Home / Romansa / Terjebak Cinta Segitiga / Debat Caca dan Tara

Share

Debat Caca dan Tara

last update Last Updated: 2021-04-09 20:52:57

Tidak tertarik sama sekali dengan pria bernama Tara itu. Lagi pula, dalam hati bukan pria bersih itu yang ada dalam hatinya, tetapi Re. 

Bude Amir lantas saja menceletuk. “Kalau gitu, kalian ngobrol aja dulu. Mama sama Mbayu Ratna ke dapur dulu, siapin makan siang.”

“Venca ikut, deh,” anak itu lantas saja berdiri. 

“Lho, kamu di sini aja,” sanggah ibu dengan cepat menahan badan Caca berdiri. “Kenalan itu lho, sama Tara,” peremouan bernama Ratna itu melirik pria bercelana pendek itu. 

Sementara Venca, memutar bola mata protes. Walau protesannya itu tidak ditanggapi dan juga ibu tetap tak acuh, tetap melangkah menyusul Bude Amir. 

Caca mendengkus, tidak berkata, begitu pun pria bernama Tara, Tara itu. Setengah kesal sebenarnya, sementara Tara, menarik napas, dia juga bingung ada apa, pagi begini mamanya membangunkannya. 

Bukan membangunkan, menyuruh keluar kamar. Biasanya, Sabtu begini dia jarang keluar kamar. Malas saja rasanya. Apalagi, malamnya dia berjibaku dengan pekerjaannya sebagai manajer di kantor papanya sendiri. 

“Um, kamu kerja?” 

Suara Tara akhirnya memutus kekakuan, kesunyian dan juga entahlah. 

“Iya,” jawab Caca canggung, dia melirik sedikit Tara yang duduk tegang.

“Di mana?”

“Kuningan.” 

“Jadi apa?” 

“Sekretaris.”

“Kerja jadi sekretaris doang?” solot Tara, tetiba dan entah kekuatan dari mana, dia memicing, “kabarnya kalau sekretaris itu pelayanannya plus-plus ya? Apa elo kayak gitu juga?”

Terang saja membuat Venca marah dan juga ingin menampar mulur pria yang ada di depannya ini.   

“Apa kerudung itu buat topeng doang? Karena ada juga yang begitu.”

“Jaga omongan lo!” Gigi Venca gemeletak. 

Tara tersenyum miring, “abis, apalagi yang bisa dilakukan? Selain begitu, paling banter alasannya buat tambah penghasilan.”

Venca mendengkus rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Lantas saja dia bangkit dan berlalu pergi.

Ibu Ratna dan Bude Amir yang mencuri dengan dan sedikit mengintip, melihat reaksi Venca tentu saja Ibu Ratna mengejar anak kesanyangannya itu. Sikap keras kepalanya kadang tidak bisa dicairkan, bahkan oleh orang tua sendiri. 

“Ca!” tergopoh-gopoh wanita itu menyusul Venca. 

Venca tetap tidak mau tahu, dia terus mengayun langkah sampai ke depan gerbang tinggi rumah besar itu. 

“Mau ke mana kamu?” Ibu bertanya sambil menggamit tangan gadis itu.

“Mo pulang!” sungutnya, rasa kesalnya belum surut juga, malah makin meninggi. 

“Jangan dulu, Ca, Bude Amir udah siapiiin makan siiiang buat kita. Masa kita tinggalin, si, Ca,” bujukan ibu selalu mampu meluluhkan hati Venca. 

Anaknya itu masih mendengkus, membuang pandangan. 

“Ayo, Ca, habis makan kita bisa langsung pulang, beneran, deh, Ibu janji.” 

Mata Caca beralih ke Ibu yang ternyata wajahnya terlihat menurun. Dia mengerti, Ibu memohon dengan kesungguhan. 

Tanpa kata, anak itu membalikkan badan juga, lalu melangkah ke dalam rumah. Walau dongkolnya semakin menjadi.   

Beda lagi dengan Bude Amir yang sedikit menggerutu kepada anak satu-satunya itu. 

“Kamu itu, gimana, si?” 

Tara masih bermuka datar dan malas sekali menanggapi omongan mamanya. 

“Lagian kalo tujuannya mau jodohin Tara sama cewek itu, lupain aja!” 

“Jangan kurang ajar koe, siapa nama perempuan itu? Yang kamu bilang cinta mati? Tahu apa kamu soal cinta?” 

“Ma, Tara udah besar, hampir tiga puluh tahun. Masa, soal jodoh masih di atur sama mama?” kilah anak semata wayang itu. 

Walau perusahaan papanya tidak terlalu besar, namun orang tuanya berharap penuh kepada anaknya ini. 

“Ndak ngatur, mama Cuma pilihin yang baik. Bulik Ratna punya anak yang baik, moso kamu enggak mau, cantik lagi.” 

Tara mengacak rambutnya yang hitam. Mendesah kesal sekali rasanya. “Jangan salahin Tara kalo enggak pernah cinta nantinya.”

“Laki-laki disodorin perempuan muda masih kenceng, yo, masa iya mau dianggurin nantyi istrimu,” sindir mama. 

Lagi-lagi Tara mendesah, dia bangkit dari sofa dengan kesal juga. 

“Eh, mau ke mana kamu?” Mata mama membesar. 

“Kamar, Tara males!” 

“Makan siang dulu, baru ke kamar, paling enggak kamu ngobrol sama Venca. Jangan munafik kamu, coba kalau liat perempuan itu menyerahkan diri, kamu juga mau, tho?” sindiran mama tentu saja membuat Tara mendengkus. 

Pria itu melangkah juga ke meja makan. Mama mengikutinya duduk disebelah anak itu. 

Tidak lama, Venca diikuti ibunya masuk ke ruang makan. 

“Lho, ini,” Bude Amir tersenyum melihat perempuan itu tidak jadi kabur, paling tidak, tindakan anaknya hari ini dimaafkan. “Yuk, silakan makan apa adanya.” 

Tara sedikit mendecih, “apa adanya? Ini termasuk makan malam mewah, semua ada di meja makan besar ini.” Gerutunya sendiri pelan, hingga tidak terdengar oleh siapa pun. 

Bude Amir, berdiri menunjukkan semua menu makanan, “ini, lho, Ca, Mbayu, ada ayam garang asam, ada sayur lodeh. Kamu suka apa, Ca?” 

“Apa aja, Bude,” Caca menghentikan gerakan tangan Bude yang mengambilkan nasi. Gadis itu bangkit dari duduknya. “Biar, Caca aja, Bude. Jangan repot-repot.” 

Bude tersenyum, “wes, Caca nanti jadi mantu idaman, lho, Jeng,” kata Bude sambil kembali ke kembali tempat duduknya. 

Obrolan mereka kebanyakan Ibu Ratna dan Bude Amir yang mengendalikan. Sesekali mereka tertawa-tawa dan bernostalgia tentang kampung halaman. 

Tara yang diam-diam mencuri pandang ketika Caca makan. Gadis itu manis juga, pikir pria tinggi itu. walau sekilas hatinya memikirkan pacarnya—yang tadi malam tidak absen berbahi kehangatan di ranjang. 

Tergila-gila rasanya. Dan tidak sabar sore ini ingin bertemu lagi, kapan ini akan selesai? Pria itu mengeluarkan ponsel yang ada dalam sakunya. Mengirimkan pesan ke pacar—yang menurutnya cantik—luar dalam. 

Luar? Tentu saja badannya yang proporsional dan juga kulit yang putih. Dalam? Tentu saja ini Tara sendiri yang merasakannya, untuk pertama kali dan dia berpikir untuk selama-lamanya hingga dunia ini berhenti berputar—atau paling tidak, hingga maut memisahkan mereka. 

[Nanti sore jadi ketemuan ‘kan?] 

Tanya Tara, dia mengirim dengan cepat pesan itu ke pacar satu-satunya. 

[Ya, jadi, dong. Di tempat biasa atau mau tempat yang lain?] 

Balasan itu membuat pria itu tersenyum lebar. Sepertinya akhir pekan memang waktu untuk mereka berdua, tanpa absen. Pasangan—tanpa menikah itu memang punya kesepakatan seperti itu. 

Akhir pekan waktu untuk berdua. Melakukan apa pun, yang paling sering, memuaskan hasrat.  

[Mau cari suasana lain?] 

Balasnya, dia menimbang soal lokasi tempat menginap sekitar puncak—atau Bandung, pasti menyenangkan. Tara mengetik dengan cepat. 

[Bandung bagaimana? Rasanya kita belum pernah ke sana, hanya sekitar Jakarta saja atau kemarin ke Yogya.]

Balasan dari pacarnya itu dengan cepat hadir di layar monokrom ponselnya. 

[Boleh ke Bandung jam berapa mau berangkat, biar aku siap-siap.] 

Tara menghitung, melirik jam digital yang ada di ponsel. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Segitiga   Hidup yang Terus Berjalan

    Revan bersungut-sungut seringnya begitu sejak Venca hamil. Tetapi dalam hati, dia paham. Masa ini harus dilewati.Belikan rujak juhi, es krim malam-malam, ketoprak super pedes, es boba taro bergelas-gelas. Semuanya Venca makan, tidak ada yang dia buang. Jalan-jalan ke mal, beli ini dan itu, apalagi soal belanja barang buat bayi, Venca paling semangat habiskan uang suaminya.Sekilas dalam hati Revan bertanya sendiri, yang dikandung Venca, bener anak manusia atau apa?Meski begitu, hari-hari, Venca masih bekerja sebagai general manajer di tempat Revan. Kehamilan sepertinya bukan halangan untuk dia terus berkarya, mesti sering uring-uringan. Dan mengeluh capek kakinya pegel apalagi kandungan makin besar, punggungnya ikut pegal, pinggang kayak mau patah dan lain-lain."Biar, makanya Venca tinggal aja di rumah Ibu, kan di sini ada yang disuruh-suruh, jadi Nak Revan enggak kecapek-an. Kasian suami kamu udah capek di kantor," tutur Ibu ke Venca,

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Ngidam

    Penuturan papa Tara memang ada benarnya, yang mendengarnya pun manggut-manggut.Rumah besar itu masih riuhbdengan tamu undangan yang rerata hanya kekuarga dekat saja. Termasuk kakak almarhumah mama Tara. Diskusi para orang tua juga masih berlanjut, kebanyakan mereka bahagia dengan kemajuan yang dicapai oleh anak-anak mereka."Lha, yang dampingi kita ini, Dik, mesti kita rangkul, sayangi juga. Jangan sampe kamu kayak saya. Tidak pernah tahu keinginan istri saya, hanya menekan dia selalu sempurna, mengikuti-kata saya, dia tertekan." Wajah mendung itu kembali muram, hujan mungkin sebentar lagi."Sudah, Mas, sudah jalan Allah seperti itu," ucap ibu Venca. Banyak mengkhawarirkan keadaan papa Tara sebenarnya, apalagi dia mendengar, kalau papa Tara kebanyakan melamun dan juga menghabiskan waktu sendirian.Papa Tara mengangguk, rasa bersalah ini memang selalu hinggap, mungkin ini akan selamanya menempel dalam hati. Sampai nanti, hingga dia mati."S

  • Terjebak Cinta Segitiga   Akad Ulang Tara dan Rani

    Rani galau, tetapi bukan terhadap Tara dan pernikahan ulangnya. Dia memikirkan papa Tara."Kamu enggak khawatir sama Papa kamu, Tar?" tanya Rani pada akhirnya, dia bertanya disela mau berangkat ke kantor, perjalanan macet yang menyebalkan. Matahari jam tujuh pagi seperti sudah tengah hari."Khawatir, tapi mau bagaimana lagi? Masa iya, aku tentang kemauan Papa? Dia sudah menentukan pilihannya, Ran. Mau tinggal di panti jompo, mungkin dia akan sedikit ceria, paling tidak bahagia, bisa bertemu orang yang seumuran dengannya," tutur Tara, sesekali dia menoleh ke arah Rani."Ya, mungkin juga," ucap Rani."Kamu mau undang siapa aja pas akad ulang nanti?" Tara bertanya.Rani tampaknya terlihat memicing, karena sinar matahari yang langsung menusuk retinanya. Dia menarik napas. "Paling Ibu, Bapak, Venca dan keluarga.""Oh iya, gimana kabar Venca?" tanya Tara.Ini hal yang sedikit membuat Rani kesal setengah mati kalau Tara

  • Terjebak Cinta Segitiga   Tara dan Papa

    "Bagaimana, Tara soal akad ulang-mu?"Papa pagi ini bertanya soal akad ulang Tara dengan Rani. Saran dari Papa memang, demi sah secara agama dan juga tercatat di pemerintahan.Pasangan yang sah secara agama itu duduk di seberang Papa. Tampak semringah ketika Papa bertanya seperti itu. Ada rasa lega, ketika Papa bisa menerima, apalagi di rumahnya. Dan meminta tinggal di sana, satu atap, dan Tara anggap, yang penting akur! Karena sulit sekali memahami Papa, begitu menurut Tara dan Rani."Insyaallah, jadi, Pa. Dua minggu lagi. Surat-suratnya sudah jadi, kita tinggal ijab saja," papar Tara. Dia saling bertatap dengan Rani yang ada di sampingnya."Baguslah," sahut Papa datar. Sejak Mama meninggal, Tara dan Rani tinggal di rumah Papa, mereka banyak bersimpatik, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lain selain, menemani Papa siang dan malam.Tentu saja bergantian, Tara dan Rani dari pagi harus bekerja. Keadaan Papa memprihatinkan, b

  • Terjebak Cinta Segitiga   Venca yang Cemburu

    Venca masih terdiam sepanjang perjalanan ke rumah. Mungkin Revan mengerti apa yang istrinya itu rasakan malam ini."Kamu cemburu, tadi Bunga ke kantor?" tebak Revan, dia memacu mobilnya dengan cepat, supaya cepat sampai ke rumah. Ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Ya, coba saja kalau tidak selesai. Jatah pagi nanti tidak ada, dong? Begitu pikir Revan."Ya, lagian ngapain, si dia ke kantor tadi? Dia jelas banget dulu suka sama kamu," sungut Venca, meninggikan suara, dia sebal setengah mati tadi ketika melihat Bunga sedang menatap suaminya dan jelas sekali bukan tatapan dendam atau marah.Revan mengulum senyuman, dia senang lihat istrinya cemburu begitu. Terus terang saja. Kalau perlu Venca cemburu setiap hari boleh, Revan akan dengan senang hati melihatnya.Cemburu itu tandanya sayang, kan? Menurut Revan begitu, setelah dua bulan menikah, perlahan dia paham sikap istrinya ini. Cemburuan, Revan menolong nenek-nenek mau nyebrang saj

  • Terjebak Cinta Segitiga   Ancaman untuk Revan

    Aktivitas pagi, rasanya tidak pernah terlewat oleh Revan, jadi hobi sendiri sekarang."Gue liat sebulanan ini, lo telat mulu dateng ke kantor," sindir Gibran.Setelah meeting direksi, lelaki itu membereskan barang sendiri. Revan punya sekretaris baru sekarang. Meski dia tetap ingin Venca yang menjadi sekretarisnya."Kayak enggak tahu aja," balas Revan sambil menaikkan satu alisnya. Lelaki itu lantas mencatat sebagian hasil dari meeting hari itu."Ya, gue tahu, tapi, hampir tiap hari lo telat! Masa bos telat hampir tiap hari," sindir Gibran lagi."Iya, iya, besok gue enggak telat lagi," rutuk Revan. Dia bersungut dalam hati, tidak mungkin juga ditunjukkan ada karyawan yang masih duduk-duduk di ruangan ini, meski perlahan tapi pasti mereka keluar ruangan juga.Seorang resepsionis mencoba menghentikan seorang gadis yang mencoba masuk secara paksa, mencari Revan. Apa daya? Gadis itu terlalu kuat untuk dicegah, percuma kalau panggil s

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama yang Tertunda

    Mengendusi rambutnya yang terasa harum. Revan rasanya enggan beranjak ada sesuatu yang bangkit tatkala dia memejam dan merasa terpaku, tidak mau pergi sepertinya.Lantas ada sesuatu menggeliat dalam diri mereka, ketika mata saling bertemu. Tentu saja Venca gugup setengah mati, Revan pun tak kalah gugup.Lantas, wanita itu teringat dalam pejam, dia bangkit lalu menatap suaminya yang ada di depan wajahnya."Makan malamnya jadi, Re?" tanya Venca pelan.Revan langsung menegakkan badan. "Eng, udah datang temenku. Um, aku mandi dulu sebentar," katanya.Venca mengangguk, deru dalam dadanya masih berlanjut. Bagaimana kalau Revan melanjutkan yang tadi? Tentu saja mereka kan sudah berstatus beda, kegiatan ranjang tentu saja menjadi kewajiban bukan?Revan dan Venca tercengang begitu keluar dari kamar. Ruang makan sudah ditata sedemikian rupa. Jadi bernuansa candle light dinner. Tentu saja ini menambah gelegak dalam diri Revan dan Venca.&nbs

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama

    “Jadi, tadi malam kakak ngapain aja?” tanya Safia penasaran. Sangat.Venca—gadis yang ditanya itu tidak menjawab apa-apa, dia hanya tersipu-sipu penuh arti. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Revan yang duduk di berlainan meja dengannya.“Aku bukain kado. Seru, deh,” jawab Venca.Safia yang mendengar itu melemaskan pundak. Enggak mungkin kalau misalnya hanya buka kado saja. Masa iya?“Masa, si, Kak? Enggak ada adegan di ranjang gitu?” tanya Safia penasaran.Mata Venca membulat. Lantas menggeleng. “Paling di ranjang tadi kita tidur berdua. Terus, ngobrol, terus saling tahu kebiasaan sebelum dan sesudah tidur, begitu aja,” tutur Caca sambil menerawang.Safia menghela napas hampir tak percaya rasanya, kakak iparnya ini ugu sekali. Sarapan kali ini, Revan dan Venca terpaksa turun ke bawah. Bapak Venca yang memintanya pagi ini. Lagi pula Bapak meminta Venc

  • Terjebak Cinta Segitiga   Malam Pertama Venca dan Revan

    Aula hotel seperti disulap menjadi lebih indah.Kalau saja pernikahan pertama Venca besar-besaran, tak kalah, pernikahan keduanya pun megah.Revan anak pertama, dan juga anak lelaki satu-satunya, tidak mungkin kalau pernikahannya biasa-biasa saja.Meski Venca menyandang status janda. Dan Revan setengah mati meyakinkan Ambu soal statusnya ini.Dalam hati Ambu yakin, kalau Venca jujur soal dia bilang tidak pernah disentuh oleh mantan suaminya.Hari bersejarah untuk Revan dan Venca tiba.Meski dalam hati Venca sempat malu akan statusnya. Bukannya apa-apa, keluarga Revan sangat terhormat. Tampil jadi saksi akad nikah saja, walikota Bandung. Bagaimana Venca tidak minder?Venca mungkin minder, tetapi, bapak Venca bangga bisa sebelah-sebelahan dengan walikota. Meski dia juga kadang bertemu dengan pejabat-pejabat daerah.Prosesi akad dipimpin oleh penghulu, sementara Venca akan keluar dari ruang tunggu ketika akad s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status