Setelah kencan dengan Sinta, sebelum Maghrib tiba aku sudah
tiba di rumah. Isteriku tersenyum semringah menyambut pulang, nikmat mana lagi yang patut aku dustakan. Isteriku mencium tanganku seperti biasanya dan aku pun membalasnya dengan memberikan kecupan di keningnya. Kadang aku merasa sangat berdosa pada isteriku, betapa aku selalu menghianati ketulusan hatinya. Aku baru menyadari kalau aku dianugerahkan Tuhan seorang isteri yang begitu sabar, dan memiliki kelapangan hati yang luar biasa. Yang sering aku tolak dari perlakuan isteriku sejak kami menikah, aku tidak pernah ingin dia melepas sepatuku. Aku tidak ingin memperlakukan dirinya seakan-akan ada di bawah kakiku. Fitrah seorang isteri bagiku tetaplah sebagai tulang rusukku, bukanlah menjadi tulang punggung atau pun telapak kakiku. Sembari mengiringiku ke dalam rumah, isteriku kembali menanyakan perihal Noni, “Mas sudah komunikasi sama Noni? Gimana info soal Mamanya Noni?&rdquoSaat sedang sarapan pagi, aku menerima telepon dari Noni. Noni mengabarkan kalau dia sudah bikin janji dengan Ningsih untuk bertemu, “Kamu coba aja bertemu dulu sama tante Ningsih, tanya informasi tentang Mama kamu.” Aku sarankan seperti itu pada Noni. Namun, Noni inginnya aku juga ikut bertemu dengan Ningsih.“Papa baru ada jadwal dinas ke Bandung besok lusa Noni, kalau gitu kamu atur ketemunya besok lusa, gimana?” Noni janji akan usahakan bisa bertemu Ningsih besok lusa. Aku sampaikan salam dari isteri dan anak-anakku pada Noni dan Noni tidak menyangka kalau aku sudah cerita perihal itu pada keluargaku.“Noni titip salam juga untuk Mama dan adik-adik di Jakarta ya Pa..” balas Noni. Aku menyampaikan salam dari Noni pada isteri dan anak-anakku, mereka sangat senang adanya komunikasi seperti itu. Situasi ini semakin menguatkanku untuk memperbaiki keadaan. Aku ingin peristiwa ini sebagai awal hijrahku ke jalan yang benar.
Pak Anggoro sudah pulang dari Singapura, dengan demikian aku bisa tugas ke Bandung. Di rumah pun tidak ada lagi persoalan kalau aku ke Bandung, karena semua sudah tidak ada lagi yang aku rahasiakan pada keluargaku.Ini sebuah perjalanan yang penting untuk menelusuri keberadaan Widarti, mantanku yang juga merupakan Mamanya Noni. Kendatipun ini bukanlah perkara yang mudah. Bertemu dengan Ningsih tidak berarti dengan mudah aku bisa melacak di mana keberadaan Widarti.Tapi, setidaknya ini menjadi titik awal menjadi titik terang agar mudah menelusuri sebuah perjalanan panjang. Dengan menggunakan travel langgananku, aku menuju ke Bandung untuk memenuhi janjiku dengan Noni. Paling tidak kedatanganku akan membuat hati Noni tenang, dan dia tahu kalau aku memenuhi janjiku.Sampai di Bandung sekitar pukul 11 siang, aku langsung menuju ke kantor. Ada perasaan gembira di hatiku saat menjelang bertemu dengan Ningsih, aku sangat berharap banyak dari Ningsih lah nan
Ningsih sudah menunggu kami berdua di ruangan tersebut, “Apa kabar mas Danu..? lama sekali ya kita gak bertemu, hai cantik..kamu sudah dewasa ya sekarang.” Ningsih menyapa dan menyambut kami dengan hangat. “Alhamdulillah baik Ningsih..ini pertemuan yang di luar dugaan.” Kami beramah tamah terlebih dahulu.“Yuk! Silahkan duduk mas Danu.. Noni, maaf ya kalau tempatnya kurang berkenan di hati.” Ningsih mempersalahkan kami duduk, dia terus berusaha untuk membuat aku dan Noni nyaman. Ningsih terus menatap Noni, “Kamu sudah dewasa sayang.. kalau Mama kamu melihat ini, dia pasti terharu.” Ningsih tak kuasa menahan keharuannya.Ningsih mempersilahkan kami memesan makanan sesuai dengan selera masing-masing. Aku melihat penampilan Ningsih seperti bukanlah penampilan orang yang biasa-biasa saja. Kalau melihat rumahnya dan membandingkan dengan penampilannya sangat jauh berbeda, karena rumahnya sangat sederhana.Ningsih jelaskan padaku kalau alamat yang aku temui kemar
Selepas pertemuan dengan Ningsih, kami tidak lagi balik ke kantor. Supir mengantar kami pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju ke rumah Noni menumpahkan kesedihannya dipangkuanku. Dia kembali teringat tentang penderitaan Mamanya seperti yang diceritakan Ningsih.Dan dari cerita itu pulalah yang membuat dia mengingat kembali penderitaannya semasa kecil. Sebuah tragedi yang menghancurkan masa depannya dan membuat dia kehilangan kehormatan sebelum waktunya. Bagi Noni itu adalah pengalaman keji yang sangat menyakitkannya.“Kenapa ya Pa.. kok tante Ningsih harus cerita soal itu?” tanya Noni. Aku belai rambut Noni yang tiduran dipanggkuanku, “Tante Ningsih gak sengaja sayang.. kan dia sudah minta maaf sama kamu.” Jawabku.Begitu sampai di rumah Noni segera turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Hatinya masih sedih dan dia ingin menumpahkan kesedihan pada neneknya. Sebelum turun aku berikan uang untuk supir yang sudah mengant
Setelah mandi dan bersih-bersih, aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri Noni di tempat tidur. Noni sudah berbaring dan menyelimuti tubuhnya. Aku mengenakan pakaian dan kain sarung untuk menutupi tubuhku sembari berbaring disisi Noni.Karena ukuran tempat tidur Noni tidak terlalu lebar, mau tak mau aku pun rela bersempit-sempit disisi Noni. Toh aku tidak semalaman menemani Noni, setelah Noni tertidur aku akan keluar dari kamarnya. Seperti itulah biasanya, tapi kali ini Noni ingin aku menemaninya sampai pagi.“Papa keberatan temani Noni?” Bisik Noni ditelingaku. “Bukan keberatan Non.. rasanya kurang pantas kalau Papa harus temani kamu sampai pagi.” Aku jawab seperti itu agar dia mengerti. Tapi, rupanya Noni salah faham, dia membalikkan badannya dan memunggungiku.Aku peluk Noni dari belakang, aku bisikkan di telinganya, “Sayang.. kamu jangan salah faham, apa yang Papa lakukan ini demi kebaikan kita berdua.” Bisi
Saat sarapan pagi aku katakan pada Noni dan Nenek, bahwa aku harus kembali bertemu Ningsih. Dari raut wajahnya Noni terlihat masih menyimpan kesal terhadapku. Pagi itu dia agak hemat bersuara, biasanya dia malah banyak bertanya. Bahkan dia tidak merespon sama sekali apa yang aku katakan saat itu.Nenek bertanya padaku, “Malam ini kamu masih nginap di sini Danu? Atau hari ini pulang ke Jakarta?” tanya Nenek. Noni memandang ke arah nenek tanpa menoleh kepadaku. “In Shaa Allah masih nek, karena kemungkinan sampai sore masih sibuk di Bandung.” Jawabku sembari menatap nenek dan Noni.Akhirnya Noni pun bicara, “Papa ke kantor dulu atau langsung ketemu tante Ningsih?” tanya Noni. “Papa harus temani anak Papa yang cantik dulu dong ke kantor.” Aku katakan itu sembari menebar senyum pada Noni. Noni membalas senyumku, dia begitu senang aku puji.Selesai sarapan pagi setelah pamit pada nenek, aku dan Noni bergegas
“Jadi gini mas Danu.. setahu saya Noni bukanlah anak biologis mas Danu, karena saat Widarti pulang kampung dalam keadaan hamil, sampai di kampung dia keguguran. Itu cerita Widarti pada saya waktu itu.” Jelas Ningsih. Aku tidak yakin dengan apa yang dikatakan Ningsih, karena usia Noni saat ini sama dengan waktu kehamilan Widarti.“Tapi, Usia Noni itu sekarang 20 tahun Ningsih? Itu sama dengan waktu Widarti sedang hamil?” Aku jelaskan pada Ningsih.Ningsih ceritakan saat Widarti kembali ke Bandung dalam keadaan sudah menikah dan membawa Noni yang masih bayi. Tapi, suami Widarti tersebut bukanlah bapak biologis Noni. Sebelum menikah Widarti dalam keadaan hamil, tapi bukan kehamilan yang disebabkan aku.Aku merasa apa yang diceritakan Ningsih sangat rumit dan aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. “Saya rasa memang harus Widarti yang menceritakannya Ningsih, kita perlu dengar seperti apa pengakuan Widarti.” Aku kat
Sampai di Jakarta aku langsung ke kantor, karena aku harus hubungi kontak organisasi TKI di Hong Kong. Dari satu organisasi TKI yang dianggap valid yang aku hubungi, ada beberapa nomor kontak atas nama Widarti. Untuk itu aku harus menghubunginya satu persatu dengan berbagai kendala yang aku hadapi.Ada satu nomor kontak atas nama Widarti yang menurutku adalah benar nomor kontak Widarti Mamanya Noni. Tapi, begitu aku sebutkan namaku Danu sambungan teleponnya langsung di putus. Dari situlah aku semakin yakin kalau nomor tersebut adalah nomor kontak Widarti.Berkali-kali aku ulangi menghubungi nomor Widarti selalu reject, seakan-akan dia memang tidak ingin berkomunikasi denganku. Satu-satunya jalan yang sangat mungkin hanyalah meminta Noni yang menghubungi nomor tersebut. Aku telepon Noni agar dia bisa hubungi langsung Mamanya.“Hallo Non.. Papa sudah dapat kontak Mama, tapi Mama menolak berkomunikasi dengan Papa.” Aku sampaikan itu pada Non