Share

Debat Caca dan Tara

Tidak tertarik sama sekali dengan pria bernama Tara itu. Lagi pula, dalam hati bukan pria bersih itu yang ada dalam hatinya, tetapi Re. 

Bude Amir lantas saja menceletuk. “Kalau gitu, kalian ngobrol aja dulu. Mama sama Mbayu Ratna ke dapur dulu, siapin makan siang.”

“Venca ikut, deh,” anak itu lantas saja berdiri. 

“Lho, kamu di sini aja,” sanggah ibu dengan cepat menahan badan Caca berdiri. “Kenalan itu lho, sama Tara,” peremouan bernama Ratna itu melirik pria bercelana pendek itu. 

Sementara Venca, memutar bola mata protes. Walau protesannya itu tidak ditanggapi dan juga ibu tetap tak acuh, tetap melangkah menyusul Bude Amir. 

Caca mendengkus, tidak berkata, begitu pun pria bernama Tara, Tara itu. Setengah kesal sebenarnya, sementara Tara, menarik napas, dia juga bingung ada apa, pagi begini mamanya membangunkannya. 

Bukan membangunkan, menyuruh keluar kamar. Biasanya, Sabtu begini dia jarang keluar kamar. Malas saja rasanya. Apalagi, malamnya dia berjibaku dengan pekerjaannya sebagai manajer di kantor papanya sendiri. 

“Um, kamu kerja?” 

Suara Tara akhirnya memutus kekakuan, kesunyian dan juga entahlah. 

“Iya,” jawab Caca canggung, dia melirik sedikit Tara yang duduk tegang.

“Di mana?”

“Kuningan.” 

“Jadi apa?” 

“Sekretaris.”

“Kerja jadi sekretaris doang?” solot Tara, tetiba dan entah kekuatan dari mana, dia memicing, “kabarnya kalau sekretaris itu pelayanannya plus-plus ya? Apa elo kayak gitu juga?”

Terang saja membuat Venca marah dan juga ingin menampar mulur pria yang ada di depannya ini.   

“Apa kerudung itu buat topeng doang? Karena ada juga yang begitu.”

“Jaga omongan lo!” Gigi Venca gemeletak. 

Tara tersenyum miring, “abis, apalagi yang bisa dilakukan? Selain begitu, paling banter alasannya buat tambah penghasilan.”

Venca mendengkus rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Lantas saja dia bangkit dan berlalu pergi.

Ibu Ratna dan Bude Amir yang mencuri dengan dan sedikit mengintip, melihat reaksi Venca tentu saja Ibu Ratna mengejar anak kesanyangannya itu. Sikap keras kepalanya kadang tidak bisa dicairkan, bahkan oleh orang tua sendiri. 

“Ca!” tergopoh-gopoh wanita itu menyusul Venca. 

Venca tetap tidak mau tahu, dia terus mengayun langkah sampai ke depan gerbang tinggi rumah besar itu. 

“Mau ke mana kamu?” Ibu bertanya sambil menggamit tangan gadis itu.

“Mo pulang!” sungutnya, rasa kesalnya belum surut juga, malah makin meninggi. 

“Jangan dulu, Ca, Bude Amir udah siapiiin makan siiiang buat kita. Masa kita tinggalin, si, Ca,” bujukan ibu selalu mampu meluluhkan hati Venca. 

Anaknya itu masih mendengkus, membuang pandangan. 

“Ayo, Ca, habis makan kita bisa langsung pulang, beneran, deh, Ibu janji.” 

Mata Caca beralih ke Ibu yang ternyata wajahnya terlihat menurun. Dia mengerti, Ibu memohon dengan kesungguhan. 

Tanpa kata, anak itu membalikkan badan juga, lalu melangkah ke dalam rumah. Walau dongkolnya semakin menjadi.   

Beda lagi dengan Bude Amir yang sedikit menggerutu kepada anak satu-satunya itu. 

“Kamu itu, gimana, si?” 

Tara masih bermuka datar dan malas sekali menanggapi omongan mamanya. 

“Lagian kalo tujuannya mau jodohin Tara sama cewek itu, lupain aja!” 

“Jangan kurang ajar koe, siapa nama perempuan itu? Yang kamu bilang cinta mati? Tahu apa kamu soal cinta?” 

“Ma, Tara udah besar, hampir tiga puluh tahun. Masa, soal jodoh masih di atur sama mama?” kilah anak semata wayang itu. 

Walau perusahaan papanya tidak terlalu besar, namun orang tuanya berharap penuh kepada anaknya ini. 

“Ndak ngatur, mama Cuma pilihin yang baik. Bulik Ratna punya anak yang baik, moso kamu enggak mau, cantik lagi.” 

Tara mengacak rambutnya yang hitam. Mendesah kesal sekali rasanya. “Jangan salahin Tara kalo enggak pernah cinta nantinya.”

“Laki-laki disodorin perempuan muda masih kenceng, yo, masa iya mau dianggurin nantyi istrimu,” sindir mama. 

Lagi-lagi Tara mendesah, dia bangkit dari sofa dengan kesal juga. 

“Eh, mau ke mana kamu?” Mata mama membesar. 

“Kamar, Tara males!” 

“Makan siang dulu, baru ke kamar, paling enggak kamu ngobrol sama Venca. Jangan munafik kamu, coba kalau liat perempuan itu menyerahkan diri, kamu juga mau, tho?” sindiran mama tentu saja membuat Tara mendengkus. 

Pria itu melangkah juga ke meja makan. Mama mengikutinya duduk disebelah anak itu. 

Tidak lama, Venca diikuti ibunya masuk ke ruang makan. 

“Lho, ini,” Bude Amir tersenyum melihat perempuan itu tidak jadi kabur, paling tidak, tindakan anaknya hari ini dimaafkan. “Yuk, silakan makan apa adanya.” 

Tara sedikit mendecih, “apa adanya? Ini termasuk makan malam mewah, semua ada di meja makan besar ini.” Gerutunya sendiri pelan, hingga tidak terdengar oleh siapa pun. 

Bude Amir, berdiri menunjukkan semua menu makanan, “ini, lho, Ca, Mbayu, ada ayam garang asam, ada sayur lodeh. Kamu suka apa, Ca?” 

“Apa aja, Bude,” Caca menghentikan gerakan tangan Bude yang mengambilkan nasi. Gadis itu bangkit dari duduknya. “Biar, Caca aja, Bude. Jangan repot-repot.” 

Bude tersenyum, “wes, Caca nanti jadi mantu idaman, lho, Jeng,” kata Bude sambil kembali ke kembali tempat duduknya. 

Obrolan mereka kebanyakan Ibu Ratna dan Bude Amir yang mengendalikan. Sesekali mereka tertawa-tawa dan bernostalgia tentang kampung halaman. 

Tara yang diam-diam mencuri pandang ketika Caca makan. Gadis itu manis juga, pikir pria tinggi itu. walau sekilas hatinya memikirkan pacarnya—yang tadi malam tidak absen berbahi kehangatan di ranjang. 

Tergila-gila rasanya. Dan tidak sabar sore ini ingin bertemu lagi, kapan ini akan selesai? Pria itu mengeluarkan ponsel yang ada dalam sakunya. Mengirimkan pesan ke pacar—yang menurutnya cantik—luar dalam. 

Luar? Tentu saja badannya yang proporsional dan juga kulit yang putih. Dalam? Tentu saja ini Tara sendiri yang merasakannya, untuk pertama kali dan dia berpikir untuk selama-lamanya hingga dunia ini berhenti berputar—atau paling tidak, hingga maut memisahkan mereka. 

[Nanti sore jadi ketemuan ‘kan?] 

Tanya Tara, dia mengirim dengan cepat pesan itu ke pacar satu-satunya. 

[Ya, jadi, dong. Di tempat biasa atau mau tempat yang lain?] 

Balasan itu membuat pria itu tersenyum lebar. Sepertinya akhir pekan memang waktu untuk mereka berdua, tanpa absen. Pasangan—tanpa menikah itu memang punya kesepakatan seperti itu. 

Akhir pekan waktu untuk berdua. Melakukan apa pun, yang paling sering, memuaskan hasrat.  

[Mau cari suasana lain?] 

Balasnya, dia menimbang soal lokasi tempat menginap sekitar puncak—atau Bandung, pasti menyenangkan. Tara mengetik dengan cepat. 

[Bandung bagaimana? Rasanya kita belum pernah ke sana, hanya sekitar Jakarta saja atau kemarin ke Yogya.]

Balasan dari pacarnya itu dengan cepat hadir di layar monokrom ponselnya. 

[Boleh ke Bandung jam berapa mau berangkat, biar aku siap-siap.] 

Tara menghitung, melirik jam digital yang ada di ponsel. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status