Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami

Terjebak Cinta dan Gairah Mantan Suami

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-08
Oleh:  Desy Cichika Harish On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
65Bab
1.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Nazharina dinikahi oleh Arian bukan karena cinta, tapi karena janji. Janji seorang anak pada ibunya yang sekarat. "Arian... tolong jaga Nazharina. Dan saat ia berumur 20 tahun, nikahilah dia." Tapi pernikahan mereka dingin dan hampa. Arian menjaga jarak, tak pernah menyentuh—seolah kehadiran Nazharina tak lebih dari beban. Hingga akhirnya, Nazharina memilih pergi. Beberapa bulan kemudian, takdir mempertemukan mereka lagi. Bukan sebagai suami-istri, tapi sebagai bos dan sekretaris. Arian, yang dulu begitu dingin, kini berubah menjadi pria posesif, protektif, dan tak segan menunjukkan ketertarikan—juga kecemburuan. Luka dan trauma masa lalu dalam diri Nazharina perlahan sembuh oleh perhatian, cinta, dan gairah dari pria yang dulu terlalu dingin untuk disentuh… tapi kini terlalu panas untuk dihindari.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Saat Aku Memutuskan Pergi

"Aku sudah mengajukan gugatan cerai."

Nazharina berdiri di ambang pintu, menatap dengan ekspresi yang tidak pernah Arian lihat sebelumnya. Bukan kemarahan. Bukan kesedihan. Tetapi kelelahan yang begitu dalam, hingga membuat matanya tampak kehilangan cahaya.

Kata-kata itu menghantam Arian lebih keras dari yang ia kira.

Dia diam, membiarkan kalimat itu meresap dalam kesadarannya.

"Kenapa?" Itu satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulut pria itu, meski ia tahu jawabannya.

Nazharina tersenyum tipis, tetapi bukan senyum yang seharusnya. Itu adalah senyum seseorang yang telah menyerah.

"Karena aku sudah lelah. Karena aku sadar, aku tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari hidupmu."

Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Arian merasa hatinya benar-benar sakit.

Sejak awal kebersamaan mereka, Arian memang bukan pria yang tahu cara menghangatkan hati. Tidak peka, tidak romantis, dan bahkan tak pernah tahu cara menyembuhkan luka perempuan. Tapi bukan berarti ia tak peduli. Ia memperhatikan.

Nazharina yang membuat teh hangat setiap pagi, meski tahu Arian tak pernah menyentuhnya. Yang memastikan jaketnya tergantung di balik pintu, agar ia tak kedinginan saat hujan. Yang membereskan ruang kerjanya tanpa suara, berharap mendapat sedikit pujian atau sekadar ucapan terima kasih.

Ia memperhatikan semua itu—tapi diam. Ia tahu, tapi tak pernah menunjukkan. Dan karena diam itulah, kini ia kehilangan segalanya.

Nazharina tidak butuh disayangi secara diam-diam. Ia butuh direngkuh. Diakui. Dicintai dengan jujur.

Dan Arian gagal memberikannya.

---

Mungkin semuanya bermula sejak hari itu—hari ketika orang tuanya memutuskan untuk mengadopsi seorang gadis yatim piatu bernama Nazharina. Setelah proses panjang dan melelahkan, gadis itu resmi menjadi anggota keluarga mereka.

Saat pertama kali melangkah masuk ke rumah barunya, Nazharina terlihat terpana. Tapi bukan kemewahan rumah yang membuatnya terdiam, melainkan tatapan hangat Erina, ibunya, yang menyambut seolah menyambut darah daging sendiri.

Erina memeluknya erat. “Mulai sekarang, kamu nggak sendirian lagi.”

Namun tak semua sambutan sehangat itu.

“Arian, ini adikmu sekarang. Namanya Nazharina,” kata Erina ceria, menggandeng si gadis kecil yang menatap penuh harap.

Nazharina menyodorkan tangan, ragu. “Hai… senang bertemu denganmu, Kak Arian.”

Arian hanya menatapnya datar. Tak menjabat. Tak mengangguk. Tangannya tetap di saku, matanya kosong.

Tangan kecil itu menggantung beberapa detik di udara sebelum perlahan ditarik kembali. Nazharina berpura-pura menggaruk hidung, seolah tak terjadi apa-apa.

Padahal di balik ekspresi acuh itu, Arian bingung. Ia tidak tahu bagaimana menyambut seseorang yang tiba-tiba jadi bagian dari keluarganya.

Hari-hari berlalu. Mereka mulai hidup bersama sebagai kakak beradik, meski tak pernah benar-benar merasa seperti keluarga.

Lalu telepon itu datang.

Nazharina masih mengingat bunyinya. Keras. Menusuk. Suara di seberang membawa kabar duka yang mengubah segalanya.

Erina dan Marco mengalami kecelakaan.

Di rumah sakit, Marco dinyatakan meninggal. Sementara Erina—satu-satunya orang yang menjadi tempat berlindung bagi mereka berdua—terbaring sekarat.

Di ranjang itu, dengan suara yang nyaris habis, Erina menggenggam tangan Arian.

“Arian…”

“Iya, Mama. Aku di sini.”

“Tolong… jaga Nazharina… jangan biarkan dia sendirian.”

“Mama…”

“Dan saat dia berumur dua puluh tahun… nikahilah dia.”

Arian tertegun. “Mama, itu—”

“Janji…”

“Mama…” Arian menahan tangis. “Jangan paksa aku—”

“Tolong…”

Dan detik berikutnya, jantung itu berhenti berdetak.

Itulah kata terakhir Erina.

Arian ingin berkata bahwa cinta tak bisa diwariskan. Bahwa pernikahan bukanlah bentuk tanggung jawab. Tapi mulutnya kelu—karena itu permintaan dari wanita sekarat yang telah menjadi ibunya sejak kecil.

Tahun demi tahun berganti. Dan pada akhirnya, janji itu ditepati.

Tak ada pesta. Tak ada cincin. Tak ada pelukan.

Hanya dua orang yang duduk bersebelahan di kantor catatan sipil—menandatangani berkas pernikahan.

Malam pertama itu... mereka tidur saling membelakangi. Malam-malam berikutnya pun begitu. Hubungan mereka tak pernah berubah, hanya berubah status.

Sepuluh tahun menikah, Arian belum pernah menyentuh Nazharina dengan cinta.

Sementara Nazharina… menunggu. Setiap hari. Setiap ulang tahun pernikahan. Dan setiap malam saat hujan turun, ia berdiri di balik jendela, berharap Arian memeluknya dari belakang sambil berkata, “Maaf aku lama.”

Tapi yang datang bukan pelukan. Bukan permintaan maaf. Bukan cinta.

Yang datang hanya keheningan. Dingin. Dan waktu yang mengikis harapan sedikit demi sedikit.

Hingga pada suatu malam, di usia 30 tahun, Nazharina berdiri di depan cermin. Menatap wajahnya sendiri yang mulai lelah. Menyentuh dadanya yang kosong.

“Cinta tak bisa dipaksa… tapi aku juga tak bisa terus menunggu,” bisiknya.

***

Pagi itu, setelah perceraian mereka sudah resmi diputuskan, Nazharina berdiri di ambang pintu dengan koper kecil di tangan.

"Terima kasih atas waktumu, Arian. Akhirnya selesai juga. Boleh kita berjabat tangan? Mungkin ini pertemuan terakhir."

Tangannya terulur. Lama. Tapi Arian hanya diam.

Beberapa detik kemudian, Nazharina menariknya kembali, pura-pura menyeka hidung. Ia tersenyum kecil. “Ternyata nggak boleh.”

Nazharina berbalik badan, melangkah pergi.

Sebelum masuk mobil, ia sempat menoleh ke arah balkon—tempat di mana ia pernah menanam harap. Tempat Arian selalu berdiri dengan sunyi yang tak pernah mengundangnya masuk.

“Selamat tinggal,” ucapnya dalam hati.

Mobil pun melaju. Meninggalkan rumah. Meninggalkan kenangan.

Dan Arian tetap berdiri di sana. Menatap kosong ke jalan yang semakin sunyi.

Kini…Arian bertanya-tanya, apakah ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan tak akan pernah bisa ia miliki lagi?

Tapi saat itu juga sebuah tekad muncul dari dalam dirinya.

Ia akan memperbaiki semua... dengan caranya.

“Nazh... aku akan pastikan kau kembali lagi ke rumah ini,” gumamnya pada diri sendiri.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
65 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status