"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.
Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.
Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.
Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.
Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya.
"B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku? Br3ngsek!" Vida meluapkan emosi di dasar hati yang sempat tertahan oleh bungkaman Davin.
Davin malah semakin marah dengan pekikan Vida, bahkan dia juga membalas gigitan Vida hingga bibir tipis itu sedikit berdarah. Tangannya kembali bergerilya menjamah tubuh bagian depan Vida dengan kasar, dimana kemeja yang dikenakan Vida sudah terkoyak dan menampakan isi di dalamnya.
Pedih, terhina, dan sangat direndahkan, membuat Vida tak bisa mengontrol isak tangis, tatkala Davin masih sibuk menikmati tubuh bagian atasnya dengan penuh minat tanpa sentuhan cinta, bahkan dia sama sekali tak terusik oleh suara isak tangis Vida.
Deru napas yang tersengal yang disertai isakan, masih terdengar menggema di telinga Iko yang sedang mengemudi dengan tenang, sama sekali tidak melihat ataupun sekedar melirik dari spion dalam mobil, apa yang dilakukan bosnya kepada sang istri.
Dia tidak mau ikut campur dengan urusan rumahtangga bosnya. Bahkan dia terlihat tidak peduli meski suara dari jok belakang cukup membuat pori-pori meremang. Perhatiannya terus fokus pada jalan raya yang cukup padat pada siang hari yang terik, namun AC di dalam mobil cukup menyamankan suhu udara hingga dia tidak sampai kepanasan, meski kegiatan di belakang terdengar begitu panas.
"Itu adalah hukuman untukmu, jika kamu tidak tahu diri," pekik Davin setelah puas membuat Vida merasa terhina.
Tangannya bergerak kasar melepas kuncian di tangan Vida, seakan memberi kesempatan pada tangan ramping itu berayun cepat menyapa wajahnya yang rupawan.
Plak!
"Kamu yang tidak tahu diri! Bagaimana kamu bisa memperlakukan aku seperti ini di depan sekretarismu?" Vida benar-benar tidak bisa menahan suara tinggi yang dilingkupi emosi setelah menampar Davin.
Davin tidak bergeming, seakan tidak merasakan sakit sedikitpun akibat tamparan Vida, dia masih melempar sorot mata tajam sembari berucap dingin.
"Memang kenapa? Kamu adalah istriku, aku bebas menjamahmu jika aku ingin, dan itu legal. Tidak seperti yang kamu lakukan."
Sampai detik ini, Vida masih belum mengerti kesalahan apa yang membuat Davin begitu marah, hingga memberinya hukuman memalukan di dalam mobil, dimana ada sekretarisnya yang sedang mengemudi di depan.
"Memang apa yang telah aku lakukan?" pekik Vida karena tidak merasa melakukan kesalahan.
Kilat mata tajam Davin kembali menghujam, kemudian berucap dingin penuh penekanan.
"Jangan berlagak bodoh Vida, kamu pikir aku tidak tahu setiap hari kamu berboncengan dengan laki-laki itu. Bahkan tadi kalian sempat bersuap-suapan durian dipinggir jalan tanpa malu sedikitpun. Sadarlah bahwa kamu adalah istriku." Tanpa sadar Davin mengklaim Vida dengan tegas.
Vida terkesiap mendengar tuduhan Davin. Dia tidak menyangka jika Davin akan mengawasi setiap gerak-geriknya, padahal jelas-jelas dia berniat menyingkirkannya, bukankah itu sangat berlebihan?
Tapi Vida masih merasa tidak bersalah, dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Erick, sejak dulu mereka bersahabat, dan apa yang dia lakukan masih dalam batas wajar-wajar saja, tanpa menyalahi apapun.
"Itu bukan sepenuhnya salahku, siapa yang melarang ku pergi ke kampus tanpa menggunakan motor? Sekarang aku jadi sulit keluar dari kampus jika aku memerlukan sesuatu." Vida mencoba membela diri, meski suaranya tersengal karena emosinya yang masih memuncak, hingga begitu sulit untuk mengendalikan nada.
"Itu bukan alasan, Vida. Apa kamu tidak mempunyai teman perempuan?" Davin menghardik tanpa meninggalkan tatapan tajam yang menusuk.
Jelas Vida tidak terima dengan pertanyaan Davin yang begitu mengintimidasi. "Kak, apa kamu harus seribet ini mengurusku? Bukankah kita akan bercerai?"
"Karena itu kendalikan sikapmu selama menjadi istriku! Jangan sampai kamu mempermalukan keluarga Wijaya dengan kelakuanmu!"
Rasanya percuma berdebat dengan Davin yang sepertinya tidak mau mendengar penjelasan darinya. Vida menghapus sisa air mata, kemudian merapatkan kemeja krem yang diporak-porandakan suaminya. Dia segera membuang padangan ke jalan raya melalui jendela kaca mobil.
Hening.
Tak ada suara apapun selain deru mesin mobil dan isak tangis Vida. Langit cerah yang tadinya bersinar indah, mendadak berubah menjadi kelabu, seolah menggambarkan hati Vida yang kelam diselimuti mendung hitam. Terdiam, merasakan bibir yang bengkak dan kebas akibat pagutan Davin yang tidak tanggung-tanggung.
Hujan pun akhirnya hadir mendinginkan hati yang tengah panas. Setelah membisu cukup lama, Davin mulai memiringkan wajah, menatap Vida yang masih sedikit terisak dan tidak mau menatapnya.
Perlahan tangannya bergerak meraih tubuh Vida agar segera menghadapnya. Meski mendapatkan penolakan kasar dari Vida, tapi tentu saja dia lebih memaksa, hingga perempuan cantik yang wajahnya memerah itu terpaksa menurut untuk mendongakkan wajah.
Dengan lembut Davin meraih helaian rambut lurus Vida dan menyelipkan pada daun telinga, sembari berucap pelan tanpa menggunakan nada menekan.
"Kita akan makan siang dengan klien. Aku tidak akan memaksamu untuk tersenyum. Tapi jika itu bisa kamu lakukan, aku akan sangat senang, jangan menangis lagi."
Hati Vida belum bisa menerima kelembutan Davin, dia masih terlalu kesal. Dan mungkin akan selalu kesal jika masih bersama Davin. Jadi hanya diam tanpa memberi tanggapan, bahkan manik hitam indahnya selalu menjauh dari wajah tampan Davin, dia terus membuang pandangan ke arah lain.
Davin masih melihat emosi yang terpendam di wajah Vida, tapi dia tidak peduli, fokusnya malah tertuju pada luka di bibir Vida akibat gigitannya tadi. Ibu jarinya menyentuh lembut bibir dengan rona merah muda alami, yang kini ternoda oleh bercak merah yang menyedihkan. Dadanya tergelitik dan berdebar, seakan luka itu telah menyentuh hati. Bahkan dia tidak bisa menahan diri untuk mengecup sekilas bibir tipis Vida, meski pada akhirnya Davin malah menyesal.
'Shit!' Sembari meluruskan duduknya Davin mengumpat dalam hati.
Dia pikir Vida telah merusak otaknya hingga dia tak mampu menahan diri dan sangat menginginkannya. Dia segera membuang napas bersamaan dengan perasaan aneh yang muncul secara tiba-tiba.
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida