Krek!
Arnold masuk ke kamar itu tepat saat dua orang anak manusia sedang panas-panasnya di atas ranjang. Terpampang dengan nyata keduanya yang sama sekali tak mengenakan busana. Adegan mereka terpaksa berhenti sebelum sampai ke puncaknya.
"Sekarang sudah jelas!" ucap Arnold dengan wajah yang kini telah berubah jadi sebeku es. Ia menatap marah. Kentara sekali kilatan api yang berkobar dalam sorot netranya. Di depan matanya sendiri, perempuan yang selama ini selalu ia banggakan telah dilucuti pakaiannya oleh laki-laki lain. Padahal awalnya dia berharap kalau perselingkuhan yang dilakukan Rebecca sebatas pada jalan berdua, tapi ternyata perempuan itu sudah main ranjang di belakangnya.
Dengan wajah sangat malu, Rebecca dan pacar gelapnya segera meraih selimut untuk menutup tubuh mereka. Tentu saja keduanya sangat kaget kenapa tiba-tiba kamar yang sudah dikunci bisa terbuka dari luar. Mereka lupa kalau tengah berhadapan dengan orang paling kaya di negeri ini. Bukan hal sulit bagi Arnold untuk membayar pihak hotel agar memberikan kunci cadangan. Apalagi semua memang sudah direncanakan dan dirundingkan sejak awal.
"Mau mengelak apa lagi kalian, hah?" Arnold berjalan mendekat, memangkas jaraknya dari ranjang tempat dua manusia terlaknat itu terkunci dalam rasa takut masing-masing. Bagaimana tidak takut? Arnold bukan hanya masuk ke kamar mereka sendirian, tapi ia mengajak segerombol orang untuk turut serta menangkap basah. Dalam waktu beberapa jam saja, pasti harga diri Rebecca dan pacar gelapnya akan anjlok ke tanah.
"Di depan mata kepalaku sendiri, ibu dari anak yang sangat kusayangi sedang disetubuhi laki-laki lain dengan suka rela. Bahkan kau terlihat sangat menikmatinya tadi," bentak Arnold yang tengah berdiri di puncak rasa marahnya. Urat di kepalanya berkedut-kedut hingga terlihat hampir meledak. "Oh, aku sekarang jadi curiga kalau ternyata Baby Narendra bukan anak kandungku. Jangan-jangan sebelum ini, kau sudah pernah disetubuhi laki-laki lain sampai menghasilkan bayi," lanjut Arnold seraya menudingkan telunjuk ke arah Rebecca. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas seperti mengejek.
Di atas kasur itu, Rebecca hanya bisa menggeleng tak berdaya. "Percayalah, Narendra adalah anak kita. Aku tidak pernah melakukan hal ini dengan laki-laki lain sebelumnya."
"Setelah semua yang aku lihat, kau pikir aku akan langsung percaya begitu saja?" Arnold belum berhenti menudingkan telunjuknya ke arah perempuan yang detik ini masih berstatus sebagai istrinya, tapi akan segera berubah jadi mantan istri.
Benar saja, mendadak Arnold jadi ragu tentang status Baby Narendra. Selama ini, ia selalu yakin kalau Rebecca adalah perempuan setia. Tak pernah terngiang sedikit pun dalam pikirnya kalau ternyata wanita itu berotak bejat dan suka mencari kepuasan di belakangnya. Jangan-jangan bayi yang tadi diajaknya bermain di rumah bukanlah anak kandungnya, tapi anak hasil permainan Rebecca dengan lelaki lain hingga menumpahkan sperma di rahimnya.
Tapi, kenapa mata dan hidung Baby Narendra mirip sekali dengan Arnold?
"Baiklah. Aku akan segera melakukan tes DNA dengan Baby Narendra. Kalau dia memang anakku, maka jangan harap ibu jahat sepertimu dapat menemuinya lagi. Tapi seandainya terbukti kalau dia bukan anakku, maka bawalah dia pergi bersama seluruh barangmu dari rumahku!" tegas Arnold sebelum akhirnya memilih pergi dari kamar itu. Ia sudah mendapat banyak saksi tentang kelakuan bejat Rebecca di belakangnya. Setidaknya saksi-saksi itu cukup membantunya di persidangan untuk memperjuangkan hak asuh anak jika Narendra memang anaknya. Dan yang terpenting, saksi-saksi itu telah membantunya menjatuhkan harga diri Rebecca hingga sejatuh-jatuhnya.
***
Arnold pulang lagi ke rumahnya untuk mendapatkan beberapa helai rambut bayi berusia enam bulan itu.
"Bi, tolong bantu aku untuk mendapatkan rambut Narendra. Lakukan apa pun asal jangan sampai membuatnya menangis karena kesakitan," pinta Arnold pada seorang asisten rumah yang kala itu sedang kebagian tugas mengajak Baby Narendra.
"Baik, Tuan."
Sembari menunggu asisten itu menyelesaikan tugasnya, Arnold melangkahkan kaki ke teras untuk menelepon pengacara agar membantunya mengurus perceraian dengan Rebecca. Ia sudah tidak tahan untuk menyandang status sebagai suami Rebecca terlalu lama.
Dengan layar telepon yang menempel di depan daun telinga, Arnold sesekali mengangguk, menerima timbal balik dari pengacara kepercayaannya di seberang sana. Gugatan cerai akan segera diurus ke pengadilan. Sekalipun Rebecca benar-benar akan datang dan mencium kakinya, Arnold rasa sudah tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Unsur terpenting dalam sebuah hubungan adalah kepercayaan. Dan, Rebecca sendiri yang telah merusak kepercayaan itu hingga tak ada lagi yang tersisa. Lagi-lagi seorang pria memang akan selalu mengedepankan logika daripada rasa cinta mereka. Jika sudah mengukir sakit secara terang-terangan, maka tinggalkan. Tak perlu memberi maaf apalagi belas kasihan.
"Ini beberapa helai rambut milik Tuan Kecil Narendra." Seorang pembantu lain dari yang disuruh Arnold tadi keluar sembari membawa beberapa helai rambut yang telah dimasukkan ke dalam plastik.
"Baik, terima kasih," balas Arnold yang langsung meraih plastik itu, kemudian menenggelamkannya ke saku celana.
Menit berikutnya, pria tiga puluh tahun itu segera melangkahkan kaki untuk pergi. Dia kembali ke rumah hanya untuk mengambil beberapa helai rambut Narendra. Setelah ini, Arnold akan langsung meluncur ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA dengan rambut bayi itu. Tak ada yang dapat menghalangi langkah yang sudah menjadi kehendaknya. Tak boleh ada kesempatan bagi perempuan licik seperti Rebecca untuk menang.
***
Berseberangan dari rumah mewah tiga lantai yang berdiri gagah, dua orang perempuan sedang menyembunyikan tubuh mereka di balik batang pohon. Gerik mata mereka mengawasi pergerakan Arnold dengan jelas. Ada sesuatu yang ingin mereka keruk lebih lanjut mengenai pria itu.
"Mama dengar, di rumah itu belum ada babysitter yang bertugas khusus mengurusi anak Arnold. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk memulai langkah dari semua alur yang telah kita rencanakan," seru salah seorang di antara mereka yang berwajah lebih tua. Berseberangan jalan di depan sana, Arnold sudah menaiki mobil mewahnya untuk kembali berkelana.
"Tapi, apa semudah itu, Ma?" sahut perempuan di sampingnya. Dia lebih muda, cantik, dan seksi dibandingkan perempuan yang satunya. Mereka adalah sepasang ibu dan anak. "Maksud Kezia, Arnold kan orang besar. Sepertinya tidak akan mudah untuk menerobos rumah itu begitu saja dengan mengaku ingin jadi babysitter. Pasti akan ada banyak tes yang harus jadi persyaratannya."
Sang ibu tertawa seperti mengejek. Ia menepuk pundak Kezia keras-keras. "Itulah alasan kenapa Tuhan menciptakan kata siasat di dunia ini." Dia mengarahkan telunjuk kanan ke pelipisnya, kemudian berkata, "Kita harus pikir semuanya pakai otak, Kez. Rencana yang waktu itu kamu sampaikan ke Mama sudah cakep, sayangnya kamu kurang mengolahnya pakai otak."
"Terus?" Gadis bernama Kezia itu mengangkat kedua pundak sembari mengarahkan dua tangannya ke atas.
"Kita tunggu saja tanggal mainnya," balas sang mama sembari mengedipkan sebelah matanya.
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia