Shelby tersenyum manis, seolah-olah baru saja melihat Arian secara kebetulan. Wanita itu masih dengan gayanya yang khas—rok pensil ketat, atasan elegan, dan sepatu hak tinggi yang menambah kepercayaan dirinya.
“Oh, Tuan Arian!” serunya dengan nada sedikit dibuat-buat. “Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.”Arian hanya mengangkat alisnya. Ia sudah cukup lama mengenal tipe orang seperti Shelby—terlalu berusaha terlihat ‘kebetulan’ saat jelas-jelas niatnya sudah direncanakan.Shelby melirik sekilas ke arah Maxime, yang menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Kalian berdua kelihatan santai sekali,” lanjut Shelby sambil melangkah lebih dekat. “Senang sekali bisa melihat bos yang tetap bisa menikmati waktu istirahat.”Maxime terkekeh kecil, “Ya, ya. Kadang kami juga butuh sedikit waktu untuk bernapas.”Shelby tertawa manis, sebelum mendudukkan dirinya di sofa di hadapan mereka. Ia menatap Arian sejenak, lalu berpura-pura memasang ekspresi ragu."A-Astaga, Kinoshita! Berhenti!" seru Nazharina panik, mengejar langkah cepat temannya yang langsung menuju lorong kamar.Tapi terlambat.Kinoshita sudah sampai di depan pintu kamar yang terbuka sedikit, dan apa yang dilihatnya membuat dia terdiam membeku.Di dalam, Arian duduk santai di tepian kasur, hanya mengenakan celana panjang, dada bidangnya telanjang, rambutnya berantakan dengan cara yang sangat... sangat intim.Kinoshita menutup mulutnya erat-erat, menahan teriakan. Matanya membulat seperti piring. Ia mundur cepat, membentur dinding dengan bunyi 'duk' kecil.Nazharina buru-buru menarik lengannya, menyeretnya keluar sebelum Arian sempat sadar.Mereka berdua jatuh ke sofa, napas memburu."Nazh!" Kinoshita akhirnya bersuara, setengah berbisik, setengah menjerit. "Kau tidur dengan Tuan Arian!"Nazharina memejamkan mata, mengutuk nasibnya."Aku bisa jelaskan semuanya," desahnya, berusaha terdengar tenang."Astaga, astaga..." Kino
Arian membalik tubuh Nazharina, mencium tulang belakangnya dengan lembut, lalu kembali mengisinya, kali ini lebih dalam, lebih perlahan, seolah ingin membuat malam itu bertahan selamanya.Nazharina mengerjap pelan, berusaha mengatur napas yang masih memburu. Tubuhnya terasa lemas, nyaris tak bisa bergerak, tapi kehangatan aneh menyelimuti hatinya.Lengan kekar itu menariknya kembali ke dalam pelukan. Kulit panas mereka kembali bersentuhan, membangkitkan bara yang belum sepenuhnya padam."Kau pikir aku puas hanya sekali?" bisik Arian di telinganya, suaranya serak dan berat oleh hasrat yang belum reda.Nazharina menggeliat kecil, mencoba berpaling, tapi Arian sudah membalik tubuhnya hingga kini ia menatap pria itu. Wajah Arian berada sangat dekat, matanya menatap dengan dalam."Aku ingin melihatmu lebih jelas," gumam Arian, mengusap helai rambut yang menempel di pipi Nazharina.Sebelum Nazharina bisa membalas, Arian kembali menunduk, mencium bibirnya perl
“Bagaimana kalau aku hamil?”“Kalau kau hamil,” katanya akhirnya, “aku akan bertanggung jawab. Karena memang itu sudah seharusnya.”Nazharina menyipitkan mata. “Seperti apa bentuk tanggung jawab itu?”Arian terdiam lagi. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terlalu besar untuk keluar begitu saja. Ia ingin melamar Nazharina, tentu saja. Tapi bukan seperti ini. Ia ingin momen yang layak, waktu yang tepat, dan—yang terpenting—hati Nazharina yang benar-benar telah kembali padanya.“Kalau itu terjadi... kita akan pikirkan bersama,” jawabnya perlahan.Nazharina mendesah pelan. Kemudian ia merebahkan kepalanya kembali di dada Arian. “Aku rindu bekerja,” ujarnya. “Aku ingin kembali masuk kerja. Aku tak bisa terus seperti ini.”Arian menautkan jari-jarinya dengan jari Nazharina, menggenggamnya kuat. “Kau tak perlu bekerja lagi, Nazh. Aku akan menjagamu seumur hidup.”“Tapi aku tetap ingin bekerja. Aku butuh rutinitasku kembali. Dan aku ingin pulang ke rumahku.”
Begitu tiba di kamar, Arian meletakkan Nazharina di ranjang. “Nakal sekali. Karena berani mencoba kabur, hari ini kau dapat hukuman.” Nazharina memelototinya. “Apa? Apa maumu, Arian?” Arian menyeringai penuh kemenangan. “Pakai baju paling seksi yang kuberikan... dan menari di hadapanku nanti malam.” Nazharina membeku. “Apaaa?!” “Anggap saja ini pembelajaran,” gumam Arian, sambil melepas dasinya perlahan. “Agar kau tidak pernah berpikir untuk kabur lagi.” “Kau gila!” “Mungkin... tapi aku hanya… mencintaimu dengan cara yang egois. Untuk saat ini.” Nazharina memukul dadanya pelan, tapi tidak menolak saat Arian mendorongnya perlahan kembali ke kasur, tubuhnya membungkus tubuh mantan istrinya itu dengan hangat. “Berapa lama cutiku sebenarnya, Tuan Pemilik Dunia?” Arian tersenyum di lehernya. “Minimal sampai aku puas.” “Dan kapan itu akan terjadi?” Ia menjawa
“Nazharina mengambil cuti seminggu.”Kinoshita terdiam. Matanya menyipit curiga. “Cuti… seminggu?”“Ya,” jawab Arian cepat, lalu menambahkan, “atas permintaan pribadi.”Dari arah belakang, Maxime muncul membawa map, lengkap dengan setelan navy-nya yang rapi seperti biasa. “Cuti seminggu?” ulangnya, mendekat dengan alis terangkat. “Sejak kapan kau menjadi HR, Arian?”Arian melirik Maxime dengan muka susah payah menahan senyum. “Sudah kuatur langsung. Tidak perlu khawatir, semua tugasnya sudah aku delegasikan ke tim.”Maxime menatapnya dalam diam sejenak, lalu menoleh ke Kinoshita. “Kau tidak penasaran kenapa Nazharina bisa-bisanya ‘menghilang’ di minggu yang justru sibuk ini?”Kinoshita menoleh cepat. “Ya! Itu juga pertanyaanku!”Arian menarik napas, lalu berjalan ke lift. “Nazharina sedang… istirahat. Dia butuh waktu.”Maxime mengikutinya, meninggalkan Kinoshita yang masih tak percaya sahabatnya cuti mendadak. “Istirahat dari apa?
Langit kamar masih gelap. Tirai tak ditarik. Di luar, kota terdiam seperti mereka.Nazharina berbaring membelakangi Arian, rambutnya terburai di bantal seperti tumpahan malam. Selimut hanya menutupi separuh tubuhnya. Ia belum bergerak. Tubuhnya masih sibuk mencerna segala yang baru saja terjadi.Arian mengangkat tangan, perlahan menyentuh tulang belikat Nazharina. Hanya menyentuh. Tidak lebih. Ia takut merusak momen yang terlalu sunyi untuk diburu."Masih hidup?" gumam Arian, nyaris berbisik.Nazharina menghela napas pelan. "Kupikir aku akan mati barusan."Arian tertawa lirih. Ia menunduk, mencium punggung Nazharina sekali. "Maaf... tadi aku sempat panik waktu kau berhenti bicara.""Aku juga panik... waktu kau terus bicara."Tawa mereka pecah bersamaan, kecil, gugup, seperti dua remaja yang baru saja mencuri ciuman pertama di balik gedung sekolah."Aku tak tahu... ternyata bisa sampai seperti itu," Arian mengakui, jujur dan masih bingung denga