"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya.
"Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar.
"Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.
Iko terkekeh.
Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta.
"Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."
Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih.
"Aku tidak tau bagaimana cara memberi tahu Fani. Aku hanya berharap Vida tidak hamil, dan semua masalah selesai."
Melihat raut wajah Davin yang datar dan cenderung dingin, Iko tidak lagi bertanya, dia segera undur diri, takut semakin memperburuk suasana hati bosnya.
Memikirkan kekasih dan juga istri memang tidak ada ujungnya, itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Davin segera menyahut kunci mobil, dan bergegas menjemput Vida.
Sesampainya di tempat biasa Vida menunggunya ketika pulang kuliah. Ternyata istri kecilnya belum juga terlihat.
Davin hanya berpikir positif, mungkin Vida ada kelas tambahan hingga dia sedikit terlambat. Dia mulai menyandarkan kepalanya ke belakang, mengistirahatkan tubuh dan pikiran barang sejenak, sembari menunggu Vida.
Satu jam Davin menunggu, tapi istrinya tak kunjung terlihat. Jalanan kampus yang tampak basah oleh sisa air hujan yang mengguyur lebat tadi siang, juga sudah mulai sepi. Davin tidak punya kesabaran untuk menunggu. Tangannya bergerak cepat merogoh ponsel di saku untuk menghubungi Vida.
Dan menyedihkan sekali ketika Vida tidak mengangkat panggilan, bahkan dia mendapatkan penolakan dua kali sebelum nomor telepon Vida tidak aktif.
"Shit!"
Davin mengumpat kasar, mengetahui istri kecilnya masih marah karena ulahnya tadi siang.
Mendadak hati Davin nyeri ketika berpikir, mungkin saja Vida sudah pulang diantar laki-laki yang beberapa hari terakhir sering memboncengkan Vida saat keluar kampus.
Tapi asumsinya sirna, ketika melihat dua motor keren warna merah melaju pelan melewati mobilnya, helm yang terbuka mempermudah Davin mengetahui siapa mereka. Erick dan Rion pulang tanpa membonceng siapapun, sembari mengobrol santai.
"Kelas sore ini membosankan, tau begini aku memilih bolos saja seperti yang dilakukan Vida."
Mata Davin terkesiap, ketika tanpa sengaja mendengar percakapan Erick dan Rion.
"Sangat merepotkan!" umpat Davin kesal.
Vida memang langsung pulang, ketika Davin kembali mengantarnya ke kampus seusai makan siang dengan klien.
Bukan pulang ke kediaman Wijaya, Vida malah pulang ke rumah ayahnya. Bahkan Vida tidak berniat kembali ke rumah suaminya.
Dia ingin memberitahu ayahnya tentang kontrak pernikahannya dengan Davin. Tapi sungguh tidak beruntung ketika hari ini toko roti tampak ramai oleh pelanggan, hingga ayahnya tak mempunyai waktu untuk bercakap dengannya.
Saat malam tiba pun Danu malah pergi ke undangan pernikahan anak sahabatnya. Meninggalkan Vida sendirian di rumah menatap wajah sendu di depan cermin.
Kilat matanya berfokus pada bercak merah di bibir, juga beberapa rona merah keunguan di leher, membuat hatinya semakin tertekan.
Sebagai seorang suami, memang tidak salah jika Davin menuntut haknya. Tapi istri mana yang mau menerima sentuhan kasar tanpa cinta seperti itu? Terlebih dilakukan di depan orang lain. Jelas itu hanya penghinaan.
Vida membuang tubuh ke kasur dan membiarkan butiran kristal bergulir dari sudut mata, kemudian lenyap ketika meresap pada bantal yang mulai basah. Hingga lelah tiba, dan dia tertidur dengan sendirinya.
Sangat jengkel, saat tidurpun dia seperti mencium aroma parfum mahal milik Davin. Sampai pagi menyingsing dia semakin terkejut ketika mendengar suara bernada rendah yang sangat dia kenal berada di dapur rumahnya.
"Davin, istrimu memang masih labil. Ayah harap kamu sabar menghadapinya," ujar Danu sembari menepuk pelan punggung menantunya yang sedang memegang spatula dan mengaduk sesuatu di dalam wajan.
Alis Vida berkerut melihat senyum menyebalkan yang penuh muslihat Davin. Apa yang telah dia katakan, hingga ayahnya berkata demikian?
Semakin geram ketika Davin berbalik dan menemukannya, kemudian menyapa dengan senyum manis seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Selamat pagi."
Vida enggan menjawab hanya menunjukan wajah dingin yang begitu suram, mengundang Danu untuk mengela napas kasar.
"Vida, apa begitu caramu memperlakukan suamimu? Tadi malam dia ingin menjemputmu tapi kamu sudah tidur. Pagi ini dia berbaik hati untuk memasak sarapan untukmu. Masih pantaskah kamu memberi tatapan buruk itu kepadanya?"
Vida menelan saliva dengan kasar dan berucap dingin. "Aku tidak ingin kembali ke sana, aku ingin tinggal di sini."
Lagi Danu membuang napas kasar. "Vida, kamu sudah menikah, sudah sepantasnya jika kamu tinggal bersama suamimu. Bahkan masa pernikahan kalian saja masih bisa dihitung dengan jari, kenapa harus memperkeruh suasana?"
"Ayah, dia itu tidak tulus, dia itu kasar, dia akan ...."
"Sudah Vida, ayah tidak mau mendengar alasanmu, Davin sudah mengatakan apa yang dia lakukan di dalam mobil kemarin, dia juga menyesal melakukan itu. Tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya, kamu sebagai istri seharusnya peka dengan perasaan suamimu. Dia cemburu berarti dia menyayangimu." Danu menginterupsi dengan ucapan panjang lebar sebelum Vida menyelesaikan kalimatnya.
Mendadak alis pekat Davin mengernyit mendengar ucapan ayah mertuanya, batinnya berujar sinis. 'Cemburu? Cih ... Tidak mungkin!'
Sementara Vida mengeratkan rahangnya geram, mengetahui Davin telah mengadu terlebih dahulu pada ayahnya. 'Laki-laki licik!' umpatnya dalam hati.
"Sudah, tidak perlu bertengkar lagi. Suamimu sudah mempunyai itikad baik untuk menjemputmu dan minta maaf. Kamu tidak perlu membuat suasana menjadi rumit," imbuh Danu seakan tahu permasalahan sebenarnya yang dihadapi Vida.
"Ayah ... Bukan hanya itu masalahnya, dia itu ...."
"Vida ...." Lagi-lagi Danu menginterupsi perkataan Vida, dan kembali bertutur, "ayah tahu kamu sangat keras kepala dan emosional. Tapi kamu sekarang sudah menikah, belajarlah menjadi bijak. Jadilah istri yang baik."
Vida masih ingin menjelaskan tentang kontrak pernikahannya, namun orang yang biasa menitip jajanan pasar di toko ayahnya datang, hingga Vida tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan. Dia hanya bisa menipiskan bibir dengan geram menatap senyum menyebalkan yang ditunjukan Davin.
'Jangan harap aku mau kembali ke rumahmu, meski kamu memohon.'
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida