"Jam berapa?" tanya Kiara langsung. Malas banget memperpanjang urusan dan obrolan dengan dia.
"Sebentar lagi ku jemput."
"Iya."
Niat hati ingin tidur seharian demi menenangkan otaknya yang sedang stress, Dion malah ngajak jalan.
Kalau bukan karena orang tuanya yang ngotot, sudah pasti ia menjauh dari manusia bernama Dion. Belum jadi suaminya saja sudah mode maksa dan ngatur, apalagi kalau sudah nikah. Bisa-bisa ia bundir karena stress.
Kiara berjalan menuju arah lemari pakaian. Mengambil sebuah stelan rok selutut dan atasan senada, dengan bawahan sepatu kets. Mengenakan make-up tipis-tipis sebagai riasan.
Turun menuju lantai bawah dan menghampiri mamanya yang ada di teras samping.
"Parah banget sih. Baru juga pulang, udah pergi lagi."
Bukan Viona yang komentar, tapi justru Nadine. Kiara tak menghiraukan perkataan kakaknya itu. Agak kesal karena kejadian semalam.
"Ma, aku izin mau pergi sama Dion."
"Bohong ya."
"Apasih, Kak. Semua perkataanku kamu bilang bohong terus."
"Nggak yakin aja kalau sama Dion. Dia kan sibuk kerja."
Di saat yang bersamaan, terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarang rumah.
"Noh, kalau nggak percaya. Makanya Kakak jangan ngatain aku bohong terus.”
Ketiganya menuju arah ruang tamu. Benar saja, tampak Dion sudah menunggu. Dia beranjak dari posisi duduknya, kemudian menghampiri dan bersalaman dengan Viona.
"Maaf, Tante. Aku izin ngajakin Kiara pergi, ya."
"Mau ngajaki Kiara kemana, Dion?"
"Ke acara teman, Tante."
"Dion ngajakin kamu pergi ke acara temannya, minimal kamu bisa nggak sih dandan yang lebih formal dikit," ujar Nadine pada Kiara.
Kiara mengarah pada Dion. "Haruskah aku pake gaun dan hels?"
"Nggak usah. Ini hanya acara ngobrol santai saja kok,” balas Dion.
Kiara kembali mengarah pada Nadine. "Kakak dengar, kan? Sibuk banget merecoki setiap apa yang ku lakukan," gerutunya.
Keduanya pamit dan segera masuk ke dalam mobil. Meninggalkan area pekarangan rumah menuju lokasi acara.
"Ini nggak lama, kan?"
"Belum tahu, kan ini hanya ngobrol jadi ya lebih terkesan santai. Bisa saja sampai sore."
Kepalanya sakit, pusing, malah diajakin pergi dan hanya akan menemani dia ngobrol. Kebayang kan betapa lamanya waktu akan berputar. Efek mabuk semalam seolah membuat otaknya serasa meletup-letup.
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"Cuman pusing. Semalam kurang tidur," ujar Kiara atas pertanyaan yang Dion berikan.
"Alasan yang selalu kamu gunakan kalau aku ajak jalan, kan. Udah hapal banget," balas Dion lengkap dengan senyuman sinisnya.
"Terserah sih mau percaya atau enggak. Nggak maksa buat percaya juga."
Hari yang menyebalkan sedang ia jalani dengan Dion. Menginginkannya, bilang cinta padanya, tapi seolah ia hanya dijadikan boneka yang harus nurut ini dan itu. Hanya karena orang tuanya dan orang tua Dion saling kenal, hingga perjodohan ini terjadi. Jadi, paham kan intinya apa? Yap, bisnis.
Mobil memasuki area sebuah restoran yang terbilang mewah. Ya, sepertinya hanya orang-orang dengan level elit saja yang akan nongkrong di sini.
Dion turun dari mobil, kemudian membukakan pintu mobil untuk Kiara.
"Ingat, ya ... kamu itu calon istriku. Jadi, tolong jaga sikap. Aku nggak mau teman-temanku beranggapan kalau aku salah pilih calon istri."
"Maksudnya apa bilang begitu?"
Dion tak menjawab, tapi langsung memberikan sikap yang ia maksud. Melingkarkan lengannya di pinggang Kiara, hingga membuat gadis itu tertarik padanya.
"Bukankah pasangan kekasih itu harus terlihat mesra dalam situasi apapun?"
"Lepasin nggak!"
"Nurut, Kiara!"
Keduanya masuk ke dalam sebuah restoran. Ya, lebih terlihat seperti restoran mode private. Nggak banyak orang di sini. Sepertinya yang masuk juga bagi yang sudah booking tempat sebelumnya.
"Wah, akhirnya datang juga. Kirain nggak jadi datang lo," ujar salah seorang cowok pada Dion.
"Datang dong," sahut Dion.
"Barang baru kayaknya nih," ujar yang lain pada Dion, tapi mengarah pada Kiara yang posisinya berada di samping Dion.
"Barang ori ini. Jangan macam-macam lo pada," ujar Dion melingkarkan lengannya di pinggang Kiara secara intens.
"Serius barang ori? Udah terjamin atau hanya status doang?" tanya yang lain memastikan. Kemudian terkekeh.
"Hari ini jarang ada yang ori. Adapun, paling fisiknya ..."
"Maksudnya apaan itu?" tanya Kiara menyanggah perkataan itu. "Lo pikir gue barang?!"
Meskipun tak langsung to the point menyebut dirinya, tapi jelas Kiara tahu inti dari semua pembahasan mereka.
"Mereka ngomongnya biasa aja loh. Jangan terlalu diambil hati, Sayang," ujar Dion pada Kiara.
Rasanya tuh muak banget ada di sini. Apalagi dengan sikap, kelakuan dan kata-kata yang Dion berikan padanya. Berasa masuk kawasan panas kalau ada di sekitaran sirkel dia.
Dion mengajak Kiara untuk duduk di kursi. Hanya jadi pendengar dan penonton teman-teman dia yang menurutnya sesad semua. Kadang yang berpasangan, dengan santainya malah bersikap mesra di depannya. Apa maksudnya? Sedang membuatnya panas kah? Jijik yang ada.
"Masih lama, ya?" tanya Kiara pada Dion.
"Jangan minta pulang. Sudah ku bilang, kan ... hari ini waktumu denganku." Peringatkan Dion pada sikap Kiara.
"Ya nggak seharian juga dong, Dion. Ingat, ya ... aku besok kuliah dan aku juga punya tugas. Semalam aku juga kurang tidur."
Dion seolah tak menghiraukan perkataan Kiara, tapi malah sibuk ngobrol dengan cewek yang ada di sebelah dia. Lihat kan, sebenarnya percuma ia ikut ... karena Dion itu jenis buaya darat yang matanya meleng sana sini kalau lihat cewek. Hanya gara-gara bisnis, ia seolah sedang dijual oleh orang tuanya sendiri pada manusia sejenis Dion.
Kiara merogoh tas nya saat deringan ponselnya terdengar. Hanya saja belum melihat siapa yang menelepon, Dion langsung mengambil alih benda itu dari tangannya dan meriject panggilan yang sedang berlangsung.
"Dion ..."
"Sudah ku bilang, kan. Hari ini waktumu denganku, jadi jangan mengalihkan fokusmu dariku ke hal lain."
"Hanya menjawab panggilan telepon. Siapa tahu itu penting."
"Nggak ada yag lebih penting saat ini daripada aku."
"Kembalikan HP ku!"
"Nanti."
"Kamu ngajakin aku ke sini mau ngapain?! Cuman jadi penonton kalian semua beradegan mesra?!" Kiara langsung mengomel.
Dion menatap Kiara intens dan semakin mendekat. "Kamu merasa panas kah melihat semua ini?"
Kiara malah tersenyum sinis, seolah sedang meledek pertanyaan dan pendapat yang Dion berikan tentangnya.
"Panas? Malah aku merasa jijik berada di sini."
Dion beranjak dari posisi duduknya, kemudian menarik dan memaksa Kiara untuk mengikuti langkahnya. Sedikit menjauh dari teman-temannya yang lain.
Mencekik leher Kiara, hingga gadis itu terdorong ke arah dinding dengan napas sesak.
"Sudah ku bilang, kan ... kamu itu milikku Kiara. Jadi jangan berpikir kamu bisa lepas dariku. Hari ini, sampai malam ini kamu denganku. Itu artinya nggak ada hal lain yang lebih penting daripada aku! Jijik kamu bilang? Justru kamu akan merasa senang jika ikut menikmatinya!"
Padahal lagi malas berdebat, tapi ekpressi wajah Sean seolah sedang berniat untuk mengajaknya berdebat. Apalagi kalau bukan perkara jam perginya yang tadinya mengatakan setengah jam lagi dan pulang di sore hari, malah nyampe rumah saat waktu menunjukkan pukul 7 malam.Disambut diamnya Sean saat sampai, kemudian tetap diam bahkan setelah ia selesai mandi. Ternyata Sean lebih nyeremin kalau diam daripada mengomel dan mengocehinya.“Seperti berada di kutub utara. Dingin banget auranya,” gumam Kiara saat selesai berganti pakaian.Mengenakan dress tidur berwarna peach pendek dengan luaran berbentuk kimono. Kemudian keluar dari ruangan itu. Ya apalagi kalau bukan akan berhadapan langsung dengan Sean. Sepertinya cowok itu sudah mengumpulkan amarah untuk segera dilampiaskan padanya.“Ck, awas saja kalau dia beneran marah atau emosi. Aku bakalan langsung minta pisah,” ujarnya pelan.Melangkah perlahan mendekati Sean yang posisinya duduk bersandar di sandaran tempat tidur, dengan buku yang dia
Sementara di tempat lain, Nadine malah uring-uringan. Rencana yang sudah ia atur sedemikian rupa, malah hancur begitu saja dalam sepersekian detik. Masa depan yang ia harapkan bisa dinikmati sebentar lagi, tapi dirusak secara tiba-tiba.“Arrghhh!!!!”Bik Narti dan Bik Kinah sampai dibuat kaget saat mendengar teriakan dan umpatan yang keluar dari mulut Nadine di ruang keluarga. Bukan yang pertama, bahkan dari semalam gadis itu seperti berada di puncak emosi yang tak baik.“Non Nadine aneh banget, ya,” ujar Bik Narti berbisik pada teman sepekerjaannya itu. Masih dengan tangan yang sibuk merapikan pirik di rak nya.“Bukan aneh, tapi itu namanya lagi emosi, Mbak,” balas Bik Kinah.“Lagi marah sama seseorang mungkin, ya. Saya jadi takut. Tadi saja pak Tuan minta bangunin Non Nadine, saya kena omel di atas.”Bik Narti tersenyum sembringah.“Lah, Mbak kok malah senyum.”“Kamu tahu nggak. Non Nadine itu lagi kesal, lagi marah. Karena sepertinya beliau nggak terima saat Non Kiara nikah sama De
“Duda beneran?” tanya Odisa.“Yakali ada duda bohongan,” balas Kiara pada pertanyaan Odisa yang sangat terlihat jika dia tak yakin.“Berarti dia udah nggak ...” Hagia menghentikan perkataannya saat ragu-ragu untuk mengungkap apa yang sedang ia pikirkan.“Ya ... gue nggak tahu,” sahut Kiara seolah paham kemana arah pikiran Hagia. “Dia bilang enggak, tapi yakali enggak. Gue aja yang nggak berstatus apa-apa dia kekepin kayak macan minta kawin gitu, masa iya udah nikah nggak bertindak sejauh itu.”“Lo yakin dia udah nikah?” Odisa malah mendadak ragu.“Lo berdua tahu Rumano group nggak?” tanya Kiara pada keduanya.“Ya tahulah,” respon Odisa. “Itu perusahaan yang rate nya ada di titik atas dunia bisnis. Bukan hanya di Indo, papa gue aja bilang mereka menduduki posisi atas di luar negeri,” ungkap Odisa menjelaskan.Maklum, ortunya kan mode bisnis. Meskipun nggak bisa dikatakan kelas kakap, tapi jelas tahulah pebisnis mana saja yang ada di level atas.“Banyak perusahaan asing yang juga saling
“Gaess ...”Kiara langsung menyapa kedua sobatnya saat sampai. Tapi malah memasang muka bingung melihat ekpressi ngelag Odisa dan Hagia ketika dihadapkan pada dirinya.“Hem, kenapa?” tanya Kiara.“Kiara lo bener-benar bikin kita berdua mumet, ya. Ish, anjir banget!”Odisa langsung heboh dan gemas serasa ingin menelan Kiara mentah-mentah.“Ish, gemesin banget lo. Gue sama Disa serasa kehilangan jejak tau nggak!” tambah Hagia menambah omelan yang sudah lebih dulu dilontarkan oleh Disa.Kiara duduk di kursi yang berhadapan dengan Odisa dan Hagia sambil terkekeh. Aslinya agak cemas sih sebenarnya.“Parah banget lo. Ngilang kayak orang diculik tanpa jejak.”“Ya maaf. Ini tuh tiba-tiba, mendadak. Ya gimana mau ngasih kabar coba,” balas Kiara menyeruput minuman yang sudah dipesankan untuknya.Pandangan Hagia dan Odisa mulai terfokus pada Kiara. Awalnya perkara penampilan Kiara yang saat ini terkesan sangat berbeda. Bukan hanya penampilan fisik, tapi dari segi fashion dan barang-barang yang
Keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju cafe, di mana lokasi Kiara janjian dengan Disa dan Hagia. Dalam perjalanan, Kiara mode diam. Sedangkan Sean, sibuk bicara di telepon dengan seseorang.Hidup dalam keluarga yang sibuk dengan pekerjaan, bahkan nyaris menumbalkannya hanya untuk bisnis. Kini malah dapat pasangan juga nggak kalah sibuk. Jangan bilang ia akan jadi tumbal juga berada di tangan Sean.Mengarahkan pandangannya pada Sean yang sedang bicara di telepon. Jangan ditanya lagi bagaimana penilaiannya pada manusia ini. Mungkin kalau bukan karena beberapa masalah yang terjadi, ia sebagai cewek normal pun bisa jatuh cinta pada dia. Yang diidamkan semua gadis, ada pada Sean. Cuman ya ... emosi dia nakutin.Kiara langsung tersentak dan mengarah ke arah lain saat Sean menyadari jika dirinya memerhatikan.Sean mengakhiri pembicaraan di telepon, kemudian fokus pada Kiara di sampingnya.“Ada apa?” tanya Sean.“Nggak ada.”Sean mengulas senyuman simpul, kemudian mengambil tangan Kiara
“Kiara dimana?”Pertanyaan tertuju pada beberapa pekerja yang saat itu sedang bergelut dengan tugas mereka masing-masing. Langsung bergegas menghadap Sean yang tiba-tiba pulang.“Nona ada di kamar, Tuan.”Pandangan Sean mengarah pada meja makan yang situasinya masih diisi oleh berbagai makanan. Bahkan sebuah piring juga terlihat masih tersisa.“Dia belum makan?”“Nona sudah makan tadi, Tuan. Tapi setelah bicara di telepon, langsung berhenti begitu saja dan kembali ke kamar,” jelas wanita itu. Kemudian menyodorkan ponsel milik Kiara yang dia tinggal begitu saja di meja makan.Sean berlalu dari sana, kemudian lanjut menaiki anak tangga menuju lantai atas. Belum satu jam ia berada di luar, Kiara sudah berulah.Mendorong pintu, tapi gagal karena Kiara ternyata mengunci dari arah dalam.“Kiara buka pintunya,” panggil Sean di depan pintu, sambil mengetuk perlahan, tapi panggilannya tak mendapatkan respon apa-apa. Apalagi dengan kamar yang kedap suara, mau dia teriak pun di dalam sana, tetap