“Uh … panas sekali….”
Kiara melangkah terseok-seok sembari menarik-narik bajunya. Jalannya sudah sempoyongan dan bahkan nyaris jatuh beberapa kali. Tangannya yang bebas berpegangan pada pembatas jalan.
Ada yang aneh dengan tubuhnya, Kiara menyadari hal itu. Seharusnya gadis itu menjemput kakaknya di ruang pesta di dalam. Namun, kakaknya justru menghilang dan setelah meminum segelas minuman yang diberikan oleh kakaknya, tubuh Kiara mulai tidak bisa dikendalikan.
Seakan-akan dia sedang dibakar dari dalam!
Gadis itu mengarahkan pandangan pada jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang, kemudian melambaikan tangan pada sebuah mobil yang lewat. Ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah turun dari trotoar, otomatis membuat kendaraan itu berhenti mendadak saat Kiara tiba-tiba muncul di depan sana.
Mengira itu adalah taksi, Kiara langsung masuk ke kursi penumpang.
"Ck, jahat sekali mereka," keluhnya mulai memejamkan kedua mata. Merasa pusing.
"Siapa?" Sebuah suara bariton menanggapi gumaman Kiara.
Namun, gadis itu hanya membalas, "Kepalaku pusing," ujarnya dengan nada pelan, nyaris terdengar seperti rengekan.
Kiara kemudian mulai menarik bajunya lagi, merasa risih.Wajah gadis itu tampak memerah meski cahaya di dalam mobil remang-remang.
Sebuah lenguhan mendadak lolos dari bibirnya. Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman! Seperti perlu–
Sebuah sentuhan tiba-tiba menerpa wajah Kiara, membuat mata gadis itu terfokus pada seseorang yang sedang mengarah padanya. Sensasi dingin dari tangan sosok itu seperti menyegarkannya.
Fokus Kiara tenggelam pada sepasang mata cokelat gelap di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, Kiara bisa melihat sosok itu memiliki lipatan kelopak mata khas orang Asia. Hidungnya pun mancung, sementara garis wajahnya tegas dan elegan.
“Kamu …” gumam Kiara. Tangannya menyentuh pelipis pria itu, lalu turun ke pipinya, sebelum jarinya mengikuti lekuk hidung sosok asing tersebut. Dengan suara pelan, Kiara tertawa kecil. “Tampan sekali.”
Gadis itu tiba-tiba merasakan lecutan sensasi tidak nyaman sekali lagi, membuat satu desahan lolos dari bibirnya.
“He–hei,” bisik Kiara. Matanya sudah kembali tidak fokus saat menatap sosok asing itu sekali lagi. “Tolong bantu aku, Tuan….”
***
Sosok itu membawa Kiara ke dalam sebuah ruangan. Gadis itu masih dalam keadaan setengah sadar, menggumamkan hal-hal tidak jelas. Kadang memuji tubuh kokoh yang sedang menggendongnya, kadang juga menyelipkan sebuah desahan ketika tubuhnya kembali berulah.
“Panas sekali ...”
Kiara menggerutu saat perasaan tak nyaman itu seolah sedang menggerogoti tubuhnya.
Duduk di tepi ranjang, dengan kedua tangan berada di sisi kiri dan kanan gadis itu, hingga seperti mengunci pergerakan dia. Menatap lekat wajah yang tampak memerah, pun keringat yang membasahi wajah dia. Napasnya naik turun, menelan ludah menahan perasaan aneh yang mendera.
Kiara tersenyum, menatap seseorang yang tepat ada dihadapannya. Mabuk membuat pikirannya melayang. Kemudian perlahan menyentuh wajah itu. Gadis itu kembali menelusuri wajahnya, kemudian melingkar di tengkuknya. Tak sampai di situ, Kiara menariknya hingga posisi keduanya benar-benar dekat.
Napas keduanya bertemu, Kiara bisa mencium aroma parfum yang menyegarkan itu samar.
“Aku menyukaimu,” ucap Kiara lirih.
Tersenyum saat mendengar ucapan Kiara. Sudah menahan diri, tapi jika godaannya seperti ini sepertinya sayang sekali untuk ditolak.
“Benarkah?”
Bukan sebuah jawaban, tapi ketika bibir Kiara menyentuh pipinya, perasaan itu tak terelakkan lagi hingga akhirnya bibir keduanya bertemu tanpa ragu.
Bisa ia rasakan sentuhan tangan Kiara yang menyentuh punggungnya lembut. Sesekali mencengkeram, seolah membuatnya semakin tertantang untuk memberikan sikap intens itu padanya.
Napas keduanya memburu, menikmati setiap adegan yang terjadi dan larut di dalamnya.
Keesokan paginya, sebuah deringan ponsel langsung membuat Kiara tersentak bangun bahkan duduk secara tiba-tiba. Tapi seketika meringis saat kepalanya terasa begitu sakit dan berdenyut-denyut hingga kembali memilih untuk merebahkan diri.
"Uh, rasanya sakit banget," keluhnya.
Lagi-lagi benda pipih yang ada di sisi kirinya itu berdering. Menyambar dan melihat siapa yang sedang meneleponnya.
"Mama," gumamnya.
Segera menggeser layar datar itu.
"Apa, Ma?"
"Kiara kamu di mana!?"
Kiara sampai menjauhkan ponsel dari pendengarannya saat suara wanita paruh baya itu seolah memporak-porandakan telinganya.
"Mama, ku bilang aku lagi tidur. Kalau tidur ya di kamar dong, Ma. Masa di lapangan bola," balas Kiara langsung pada pertanyaan mamanya yang terkesan aneh menurutnya.
"Kamar yang mana?!"
"Ya kamar ..."
Mendadak perkataan Kiara terhenti, layaknya sebuah mobil yang melaju kencang dan melakukan pengereman dadakan saat ada kucing lewat.
Memasang ekpressi bingung dengan pandangannya. Kemudian langsung bangun dan mengarah ke sekitar. Ayolah ... kepalanya memang terasa sakit, tapi jelas ia masih ingat bentukan kamarnya sendiri.
"I-ini di mana?" tanyanya dengan bergumam.
"Kiara!"
Kiara langsung menutup percakapan dengan mamanya dan fokus pada keadaan sekitar. Tak tahu ini di mana, tapi tiba-tiba saja otaknya sudah berpikiran buruk. Menyingkirkan selimut yang menutupi badannya, tapi langsung tersentak ketika mendapati hal yang tak biasa.
Biasanya ia tidur mengenakan tanktop dan bawahan celana pendek. Lah ini malah mengenakan gaun tidur yang indah dan terlampau nyaman.
Beranjak dari tempat tidur, kemudian turun dan melangkah perlahan dengan pandangan penuh telisik ke setiap sudut di ruangan ini. Makin membuat hatinya resah dan tak karuan saat aroma khas kamar ini mengitari indera penciumannya. Bisa dipastikan kalau ini kamar seorang cowok.
"Bagaimana tidurmu?"
Langsung berbalik badan ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Siapa kamu?! Kenapa aku ada di sini?"
Kiara melakukan pergerakan, mengubah posisi tidurnya menghadap arah jendela. Yang awalnya terkesan malas untuk membuka mata, tapi malah langsung melek sempurna saat melihat pantulan cahaya matahari di luar sana sudah terang benderang, menembus tirai.Langsung bangun dan duduk, mengarahkan pandangannya ke sekitar. Apalagi yang ia lakukan selanjutnya kalau bukan mengecek dirinya sendiri. Lega, itulah yang dirasakan saat mendapati semua dalam keadaan aman. Lebih tepatnya, aman dari sikap gila seorang Sean.Mengarahkan pandangannya pada jam dinding. “Minimal bangunin gitu loh,” gerutunya saat melihat jarum jam sudah berada di angka 10.“Dia kemana ini. Malah ninggalin aku sendirian di sini.”Kiara beranjak dari ranjang, kemudian menuju arah balkon. Membuka tirai, jendela dan pintu ... hingga cahaya dan udara masuk ke dalam kamar. Coba kalau di rumahnya, sudah panas telinganya dapat omelan dari mamanya kalau bangun di jam segini.Berdiri di tepi pagar, dengan pandangan mengarah ke sekelil
Kiara yang tidur nyenyak, perlahan melakukan pergerakan. Tapi tindakannya terhalang oleh sesuatu yang sedang berada di badannya.Perlahan membuka mata, tapi langsung melek sempurna saat mendapati posisi tangan Sean yang melingkar di badannya. Mau teriak, tapi sayang sekali Kiara langsung tersadar jika hubungan keduanya kini adalah suami-istri.“Kenapa juga harus meluk, sih. Ih, dasar cowok mesum,” gurutu Kiara perlahan melepaskan lengan Sean yang ada di badannya. Mana posisi dia nggak pake baju, membuat otak bersihnya jadi berpikir kotor saja.Tapi Kiara sedikit terdiam dan langsung terfokus pada kondisi Sean. Suhu badannya masih panas. Yang awalnya mau ngoceh, tapi tak jadi.Setelah lepas dari Sean, Kiara segera bangun dari posisi tidurnya. Benar-benar tak bisa dikasih peluang kan cowok ini. Sudah di bilang jangan sampai bertindak terlalu jauh, tapi ia berasa sudah digarap sebadan-badan oleh Sean. Kalau belum nikah, bakalan ngamuk sih ini. Dirinya tidur hanya mengenakan gaun tidur, p
Durasi tiga puluh menit, bahkan belum ada tanda-tanda Sean keluar dari kamar mandi. Tak ingin khawatir bahkan tak berminat untuk mengkhawatirkan dia, tapi tetap saja Kiara bingung. Masa iya mandi aja selama itu.“Ck, dia ngapain sih di kamar mandi selama itu? Masa berendam di tengah malam begini.”Kiara beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menuju arah kamar mandi. Mau memanggil dan memastikan keadaan dia, tapi lagi-lagi mengurungkan niat itu dan balik ke ranjang.Mengarahkan pandangannya pada jam dinding yang tampak sudah menunjukkan pukul 11 malam.“Arrgghh, Sean! Kamu bener-bener bikin gregetan,” gerutunya. Kembali menuju arah kamar mandi. “Sorry, ya. Ini tuh bukan khawatir, tapi kalau terjadi sesuatu kan bikin aku kena imbasnya juga gitu loh.”Ragu-ragu, maju mundur ... endingnya tetap saja melakukan. Langsung mengetuk pintu kamar mandi. Tapi di luar prediksi, belum tangannya bertindak, pintu tiba-tiba dibuka dari arah dalam. Memeperlihatkan Sean yang muncul di depannya.Kia
Seperti yang Sean katakan, seseorang yang datang adalah Dion. Sejujurnya ia merasa akan buang-buang waktu untuk menghadapi Dion, tapi jelas tak ingin melewatkan kesempatan ini. Saat di mana dirinya melihat ekpressi dan emosi Dion ketika ia mendapatkan Kiara.Sean keluar dari rumah, lebih tepatnya menuju arah pagar pembatas di mana Dion tertahan di sana karena tak diberikan akses masuk oleh penjaga.Bukan hanya Sean, tapi Randy dan Viona juga ikut mengekori karena sudah pasti fokus utama keluarga Narendra. Pertunangan yang sudah berlangsung lama, tapi endingnya Kiara malah jatuh ke tangan Sean. Mau mengelak juga tak bisa, karena posisi Sean jauh lebih unggul dari Dion dari sisi apapun juga.“Om benar-benar munafik!” umpat Dion langsung saat dihadapkan pada Randy. Hendak menyerang, tapi dua orang bodyguard Sean langsung menghadang hingga tindakan itu gagal terjadi.“Jangan lupa, ini areaku ... jaga sikapmu. Kalau tidak, kemungkinan orang tuamu akan datang menemuimu ke UGD,” peringatkan
Kiara langsung berubah ekpressi saat dihadapkan pada Sean yang datang menghampirinya. Nyalinya yang tadinya seakan berkobar seperti api ketika menghadapi Nadine, kini malah meleleh seperti besi yang dibakar.Sean mendekat. Menarik kursi, kemudian duduk di sana berhadapan dengan Kiara.“Cantik. Sesuai dengan apa yang ku mau.”Kiara tak memberikan respon, hanya diam tanpa kata. Jangankan salting dipuji, otaknya saja seperti tak sedang berfungsi dengan benar saat ini.“Bisakah seperti itu terus?”“Apa?” tanya Kiara dengan maksud dari permintaan Sean.“Bisakah melepaskan semua emosi yang kamu rasakan, tanpa menahan dan berpikir jika tindakan itu salah?”Hal aneh yang terjadi jika berhadapan dengan Sean. Nyalinya hilang diterpa angin. Manusia yang satu ini seolah menyerap habis kemarahannya dan seperti memegang kendali dirinya.“Maaf,” ucap Kiara bergumam.“Kenapa harus minta maaf? Kamu nggak melakukan kesalahan apapun padaku, Kiara.”Kiara sedikit menunduk, kemudian kembali tegak dan mena
Keesokan harinya ....Matanya mengantuk, kepalanya pusing karena semalaman tak bisa tidur. Jangan ditanya lagi seperti apa isi otaknya karena pastinya berantakan. Menolak Dion, tapi berakhir dengan Sean. Kiara sampai bingung harus menganggap ini untung atau buntung. Keduanya berada di tingkat buruk masing-masing.Kiara kini berada di sebuah ruangan dengan beberapa orang penata rias dan busana yang sedari tadi berputar-putar menggerayangi dirinya. Bisa menebak kan apa yang sedang terjadi? Yap, nikah.Berharap ini mimpi, tapi sayangnya setiap ia mencoba tutup mata dan membuka kembali, hasilnya tetap sama. Ini nyata! Lebih tepatnya, kenyataan yang buruk.Mimpinya jika menikah dengan pesta yang meriah, kini tak mau berharap lagi. Meskipun Sean mau mengabulkan, tapi ia tetap menolak. Hanya ijab qabul dan itupun hanya dihadiri oleh keluarga inti.“Sesuai dengan permintaan dari Bapak Sean. Bagaimana menurut Anda dengan hasilnya, Nona? Kalau ada yang kurang atau tak Anda sukai, bisa kami perb