Tidak tertarik sama sekali dengan pria bernama Tara itu. Lagi pula, dalam hati bukan pria bersih itu yang ada dalam hatinya, tetapi Re.
Bude Amir lantas saja menceletuk. “Kalau gitu, kalian ngobrol aja dulu. Mama sama Mbayu Ratna ke dapur dulu, siapin makan siang.”“Venca ikut, deh,” anak itu lantas saja berdiri. “Lho, kamu di sini aja,” sanggah ibu dengan cepat menahan badan Caca berdiri. “Kenalan itu lho, sama Tara,” peremouan bernama Ratna itu melirik pria bercelana pendek itu. Sementara Venca, memutar bola mata protes. Walau protesannya itu tidak ditanggapi dan juga ibu tetap tak acuh, tetap melangkah menyusul Bude Amir. Caca mendengkus, tidak berkata, begitu pun pria bernama Tara, Tara itu. Setengah kesal sebenarnya, sementara Tara, menarik napas, dia juga bingung ada apa, pagi begini mamanya membangunkannya. Bukan membangunkan, menyuruh keluar kamar. Biasanya, Sabtu begini dia jarang keluar kamar. Malas saja rasanya. Apalagi, malamnya dia berjibaku dengan pekerjaannya sebagai manajer di kantor papanya sendiri. “Um, kamu kerja?” Suara Tara akhirnya memutus kekakuan, kesunyian dan juga entahlah. “Iya,” jawab Caca canggung, dia melirik sedikit Tara yang duduk tegang.“Di mana?”“Kuningan.” “Jadi apa?” “Sekretaris.”“Kerja jadi sekretaris doang?” solot Tara, tetiba dan entah kekuatan dari mana, dia memicing, “kabarnya kalau sekretaris itu pelayanannya plus-plus ya? Apa elo kayak gitu juga?”Terang saja membuat Venca marah dan juga ingin menampar mulur pria yang ada di depannya ini. “Apa kerudung itu buat topeng doang? Karena ada juga yang begitu.”“Jaga omongan lo!” Gigi Venca gemeletak. Tara tersenyum miring, “abis, apalagi yang bisa dilakukan? Selain begitu, paling banter alasannya buat tambah penghasilan.”Venca mendengkus rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Lantas saja dia bangkit dan berlalu pergi.Ibu Ratna dan Bude Amir yang mencuri dengan dan sedikit mengintip, melihat reaksi Venca tentu saja Ibu Ratna mengejar anak kesanyangannya itu. Sikap keras kepalanya kadang tidak bisa dicairkan, bahkan oleh orang tua sendiri. “Ca!” tergopoh-gopoh wanita itu menyusul Venca. Venca tetap tidak mau tahu, dia terus mengayun langkah sampai ke depan gerbang tinggi rumah besar itu. “Mau ke mana kamu?” Ibu bertanya sambil menggamit tangan gadis itu.“Mo pulang!” sungutnya, rasa kesalnya belum surut juga, malah makin meninggi. “Jangan dulu, Ca, Bude Amir udah siapiiin makan siiiang buat kita. Masa kita tinggalin, si, Ca,” bujukan ibu selalu mampu meluluhkan hati Venca. Anaknya itu masih mendengkus, membuang pandangan. “Ayo, Ca, habis makan kita bisa langsung pulang, beneran, deh, Ibu janji.” Mata Caca beralih ke Ibu yang ternyata wajahnya terlihat menurun. Dia mengerti, Ibu memohon dengan kesungguhan. Tanpa kata, anak itu membalikkan badan juga, lalu melangkah ke dalam rumah. Walau dongkolnya semakin menjadi. Beda lagi dengan Bude Amir yang sedikit menggerutu kepada anak satu-satunya itu. “Kamu itu, gimana, si?” Tara masih bermuka datar dan malas sekali menanggapi omongan mamanya. “Lagian kalo tujuannya mau jodohin Tara sama cewek itu, lupain aja!” “Jangan kurang ajar koe, siapa nama perempuan itu? Yang kamu bilang cinta mati? Tahu apa kamu soal cinta?” “Ma, Tara udah besar, hampir tiga puluh tahun. Masa, soal jodoh masih di atur sama mama?” kilah anak semata wayang itu. Walau perusahaan papanya tidak terlalu besar, namun orang tuanya berharap penuh kepada anaknya ini. “Ndak ngatur, mama Cuma pilihin yang baik. Bulik Ratna punya anak yang baik, moso kamu enggak mau, cantik lagi.” Tara mengacak rambutnya yang hitam. Mendesah kesal sekali rasanya. “Jangan salahin Tara kalo enggak pernah cinta nantinya.”“Laki-laki disodorin perempuan muda masih kenceng, yo, masa iya mau dianggurin nantyi istrimu,” sindir mama. Lagi-lagi Tara mendesah, dia bangkit dari sofa dengan kesal juga. “Eh, mau ke mana kamu?” Mata mama membesar. “Kamar, Tara males!” “Makan siang dulu, baru ke kamar, paling enggak kamu ngobrol sama Venca. Jangan munafik kamu, coba kalau liat perempuan itu menyerahkan diri, kamu juga mau, tho?” sindiran mama tentu saja membuat Tara mendengkus. Pria itu melangkah juga ke meja makan. Mama mengikutinya duduk disebelah anak itu. Tidak lama, Venca diikuti ibunya masuk ke ruang makan. “Lho, ini,” Bude Amir tersenyum melihat perempuan itu tidak jadi kabur, paling tidak, tindakan anaknya hari ini dimaafkan. “Yuk, silakan makan apa adanya.” Tara sedikit mendecih, “apa adanya? Ini termasuk makan malam mewah, semua ada di meja makan besar ini.” Gerutunya sendiri pelan, hingga tidak terdengar oleh siapa pun. Bude Amir, berdiri menunjukkan semua menu makanan, “ini, lho, Ca, Mbayu, ada ayam garang asam, ada sayur lodeh. Kamu suka apa, Ca?” “Apa aja, Bude,” Caca menghentikan gerakan tangan Bude yang mengambilkan nasi. Gadis itu bangkit dari duduknya. “Biar, Caca aja, Bude. Jangan repot-repot.” Bude tersenyum, “wes, Caca nanti jadi mantu idaman, lho, Jeng,” kata Bude sambil kembali ke kembali tempat duduknya. Obrolan mereka kebanyakan Ibu Ratna dan Bude Amir yang mengendalikan. Sesekali mereka tertawa-tawa dan bernostalgia tentang kampung halaman. Tara yang diam-diam mencuri pandang ketika Caca makan. Gadis itu manis juga, pikir pria tinggi itu. walau sekilas hatinya memikirkan pacarnya—yang tadi malam tidak absen berbahi kehangatan di ranjang. Tergila-gila rasanya. Dan tidak sabar sore ini ingin bertemu lagi, kapan ini akan selesai? Pria itu mengeluarkan ponsel yang ada dalam sakunya. Mengirimkan pesan ke pacar—yang menurutnya cantik—luar dalam. Luar? Tentu saja badannya yang proporsional dan juga kulit yang putih. Dalam? Tentu saja ini Tara sendiri yang merasakannya, untuk pertama kali dan dia berpikir untuk selama-lamanya hingga dunia ini berhenti berputar—atau paling tidak, hingga maut memisahkan mereka. [Nanti sore jadi ketemuan ‘kan?] Tanya Tara, dia mengirim dengan cepat pesan itu ke pacar satu-satunya. [Ya, jadi, dong. Di tempat biasa atau mau tempat yang lain?] Balasan itu membuat pria itu tersenyum lebar. Sepertinya akhir pekan memang waktu untuk mereka berdua, tanpa absen. Pasangan—tanpa menikah itu memang punya kesepakatan seperti itu. Akhir pekan waktu untuk berdua. Melakukan apa pun, yang paling sering, memuaskan hasrat. [Mau cari suasana lain?] Balasnya, dia menimbang soal lokasi tempat menginap sekitar puncak—atau Bandung, pasti menyenangkan. Tara mengetik dengan cepat. [Bandung bagaimana? Rasanya kita belum pernah ke sana, hanya sekitar Jakarta saja atau kemarin ke Yogya.]Balasan dari pacarnya itu dengan cepat hadir di layar monokrom ponselnya. [Boleh ke Bandung jam berapa mau berangkat, biar aku siap-siap.] Tara menghitung, melirik jam digital yang ada di ponsel.Tara menghitung waktu, melirik jam digital dan juga menatap mama. Jam berapa kira-kira basa-basi ini akan selesai. Jam dua belas pas, angka di ponselnya. Dia menhitung, mungkin akan pamit sebelum semua ini akan selesai.[Aku jemput di tempat biasa satu jam lagi.]Dalam diam Tara menyelesaikan makannya. Dia menutup sendok dan garpu. Dan bersiap meninggalkan kursi meja makan, dia menggeser kursi.“Lho, kamu udahan, Tar?” Mata mama membesar. Masih mengunyah pisang yang tadi dia ambil selesai makan.“Udah, Ma, Tara mau pergi,” jawabnya, suaranya masih rendah sopan.Tetiba, papa yang pulang golf, menyapa semua orang. “Assalamualaikum!”Semua mata teralih ke sumber suara itu. Tara lantas mencium takzim papa yang baru saja datang.Mata lelaki tua itu mengarah ke Ibu Ratna dan anaknya, Venca.“Lho, jadi, tho, Mbak Ratna datang.” Pakde Amir lantas saja menghampiri, dan Venca yang menyambut dengan senyuman.Lantas lelaki itu
Tentu saja, reaksi Tara membuat Caca terkejut setengah mati. Enggak mungkin pria itu mengangguk, walau pelan dan terlihat lemah. Seperti tak bersemangat begitu.“Bagaimana dengan Caca, Pakde? Apa Ibu juga akan mendengarkan permintaan Caca kalau enggak setuju.” Gadis itu memutar badan agar dapat menatap wajah ibu.Ibu Ratna, menggeleng. Hati Caca mencelus, habis sudah semua harapannya bersama Re, pernikahan itu bukan sesuatu yang main-main bukan, begitu pikir Caca. Lalu bagaimana jadinya kalau dia tidak benar-benar mencintai Tara.“Bagaimana dengan Re?” tanya Caca, sambil berharap perjodohan ini mau dibatalkan oleh ibu dan juga pakdenya.“Nah, dia punya pacar juga ‘kan? Apa gue bilang enggak sebaik itu kan cewek berkerudung ini,” tuding Tara lagi. “Katanya orang berekrudung enggka pacaran,” sindir pria itu lagi.Napas Caca semakin tersengal. Menatap tajam Tara, tanpa rasa simpati sedikit pun. Para orang tua tampaknya melihat gelagat Caca y
Ibu terlihat bingung. “Kamu itu kan, perempuan yang harus dijaga, berhijab, jadi mesti dijaga, keburu disamber orang yang enggak bener macam Revan itu, enggak pernah ketemu ngaku pacar.”Caca hanya menghela napas, lelah. Bagaimana lagi dia harus mengatakan semua hal itu kepada Ibu?“Tapi kalo Caca enggak mau, boleh ‘kan?” tanya gadis itu takut-takut.“Lho ya, gimana enggak mau anaknya ganteng. Mana tahu si Rei itu jelek,” timpal Ibu.Dada Caca terlalu sesak, semakin bingung bagaimana mengatakannya kepada Rei? Dia mencoba membela diri.“Ih, enak aja, kita kan udah pernah tukeran foto.”“Mana tahu itu foto artis, bukan dia,” debat ibu.“Tapi kan liat mukanya Tara aja enggak napsu!”“Hush! Sembarangan kamu, Ca.” Omel Ibu.“Caca enggak mau, lagi pula kenapa enggak Mba Rani aja yang dijodohin, Bu?”“Mbakmu itu udah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.”“Caca juga!” protesnya.“Wes, minggu depan kita ketemuan kelua
“Rei, Caca dijodohin sama orang tua, dan segera melaksanakan pernikahan bulan depan.”“Caca bercanda?” Rei tidak percaya, dalam hati, apakah dia hanya menakutinya, agar mereka cepat bertemu.Caca menarik napas yang terlalu terdengar dipelantang ponsel, lalu, Rei tahu, ini semua bukan permainan atau bukan bualan gadis itu saja.“Terus, rencana Caca apa, kamu tahu kan, bagaimana perasaan Rei?”Jantung Caca menderap tak karuan, tetapi memang dia harus tanyakan juga.“Apa Rei serius sama Caca?”Hening, entah berapa lama, haraoan Caca hanya pada Rei seorang, tiada yang lain, dan juga berharap saat ini Rei mengungkapkan semua cintanya. Tidak, mungkin sekadar beri pengharapan minggu depan dia akan datang ke Jakarta, walau tidak mungkin.Rei menghela napas dalam. “Caca masih ragu?”“Ragu Rei, Caca enggak tahu apakan memang benar yang Ibu bilang tadi, perasaan yang Rei punya itu hanya ilusi Caca aja, dan semua pengharapan ini hanya
Revan, tersenyum miris sebenarnya dalam hati.“Sebenernya, besok lo mulai kerja, pelan-pelan bisa tanya sekretaris buat segala kerjaannya. Karena gue udah kasih catatan. Dan, lusa gue mau ke Jakarta.”“Wah, gue sebagai orang yang lo bayar, ya, manut aja,” jawab Gibran, wajahnya menatap Revan yang tetiba murung. “Lo kenapa?”“Enggak ada. Ke Jakarta, mau melamar gadis.”“Serius? Terus, lo jalan sendirian?’Revan mengangguk.“Enggak ajak nyokap atau bokap?” tanya Gibran semakin penasaran.Revan menggeleng, bimbang dalam hati. “Gue juga udah berbohong sama gadis itu,” tambahnya.“Maksudnya bohong?”“Gue pura-pura jadi anak seorang buruh tani.”“APA?! Zaman segini masih lo sembunyiin identitas, gimana kalo dia tiba-tiba tahu, terus marah sama lo. Ngomong-ngomong ketemu sama dia di mana?”“Gue, acak nomor telepon, terus, nyasar ke nomornya dia.”“HAH?” Mata Gibran membesar. “Gue salah denger kayaknya
[Ca, Insyaallah, Rei bakalan datang ke Jakarta, ke rumah Caca, mau ngomong sama papa kamu. Lusa.]Satu pesan singkat dari Revan berhasil membuat semangat Caca bangkit. Dia sedang rebahan ketika pesan itu hadir di ponselnya. Lantas saja, dia menegakkan badan, tersenyum sambil mengigit bibirnya, melukiskan buncahan rasa yang ada dalam hatinya.Tak kuasa, suaranya saja gagal keluar dari mulutnya. Napasnya seperti terhenti begitu saja. Matanya berkaca-kaca, terharu dan juga tidak tahu harus berbuat apa.Dalam hatinya tentu saja, harus memberi kabar ke Ibu dan Ayah. Perihal kedatangan pujaan hati—yang akhirnya datang.Buncahan dalam hatinya terlalu berlebihan hingga dia tak mampu berkata. Ibu dan Kak Rani yang malam itu ada di ruangan televisi, menatap aneh kepada Caca.“Bu,” sapanya, dadanya naik turun. Dia mengambil duduk, di samping kakaknya.“Hm?” balas Ibu. Matanya beralih ke Caca ketika melihat gelagat anak itu yang senyum-senyum send
Tentu saja, Caca memberitahukan perihal kedatangan Rei ke rumah. Dan, tepat dihari kedatangan, seisi rumah disibukkan oleh persiapan.Bukan persiapan akan dilamar, ibu dan bapak Caca bersiap menolak kehadiran Rei, tentu alasannya karena tidak sepadan dalam status sosial.Caca, menyiapkan diri, berusaham menenangkan degup jantung yang tidak menentu. Rei, tiudak berkata apa-apa, sehari sebelum kedatangannya. Bahkan, pria itu cenderung menghilang dari peredaran.Hal ini membuat gadis itu khawatir setengah mati. Walau pun beberapa hari ini saling menelpon untuk menjelaskan arah ke rumah Caca.Gadis itu khawatir, dalam bayangannya, Rei akan naik kendaraan umum dari kampungnya—yang jauh di Jawa Tengah sana. Lalu, pertama kali ke Jakarta, pastinya akan asing sendirian. Andai saja Caca bisa menjemput, dia juga bisa paling tidak menyetir. Namun, Rei berhasil meyakinkan kalau dia bisa sendirian. Walau Caca menjelaskan kalau tarif taksi agak mahal, untuk ren
“Papa serius, Tara, kalau kamu memutuskan untuk melamar Rani, kamu boleh meninggalkan rumah ini. Dan juga perusahaan Papa,” ancaman itu membuat nyali Tara menciut. “juga kamu boleh meninggalkan semua yang Papa kasih sebagai fasilitas hidup.” Lanjut Papa lagi, mata lelaki paruh baya itu membesar. Napasnya tersengal.Jelas sekali, Tara ketakutan tak karuan, bagaimana nanti hidupnya yang terbiasa hidup enak. Apa iya, Rani akan mau hidup susah, apa adanya?Rasanya enggak mungkin.“Gimana, Le? Kamu ogah kan hidup susah, cari kerjaan lagi sana-sini, heh?” sindir Mama, perempuan ini paham betul seberapa banyak kedewasaan anaknya ini. Maka dari itu dia diminta lekas menikah, selain umur yang sudah hampir tiga puluh.“Kamu, silakan hidup di luar sana, tanpa fasilitas dan tentu saja, Papa akan pastikan, tidak ada satu pun perusahaan yang akan menerima kamu.”Tara semakin tegang, enggak mungkin seperti itu, sia-sia ijazah S2-nya yang dari Japan University