dan kabel-kabel berserakan di sekelilingnya. Keringat menempel di pe
Langit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua. Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments