Belum sempat Disa menyahut, tiba–tiba ponsel milik Kiara berdering. Tulisan “Mama” terpampang pada layar ponsel tersebut.
"Tenang-tenang. Sekarang lo jawab." Disa berbisik. “Tumbalin gue aja deh. Bilang aja lo di rumah gue. Anggap aja tadi gue bohong kasih jawaban."
Melihat Kiara frustasi begitu, gimana Disa bisa tenang. Minimal bisa bantu biar nggak kena omel orang tuanya aja dulu udah aman sih.
"Halo, Ma."
"Kamu benar-benar bikin mama emosi, ya! Dicariin ke mana-mana juga. Bilang, kamu dari mana dan ke mana?! Dari semalam nggak pulang-pulang!"
Disa sampai ikutan ngeri mendengar omelan mamanya Kiara. Kayaknya beneran marah. Karena biasanya mode ngomel, tapi ini emosinya lebih wah.
"Cepetan pulang!"
"I-iya, Ma."
Kiara langsung menutup percakapan dengan Viona, mamanya. Kemudian menarik napas panjang dan membuang perlahan.
"Rileks, Kiara. Lo tenang. Kalau muka lo tegang begitu, semua bakalan curiga,” ucap sahabatnya. Ia kemudian membantu menyamarkan tanda di kulit Kiara dengan foundation.
Padahal sedang serius, Disa tiba-tiba malah sedikit terkekeh.
"Apasih?"
"Ini cowok kayaknya terobsesi deh sama lo," ujar Disa.
"Jangan ngarang lo ya. Gue takut tahu. Masih gue ingat ya itu mukanya tepat di depan gue."
"Yang punya rumah tadi?"
"Kayaknya," balas Kiara. "Soalnya penjaganya cuman bilang ... jangan pergi Nona. Nanti Tuan marah. Argghh, nggak tahu aja itu majikan mereka habis kekepin gue."
***
Selesai menyamarkan tanda itu, Disa mengantarkan Kiara pulang ke rumah.
"Dari mana kamu?" tanya Randy pada Kiara—putrinya.
"Aku dari rumahnya Disa, Pa," jawab Kiara.
Sang kakak, Nadine, bersidekap dada, merespon jawaban yang diberikan oleh sang adik. Tapi mengarahkan pandangan pada Disa.
"Aku sama mama sempat datang ke rumah kamu, kan, Disa?” ucap Nadine. “Jawaban apa yang kamu kasih?"
Disa sedikit menunduk. "Maaf, Kak. Aku bohong. Soalnya pas Kak Nadine sama Tante datang tadi Kiara masih tidur. Takut nanti kalian malah heboh di rumahku dan orang tuaku malah ikutan ngomel," jelas Disa memberikan balasan pada pertanyaan yang Nadine berikan padanya.
"Jangan bohong!"
"Kita beneran, Kak. Kalau nggak percaya, silakan tanya sama orang tuaku atau Bibik di rumah," balas Disa lebih kukuh lagi.
Tolong, ya ... ini hanya saran ngasal. Jangan sampai Nadine beneran menghubungi orang tuanya. Tamat sudah kalau beneran.
"Semalam kamu ke mana?" tanya Randy.
"Aku–"
"Aku nungguin kamu berjam-jam tau nggak!?" Nadine langsung memotong perkataan Kiara. "Tiba-tiba hilang! Sampai acara bubar pun kamu nggak muncul. Mama sampai marahin aku gara-gara kamu ngilang nggak jelas, Kiara!"
"Aku nungguin Kakak kok, tapi pas aku telepon, Kakak–”
"Bohong!"
"Beneran, Kak! Kak Nadine yang tiba-tiba hilang.”
“Kamu ini!” Wajah Nadine memerah. “Sudah hilang nggak jelas, sekarang fitnah aku?”
Kiara mengernyit. Kenapa kakak perempuanya ini justru menyalahkannya? Jelas-jelas Kiara sudah telepon
“Enggak, Kak. Tapi–”
“Jangan-jangan kamu justru ada main dengan cowok, Ki!?” Nadine kembali menuduh. Jarinya menunjuk ke wajah Kiara. “Emang ya, dari dulu aku tau kamu suka main-main!”
"Sudah cukup!" Semua diam mendengar bentakan Randy. "Kiara, jangan sembarangan bergaul. Apalagi kamu sudah punya tunangan. Bagaimana kalau pihak sana tahu kamu main-main dengan pria lain?”
Kiara terbelalak. Ayahnya … lebih percaya omongan tidak masuk akal dari si kakak?
“Pa, tapi aku semalam benar-benar nggak main-main….” Suara Kiara lirih.
Namun, ia tidak bisa menyangkal lebih lanjut, karena meskipun semalam adalah kejadian yang tidak disengaja dan Kiara tidak bisa mengingatnya, adalah benar ia menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Ya sudah. Kamu sekarang masuk kamar saja,” kata sang ayah lagi. “Jangan lupa hubungi Dion. Kamu harus baik-baikin dia, biar pertunangan kalian lancar. Kalau sudah seperti itu kan keluarga kita juga yang untung.”
Kiara gegas menuju kamar dalam diam. Takut dan cemas kalau-kalau orang tuanya tahu kejadian semalam, serta tersinggung karena ucapan sang kakak.
Juga … sedikit sedih. Karena ucapan sang ayah terdengar seperti sedang mengorbankannya demi keluarga.
Sesampainya di kamar, ia langsung menutup rapat pintu kamarnya dan menghempaskan badan di kasur. Rasanya seperti baru keluar dari oven. Panas banget. Lebih tepatnya, otaknya yang panas.
Segera mandi untuk membersihkan badannya. Berendam di dalam bath-up, sambil memejamkan kedua matanya. Langsung kaget saat malah kebayang muka si cowok itu.
"Arghhh ... ada yang nggak beres sama otak gue. Kenapa malah muka dia yang nongol, sih."
Tapi kembali berpikir. "Semalam beneran nggak terjadi sampai tahap itu, kan? Kayaknya nggak mungkin deh. Tapi di video itu gue sampai ..." Menghentikan kata-katanya. "Ampun banget. Tapi rasanya nggak ada sakit atau rasa aneh kayak yang orang-orang bilang deh. Tapi ..."
Ingin menggetok kepalanya sendiri rasanya biar sekalian amnesia. Ini ingatannya kayak muter-muter ke adegan itu terus loh. Mana tadi dia juga bersikap begitu padanya dalam keadaan sadar. Kebayang kalau pas lagi mabuk.
"Ck, mana ini bekas sialan nggak ilang-ilang lagi." Menggosok-gosok tanda kiss yang ada di dada nya.
Selesai mandi dan berbenah diri, Kiara duduk di kursi di depan meja rias. Apalagi kalau bukan menyamarkan bekas yang ada di dada nya dengan foundation. Satu tanda ini, bisa bikin gempar satu keluarga besar.
Di saat yang bersamaan, ponselnya berdering. Terlihat nama Dion yang tertera. Malas? Jangan ditanya. Saking malasnya ingin ia riject panggilan telepon itu. Hanya saja nanti pasti bakalan berurusan dengan papanya.
"Hallo."
"Kiara kamu di mana?"
"Aku di rumah. Kenapa?"
"Pesanku nggak kamu balas."
"Maaf, tapi aku juga baru pegang HP. Baru pulang dari rumah Disa."
"Hari ini aku libur. Ayo, temani aku jalan."
"Boleh nolak nggak. Aku capek banget?"
"Kiara, kamu kenapa sih selalu menolak ajakanku? Sudah tahu, kan ... kalau kita dijodohkan. Orang tua kita, itu ikut andil dalam hubungan ini." Dion berkata. “Kalau kamu mau aku baik-baikin keluarga kamu, nurut!”
Padahal lagi malas berdebat, tapi ekpressi wajah Sean seolah sedang berniat untuk mengajaknya berdebat. Apalagi kalau bukan perkara jam perginya yang tadinya mengatakan setengah jam lagi dan pulang di sore hari, malah nyampe rumah saat waktu menunjukkan pukul 7 malam.Disambut diamnya Sean saat sampai, kemudian tetap diam bahkan setelah ia selesai mandi. Ternyata Sean lebih nyeremin kalau diam daripada mengomel dan mengocehinya.“Seperti berada di kutub utara. Dingin banget auranya,” gumam Kiara saat selesai berganti pakaian.Mengenakan dress tidur berwarna peach pendek dengan luaran berbentuk kimono. Kemudian keluar dari ruangan itu. Ya apalagi kalau bukan akan berhadapan langsung dengan Sean. Sepertinya cowok itu sudah mengumpulkan amarah untuk segera dilampiaskan padanya.“Ck, awas saja kalau dia beneran marah atau emosi. Aku bakalan langsung minta pisah,” ujarnya pelan.Melangkah perlahan mendekati Sean yang posisinya duduk bersandar di sandaran tempat tidur, dengan buku yang dia
Sementara di tempat lain, Nadine malah uring-uringan. Rencana yang sudah ia atur sedemikian rupa, malah hancur begitu saja dalam sepersekian detik. Masa depan yang ia harapkan bisa dinikmati sebentar lagi, tapi dirusak secara tiba-tiba.“Arrghhh!!!!”Bik Narti dan Bik Kinah sampai dibuat kaget saat mendengar teriakan dan umpatan yang keluar dari mulut Nadine di ruang keluarga. Bukan yang pertama, bahkan dari semalam gadis itu seperti berada di puncak emosi yang tak baik.“Non Nadine aneh banget, ya,” ujar Bik Narti berbisik pada teman sepekerjaannya itu. Masih dengan tangan yang sibuk merapikan pirik di rak nya.“Bukan aneh, tapi itu namanya lagi emosi, Mbak,” balas Bik Kinah.“Lagi marah sama seseorang mungkin, ya. Saya jadi takut. Tadi saja pak Tuan minta bangunin Non Nadine, saya kena omel di atas.”Bik Narti tersenyum sembringah.“Lah, Mbak kok malah senyum.”“Kamu tahu nggak. Non Nadine itu lagi kesal, lagi marah. Karena sepertinya beliau nggak terima saat Non Kiara nikah sama De
“Duda beneran?” tanya Odisa.“Yakali ada duda bohongan,” balas Kiara pada pertanyaan Odisa yang sangat terlihat jika dia tak yakin.“Berarti dia udah nggak ...” Hagia menghentikan perkataannya saat ragu-ragu untuk mengungkap apa yang sedang ia pikirkan.“Ya ... gue nggak tahu,” sahut Kiara seolah paham kemana arah pikiran Hagia. “Dia bilang enggak, tapi yakali enggak. Gue aja yang nggak berstatus apa-apa dia kekepin kayak macan minta kawin gitu, masa iya udah nikah nggak bertindak sejauh itu.”“Lo yakin dia udah nikah?” Odisa malah mendadak ragu.“Lo berdua tahu Rumano group nggak?” tanya Kiara pada keduanya.“Ya tahulah,” respon Odisa. “Itu perusahaan yang rate nya ada di titik atas dunia bisnis. Bukan hanya di Indo, papa gue aja bilang mereka menduduki posisi atas di luar negeri,” ungkap Odisa menjelaskan.Maklum, ortunya kan mode bisnis. Meskipun nggak bisa dikatakan kelas kakap, tapi jelas tahulah pebisnis mana saja yang ada di level atas.“Banyak perusahaan asing yang juga saling
“Gaess ...”Kiara langsung menyapa kedua sobatnya saat sampai. Tapi malah memasang muka bingung melihat ekpressi ngelag Odisa dan Hagia ketika dihadapkan pada dirinya.“Hem, kenapa?” tanya Kiara.“Kiara lo bener-benar bikin kita berdua mumet, ya. Ish, anjir banget!”Odisa langsung heboh dan gemas serasa ingin menelan Kiara mentah-mentah.“Ish, gemesin banget lo. Gue sama Disa serasa kehilangan jejak tau nggak!” tambah Hagia menambah omelan yang sudah lebih dulu dilontarkan oleh Disa.Kiara duduk di kursi yang berhadapan dengan Odisa dan Hagia sambil terkekeh. Aslinya agak cemas sih sebenarnya.“Parah banget lo. Ngilang kayak orang diculik tanpa jejak.”“Ya maaf. Ini tuh tiba-tiba, mendadak. Ya gimana mau ngasih kabar coba,” balas Kiara menyeruput minuman yang sudah dipesankan untuknya.Pandangan Hagia dan Odisa mulai terfokus pada Kiara. Awalnya perkara penampilan Kiara yang saat ini terkesan sangat berbeda. Bukan hanya penampilan fisik, tapi dari segi fashion dan barang-barang yang
Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju cafe, di mana lokasi Kiara janjian dengan Disa dan Hagia. Dalam perjalanan, Kiara mode diam. Sedangkan Sean, sibuk bicara di telepon dengan seseorang.Hidup dalam keluarga yang sibuk dengan pekerjaan, bahkan nyaris menumbalkannya hanya untuk bisnis. Kini malah dapat pasangan juga nggak kalah sibuk. Jangan bilang ia akan jadi tumbal juga berada di tangan Sean.Mengarahkan pandangannya pada Sean yang sedang bicara di telepon. Jangan ditanya lagi bagaimana penilaiannya pada manusia ini. Mungkin kalau bukan karena beberapa masalah yang terjadi, ia sebagai cewek normal pun bisa jatuh cinta pada dia. Yang diidamkan semua gadis, ada pada Sean. Cuman ya ... emosi dia nakutin.Kiara langsung tersentak dan mengarah ke arah lain saat Sean menyadari jika dirinya memerhatikan.Sean mengakhiri pembicaraan di telepon, kemudian fokus pada Kiara di sampingnya.“Ada apa?” tanya Sean.“Nggak ada.”Sean mengulas senyuman simpul, kemudian mengambil tangan Kiara
“Kiara dimana?”Pertanyaan tertuju pada beberapa pekerja yang saat itu sedang bergelut dengan tugas mereka masing-masing. Langsung bergegas menghadap Sean yang tiba-tiba pulang.“Nona ada di kamar, Tuan.”Pandangan Sean mengarah pada meja makan yang situasinya masih diisi oleh berbagai makanan. Bahkan sebuah piring juga terlihat masih tersisa.“Dia belum makan?”“Nona sudah makan tadi, Tuan. Tapi setelah bicara di telepon, langsung berhenti begitu saja dan kembali ke kamar,” jelas wanita itu. Kemudian menyodorkan ponsel milik Kiara yang dia tinggal begitu saja di meja makan.Sean berlalu dari sana, kemudian lanjut menaiki anak tangga menuju lantai atas. Belum satu jam ia berada di luar, Kiara sudah berulah.Mendorong pintu, tapi gagal karena Kiara ternyata mengunci dari arah dalam.“Kiara buka pintunya,” panggil Sean di depan pintu, sambil mengetuk perlahan, tapi panggilannya tak mendapatkan respon apa-apa. Apalagi dengan kamar yang kedap suara, mau dia teriak pun di dalam sana, tetap