Bukannya memberikan jawaban, laki-laki itu malah tersenyum menyeringai dan melangkah mendekati Kiara. Menatap dia dari atas hingga bawah dengan tatapan yang aneh.
"Bukankah kamu yang merengek-rengek minta ikut denganku. Kenapa sekarang kesannya sedang memberikan tuduhan padaku?"
Kiara menggeleng cepat.
"Nggak mungkin! Kita nggak kenal. Ngapain aku ikut denganmu?"
Laki-laki itu kembali melangkah maju, tapi Kiara malah mundur hingga posisinya terdesak dan terduduk di pinggir tempat tidur.
Sedikit menunduk, mensejajarkan dengan posisi Kiara, kemudian meletakkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan hingga membuat posisi gadis itu berada dalam kungkungannya.
"Nggak mungkin?" tanyanya. Kemudian tersenyum. "Tapi aku masih ingat dan bisa merasakan sikapmu yang manja itu."
"Diam!"
"Hem, kenapa? Itu hal yang menyenangkan dan ya ... aku suka saat kamu begitu liar."
Kiara langsung mendorong dia dari hadapannya hingga menjauh.
"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak. Kamu pikir aku gadis macam apa?!"
"Tak mempercayai perkataanku, kan. Jadi, silakan kamu lihat saja sendiri siapa di sini yang salah," ujarnya mengarahkan layar ponsel miliknya pada Kiara.
Awalnya tak tahu apa yang akan dia tunjukkan padanya, tapi matanya langsung membola ketika video itu dipertontonkan padanya. Baru beberapa saat, Kiara langsung menghentikan tayangan video itu.
"Katakan kalau itu bukan aku!"
Laki-laki itu dengan cepat menarik dan melingkarkan satu lengannya di badan Kiara hingga membuat dia terkunci dalam rengkuhannya.
"Lepasin!" Kiara bersikukuh untuk lepas dari cengkeraman ini.
"Sudah melihat sendiri, kan. Masih mau mengelak jika itu kamu? Kamu yang datang padaku, kamu yang bilang menyukaiku dan ingin ikut denganku. Jadi, tak salah kan kalau aku mengabulkan keinginan gadis sepertimu."
Kiara berusaha menjauhkan posisinya dengan laki-laki yang seolah sedang menguncinya.
"Kiara, apa perlu kita lakukan lagi hal manis itu agar kamu bisa mengingat kembali?"
"Lepasin!" pekik Kiara berteriak-teriak. "Aku nggak mungkin melakukan tindakan segila itu! Ini jebakan!"
Melepaskan Kiara dari pegangannya dan mendorong dia dan roboh di ranjang. Dengan cepat langsung menindih dan mengunci kedua lengan gadis itu agar benar-benar tak bisa melakukan pergerakan. Tersenyum, dengan posisi yang begitu dekat.
"Lepas!" teriak Kiara.
"Salahmu yang datang dan menyerahkan diri padaku. Jadi jangan berharap bisa lepas begitu saja karena aku benar-benar akan mendapatkanmu," bisiknya tepat di depan Kiara.
"Aku nggak mau! Lepasin!"
Tiba-tiba Kiara dibuat kaget dengan tindakan yang dia lakukan. "Lepasin!"
Jantungnya berdetak begitu cepat, bahkan berusaha melepaskan cengkeraman yang mengunci tangannya saat dia malah bertindak semakin gila. Terasa ciuman dan hembusan napas itu di lekukan lehernya, semakin menakutkan ketika dia malah semakin turun.
"Jangan lakukan itu!"
Tersenyum, kemudian menatap dia yang memasang raut wajah emosi. "Aku hanya mengingatkanmu pada hal semalam yang kita lakukan. Agar kamu tak lupa begitu saja."
Tiba-tiba kedua mata Kiara langsung terpejam dan menggigit bibir bawahnya saat dia malah melakukan tindakan yang terasa perih di dada bagian atasnya.
"Lepasin!" teriak Kiara.
Cengkeraman di kedua tangannya terlepas, langsung mendorong dia dan beranjak dari sana.
Menyambar barang-barang yang ada di meja dan melempar ke arah laki-laki itu dengan membabi buta. Rasanya ingin ia luapkan kemarahannya sampai benar-benar lepas. Kemudian tersandar di dinding dan terduduk di lantai sambil menangis.
Laki-laki itu menghela napas, kemudian duduk di pinggir ranjang dengan tatapan tertuju pada Kiara yang sedang menangis.
"Kamu bilang menyukaiku dan ingin ikut bersamaku. Aku nggak bisa menolak, hingga akhirnya adegan ..."
"Diam!" teriak Kiara saat dia dengan sengaja terus mengingatkan akan apa yang terjadi.
"Godaanmu begitu manis dan aku menyukainya, Kiara." Beranjak dari posisi duduknya. "Segera bersihkan badanmu."
Laki-laki itu berlalu begitu saja meninggalkan Kiara yang masih menangis. Siapa juga yang tak merasa takut dan begitu menyedihkan kalau tiba-tiba saat bangun malah ada di kamar seorang laki-laki. Makin menjadi-jadi isakannya ketika mengingat video rekaman barusan. Tak mau mempercayai, tapi begitu jelas jika itu adalah dirinya.
Ponselnya kembali berdering. Langsung beranjak dari posisi duduknya dan gegas mengambil benda pipih itu.
"Kiara lo di mana?"
"Disa." Langsung menangis terisak saat sahabatnya menelepon.
"Lo di mana dan ini kenapa nangis? Gue disamperin sama Tante Viona dan Kak Nadine. Mereka maksa gue buat ngasih tahu lo ada di mana. Sementara gue nggak tahu," jelas Disa seolah bingung dengan masalah yang tengah terjadi.
Kiara menghentikan tangisnya, kemudian beranjak dari posisi duduk dan berjalan menuju arah balkon kamar yang tampak terbuka lebar. Mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mengetahui di mana keberadaan dirinya.
"Kiara jawab gue!"
"Disa, jemput gue," ujar Kiara langsung.
"Kemana?"
"Gue sharelock. Cepetan, ya."
"Oke oke."
***
Setelah berganti pakaian, Kiara segera berlalu pergi dari kamar itu. Perlahan mengendap-endap, agar laki-laki tadi tak memergokinya. Ia pikir ini hotel, ternyata saat keluar dari kamar dan mendapati keadaan di sekitar, justru ini tuh rumah. Iya, rumah yang begitu luas hingga ia pikir adalah hotel.
Kiara perlahan menuruni anak tangga. Bahkan ia sengaja tak mengenakan hels miliknya dan hanya meneteng. Berasa ada dalam adegan film penculikan dan sekarang adalah saat kabur.
"Maaf, Nona ... Anda mau ke mana?"
Padahal lagi malas berdebat, tapi ekpressi wajah Sean seolah sedang berniat untuk mengajaknya berdebat. Apalagi kalau bukan perkara jam perginya yang tadinya mengatakan setengah jam lagi dan pulang di sore hari, malah nyampe rumah saat waktu menunjukkan pukul 7 malam.Disambut diamnya Sean saat sampai, kemudian tetap diam bahkan setelah ia selesai mandi. Ternyata Sean lebih nyeremin kalau diam daripada mengomel dan mengocehinya.“Seperti berada di kutub utara. Dingin banget auranya,” gumam Kiara saat selesai berganti pakaian.Mengenakan dress tidur berwarna peach pendek dengan luaran berbentuk kimono. Kemudian keluar dari ruangan itu. Ya apalagi kalau bukan akan berhadapan langsung dengan Sean. Sepertinya cowok itu sudah mengumpulkan amarah untuk segera dilampiaskan padanya.“Ck, awas saja kalau dia beneran marah atau emosi. Aku bakalan langsung minta pisah,” ujarnya pelan.Melangkah perlahan mendekati Sean yang posisinya duduk bersandar di sandaran tempat tidur, dengan buku yang dia
Sementara di tempat lain, Nadine malah uring-uringan. Rencana yang sudah ia atur sedemikian rupa, malah hancur begitu saja dalam sepersekian detik. Masa depan yang ia harapkan bisa dinikmati sebentar lagi, tapi dirusak secara tiba-tiba.“Arrghhh!!!!”Bik Narti dan Bik Kinah sampai dibuat kaget saat mendengar teriakan dan umpatan yang keluar dari mulut Nadine di ruang keluarga. Bukan yang pertama, bahkan dari semalam gadis itu seperti berada di puncak emosi yang tak baik.“Non Nadine aneh banget, ya,” ujar Bik Narti berbisik pada teman sepekerjaannya itu. Masih dengan tangan yang sibuk merapikan pirik di rak nya.“Bukan aneh, tapi itu namanya lagi emosi, Mbak,” balas Bik Kinah.“Lagi marah sama seseorang mungkin, ya. Saya jadi takut. Tadi saja pak Tuan minta bangunin Non Nadine, saya kena omel di atas.”Bik Narti tersenyum sembringah.“Lah, Mbak kok malah senyum.”“Kamu tahu nggak. Non Nadine itu lagi kesal, lagi marah. Karena sepertinya beliau nggak terima saat Non Kiara nikah sama De
“Duda beneran?” tanya Odisa.“Yakali ada duda bohongan,” balas Kiara pada pertanyaan Odisa yang sangat terlihat jika dia tak yakin.“Berarti dia udah nggak ...” Hagia menghentikan perkataannya saat ragu-ragu untuk mengungkap apa yang sedang ia pikirkan.“Ya ... gue nggak tahu,” sahut Kiara seolah paham kemana arah pikiran Hagia. “Dia bilang enggak, tapi yakali enggak. Gue aja yang nggak berstatus apa-apa dia kekepin kayak macan minta kawin gitu, masa iya udah nikah nggak bertindak sejauh itu.”“Lo yakin dia udah nikah?” Odisa malah mendadak ragu.“Lo berdua tahu Rumano group nggak?” tanya Kiara pada keduanya.“Ya tahulah,” respon Odisa. “Itu perusahaan yang rate nya ada di titik atas dunia bisnis. Bukan hanya di Indo, papa gue aja bilang mereka menduduki posisi atas di luar negeri,” ungkap Odisa menjelaskan.Maklum, ortunya kan mode bisnis. Meskipun nggak bisa dikatakan kelas kakap, tapi jelas tahulah pebisnis mana saja yang ada di level atas.“Banyak perusahaan asing yang juga saling
“Gaess ...”Kiara langsung menyapa kedua sobatnya saat sampai. Tapi malah memasang muka bingung melihat ekpressi ngelag Odisa dan Hagia ketika dihadapkan pada dirinya.“Hem, kenapa?” tanya Kiara.“Kiara lo bener-benar bikin kita berdua mumet, ya. Ish, anjir banget!”Odisa langsung heboh dan gemas serasa ingin menelan Kiara mentah-mentah.“Ish, gemesin banget lo. Gue sama Disa serasa kehilangan jejak tau nggak!” tambah Hagia menambah omelan yang sudah lebih dulu dilontarkan oleh Disa.Kiara duduk di kursi yang berhadapan dengan Odisa dan Hagia sambil terkekeh. Aslinya agak cemas sih sebenarnya.“Parah banget lo. Ngilang kayak orang diculik tanpa jejak.”“Ya maaf. Ini tuh tiba-tiba, mendadak. Ya gimana mau ngasih kabar coba,” balas Kiara menyeruput minuman yang sudah dipesankan untuknya.Pandangan Hagia dan Odisa mulai terfokus pada Kiara. Awalnya perkara penampilan Kiara yang saat ini terkesan sangat berbeda. Bukan hanya penampilan fisik, tapi dari segi fashion dan barang-barang yang
Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju cafe, di mana lokasi Kiara janjian dengan Disa dan Hagia. Dalam perjalanan, Kiara mode diam. Sedangkan Sean, sibuk bicara di telepon dengan seseorang.Hidup dalam keluarga yang sibuk dengan pekerjaan, bahkan nyaris menumbalkannya hanya untuk bisnis. Kini malah dapat pasangan juga nggak kalah sibuk. Jangan bilang ia akan jadi tumbal juga berada di tangan Sean.Mengarahkan pandangannya pada Sean yang sedang bicara di telepon. Jangan ditanya lagi bagaimana penilaiannya pada manusia ini. Mungkin kalau bukan karena beberapa masalah yang terjadi, ia sebagai cewek normal pun bisa jatuh cinta pada dia. Yang diidamkan semua gadis, ada pada Sean. Cuman ya ... emosi dia nakutin.Kiara langsung tersentak dan mengarah ke arah lain saat Sean menyadari jika dirinya memerhatikan.Sean mengakhiri pembicaraan di telepon, kemudian fokus pada Kiara di sampingnya.“Ada apa?” tanya Sean.“Nggak ada.”Sean mengulas senyuman simpul, kemudian mengambil tangan Kiara
“Kiara dimana?”Pertanyaan tertuju pada beberapa pekerja yang saat itu sedang bergelut dengan tugas mereka masing-masing. Langsung bergegas menghadap Sean yang tiba-tiba pulang.“Nona ada di kamar, Tuan.”Pandangan Sean mengarah pada meja makan yang situasinya masih diisi oleh berbagai makanan. Bahkan sebuah piring juga terlihat masih tersisa.“Dia belum makan?”“Nona sudah makan tadi, Tuan. Tapi setelah bicara di telepon, langsung berhenti begitu saja dan kembali ke kamar,” jelas wanita itu. Kemudian menyodorkan ponsel milik Kiara yang dia tinggal begitu saja di meja makan.Sean berlalu dari sana, kemudian lanjut menaiki anak tangga menuju lantai atas. Belum satu jam ia berada di luar, Kiara sudah berulah.Mendorong pintu, tapi gagal karena Kiara ternyata mengunci dari arah dalam.“Kiara buka pintunya,” panggil Sean di depan pintu, sambil mengetuk perlahan, tapi panggilannya tak mendapatkan respon apa-apa. Apalagi dengan kamar yang kedap suara, mau dia teriak pun di dalam sana, tetap