Share

7. Pulang

"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya.

"Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar.

"Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.

Iko terkekeh.

Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta.

"Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."

Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih.

"Aku tidak tau bagaimana cara memberi tahu Fani. Aku hanya berharap Vida tidak hamil, dan semua masalah selesai."

Melihat raut wajah Davin yang datar dan cenderung dingin, Iko tidak lagi bertanya, dia segera undur diri, takut semakin memperburuk suasana hati bosnya.

Memikirkan kekasih dan juga istri memang tidak ada ujungnya, itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Davin segera menyahut kunci mobil, dan bergegas menjemput Vida.

Sesampainya di tempat biasa Vida menunggunya ketika pulang kuliah. Ternyata istri kecilnya belum juga terlihat.

Davin hanya berpikir positif, mungkin Vida ada kelas tambahan hingga dia sedikit terlambat. Dia mulai menyandarkan kepalanya ke belakang, mengistirahatkan tubuh dan pikiran barang sejenak, sembari menunggu Vida.

Satu jam Davin menunggu, tapi istrinya tak kunjung terlihat. Jalanan kampus yang tampak basah oleh sisa air hujan yang mengguyur lebat tadi siang, juga sudah mulai sepi. Davin tidak punya kesabaran untuk menunggu. Tangannya bergerak cepat merogoh ponsel di saku untuk menghubungi Vida.

Dan menyedihkan sekali ketika Vida tidak mengangkat panggilan, bahkan dia mendapatkan penolakan dua kali sebelum nomor telepon Vida tidak aktif.

"Shit!"

Davin mengumpat kasar, mengetahui istri kecilnya masih marah karena ulahnya tadi siang.

Mendadak hati Davin nyeri ketika berpikir, mungkin saja Vida sudah pulang diantar laki-laki yang beberapa hari terakhir sering memboncengkan Vida saat keluar kampus.

Tapi asumsinya sirna, ketika melihat dua motor keren warna merah melaju pelan melewati mobilnya, helm yang terbuka mempermudah Davin mengetahui siapa mereka. Erick dan Rion pulang tanpa membonceng siapapun, sembari mengobrol santai.

"Kelas sore ini membosankan, tau begini aku memilih bolos saja seperti yang dilakukan Vida."

Mata Davin terkesiap, ketika tanpa sengaja mendengar percakapan Erick dan Rion.

"Sangat merepotkan!" umpat Davin kesal.

Vida memang langsung pulang, ketika Davin kembali mengantarnya ke kampus seusai makan siang dengan klien.

Bukan pulang ke kediaman Wijaya, Vida malah pulang ke rumah ayahnya. Bahkan Vida tidak berniat kembali ke rumah suaminya.

Dia ingin memberitahu ayahnya tentang kontrak pernikahannya dengan Davin. Tapi sungguh tidak beruntung ketika hari ini toko roti tampak ramai oleh pelanggan, hingga ayahnya tak mempunyai waktu untuk bercakap dengannya.

Saat malam tiba pun Danu malah pergi ke undangan pernikahan anak sahabatnya. Meninggalkan Vida sendirian di rumah menatap wajah sendu di depan cermin.

Kilat matanya berfokus pada bercak merah di bibir, juga beberapa rona merah keunguan di leher, membuat hatinya semakin tertekan.

Sebagai seorang suami, memang tidak salah jika Davin menuntut haknya. Tapi istri mana yang mau menerima sentuhan kasar tanpa cinta seperti itu? Terlebih dilakukan di depan orang lain. Jelas itu hanya penghinaan.

Vida membuang tubuh ke kasur dan membiarkan butiran kristal bergulir dari sudut mata, kemudian lenyap ketika meresap pada bantal yang mulai basah. Hingga lelah tiba, dan dia tertidur dengan sendirinya.

Sangat jengkel, saat tidurpun dia seperti mencium aroma parfum mahal milik Davin. Sampai pagi menyingsing dia semakin terkejut ketika mendengar suara bernada rendah yang sangat dia kenal berada di dapur rumahnya.

"Davin, istrimu memang masih labil. Ayah harap kamu sabar menghadapinya," ujar Danu sembari menepuk pelan punggung menantunya yang sedang memegang spatula dan mengaduk sesuatu di dalam wajan.

Alis Vida berkerut melihat senyum menyebalkan yang penuh muslihat Davin. Apa yang telah dia katakan, hingga ayahnya berkata demikian?

Semakin geram ketika Davin berbalik dan menemukannya, kemudian menyapa dengan senyum manis seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Selamat pagi."

Vida enggan menjawab hanya menunjukan wajah dingin yang begitu suram, mengundang Danu untuk mengela napas kasar.

"Vida, apa begitu caramu memperlakukan suamimu? Tadi malam dia ingin menjemputmu tapi kamu sudah tidur. Pagi ini dia berbaik hati untuk memasak sarapan untukmu. Masih pantaskah kamu memberi tatapan buruk itu kepadanya?"

Vida menelan saliva dengan kasar dan berucap dingin. "Aku tidak ingin kembali ke sana, aku ingin tinggal di sini."

Lagi Danu membuang napas kasar. "Vida, kamu sudah menikah, sudah sepantasnya jika kamu tinggal bersama suamimu. Bahkan masa pernikahan kalian saja masih bisa dihitung dengan jari, kenapa harus memperkeruh suasana?"

"Ayah, dia itu tidak tulus, dia itu kasar, dia akan ...."

"Sudah Vida, ayah tidak mau mendengar alasanmu, Davin sudah mengatakan apa yang dia lakukan di dalam mobil kemarin, dia juga menyesal melakukan itu. Tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya, kamu sebagai istri seharusnya peka dengan perasaan suamimu. Dia cemburu berarti dia menyayangimu." Danu menginterupsi dengan ucapan panjang lebar sebelum Vida menyelesaikan kalimatnya.

Mendadak alis pekat Davin mengernyit mendengar ucapan ayah mertuanya, batinnya berujar sinis. 'Cemburu? Cih ... Tidak mungkin!'

Sementara Vida mengeratkan rahangnya geram, mengetahui Davin telah mengadu terlebih dahulu pada ayahnya. 'Laki-laki licik!' umpatnya dalam hati.

"Sudah, tidak perlu bertengkar lagi. Suamimu sudah mempunyai itikad baik untuk menjemputmu dan minta maaf. Kamu tidak perlu membuat suasana menjadi rumit," imbuh Danu seakan tahu permasalahan sebenarnya yang dihadapi Vida.

"Ayah ... Bukan hanya itu masalahnya, dia itu ...."

"Vida ...." Lagi-lagi Danu menginterupsi perkataan Vida, dan kembali bertutur, "ayah tahu kamu sangat keras kepala dan emosional. Tapi kamu sekarang sudah menikah, belajarlah menjadi bijak. Jadilah istri yang baik."

Vida masih ingin menjelaskan tentang kontrak pernikahannya, namun orang yang biasa menitip jajanan pasar di toko ayahnya datang, hingga Vida tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan. Dia hanya bisa menipiskan bibir dengan geram menatap senyum menyebalkan yang ditunjukan Davin.

'Jangan harap aku mau kembali ke rumahmu, meski kamu memohon.'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Irka
gue setuju sm keputusan vida biar dapin bisa berpikir jerni
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status