“Anda bisa pergi! Untuk apa terus di sini?”
Shanaya duduk di atas ranjang pesakitan. Dia menatap dingin Oriaga lantas membuang muka saat pria yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menoleh.
“Aku memang akan pergi, tapi pertimbangkan tawaranku tadi!”
“Untuk orang miskin seperti saya, harta yang paling berharga hanya harga diri,” ucap Shanaya. “Jadi tanpa mempertimbangkan, Anda jelas sudah tahu jawaban saya.”
Oriaga hanya diam memandang wajah Shanaya yang pucat. Berpikir gadis itu ternyata sedikit keras kepala.
“Aku meminta sekretarisku pergi ke rumahmu untuk menyampaikan bahwa kamu sedang tugas ke luar kota, jadi sebaiknya kamu tetap di sini. Kalau kamu pulang sekarang jelas malah akan membuat keluargamu curiga.”
Shanaya tak membalas ucapan Oriaga, memilih berbaring lalu memejamkan mata. Dia tak peduli lagi pria itu benar-benar pergi atau masih berada di sana.
Shanaya berpikir sejenak kemudian memutuskan, memang lebih baik dia berada di rumah sakit dulu untuk memulihkan kondisi, karena jika sampai terjadi hal buruk kepadanya lalu siapa yang akan menjaga dan mencari uang untuk membiayai pengobatan sang ayah.
Ariani dan Ricky memiliki pemikiran kejam, mereka memintanya membiarkan saja Nugroho mati kalau tidak mau membiayai. Sungguh, Shanaya seperti ini karena merasa hanya ayahnya lah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Meski terkadang ingin menyerah, tapi Shanaya meyakini tidak merugi anak yang berbakti kepada orangtua.
Di sisi lain, Oriaga masih tak habis pikir kenapa dirinya sangat peduli ke Shanaya. Selain karena reaksi aneh tubuhnya sebagai laki-laki, mungkin juga karena mantan istrinya yang belakangan berusaha merayunya lagi.
Olivia —sang mantan istri berpikir Oriaga masih mencintainya karena sampai sekarang belum menikah lagi. Oriaga sendiri berniat menunjukkan ke Olivia bahwa dia bisa menikah dengan wanita yang jauh lebih baik.
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya hari itu Shanaya diperbolehkan pulang. Sejak Shanaya menolak tawarannya, Oriaga tidak pernah lagi datang menjenguk. Meski begitu, Oriaga tetap mengecek kondisi Shanaya setiap harinya lewat Aston.
Seperti saat ini, Aston terlihat sedang bersama Shanaya di depan loket kasir guna menyelesaikan tagihan biaya perawatan gadis itu.
“Tidak perlu! Aku akan membayar biaya rumah sakitku sendiri,” ucap Shanaya saat Aston merogoh saku yang ada di bagian dalam jasnya.
Shanaya mendekat ke meja kasir dengan jemawa. Namun, saat menatap deretan angka yang tertera pada kuitansi, tenggorokannya seketika kering. Shanaya menelan ludah susah payah, matanya mengedip berkali-kali seolah tak percaya dengan jumlah tagihan yang harus dilunasi, karena ternyata kamar yang dia tempati saja memakan biaya hampir sepuluh juta.
Aston mengulum senyum melihat Shanaya terkejut, dia maju mensejajari gadis itu lalu memberikan sebuah kartu kredit ke petugas. Aston menoleh Shanaya dan berkata, ” Semua tagihan rumah sakitmu ditanggung pak Oriaga, jadi tidak perlu cemas.”
Shanaya pasrah, dia bahkan menurut saat Aston mempersilahkannya masuk ke mobil untuk mengantarnya pulang.
Sepanjang perjalanan, Shanaya terus memandang keluar jendela. Meski sadar Aston sesekali meliriknya dari kaca spion tengah.
“Hentikan saja mobilnya di depan gang, aku akan turun di sana dan berjalan ke rumah!”
“Tapi, Pak Oriaga memintaku memastikan kamu masuk,” jawab Aston.
“Untuk apa? Kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Tolong sampaikan padanya aku akan mencicil biaya rumah sakit yang sudah dia keluarkan untukku hari ini,” ujar Shanaya.
Aston tak membalas dan memilih menuruti apa yang Shanaya minta. Sebelum benar-benar pergi dari sana, pria itu mengirimkan pesan ke Oriaga, memberi kabar bahwa dirinya sudah mengantar Shanaya pulang ke rumah.
Namun, baru saja Aston hendak menginjak pedal gas, Shanaya terlihat berlari kembali ke arah mobilnya. Gadis itu mengetuk kaca jendela dengan wajah ketakutan.
“Ada apa?”
“Tolong, ayahku! Bisakah kamu membantuku membawanya ke rumah sakit?”
Aston terkejut dan bergegas melakukan apa yang Shanaya minta, dibantu tetangga gadis itu mereka membawa Nugroho ke rumah sakit terdekat. Aston melihat jelas bagaimana Shanaya takut melihat kondisi sang ayah yang tak berdaya.
Hingga beberapa menit berselang, meskipun sudah berada di rumah sakit dan ditangani dokter, Shanaya tetap menangis dan gemetaran. Gadis itu baru diam dan mengusap pipinya yang basah saat melihat Ariani datang.
“Ibu ke mana? Kenapa meninggalkan ayah sendirian di rumah?”
Shanaya meluapkan perasaan cemas dan kecewanya ke Ariani, tapi karena tak ingin disalahkan, Ariani malah balas memarahi dan berkata kalau dirinya hanya pergi sebentar untuk berbelanja.
“Nggak usah berlebihan kamu. Apa kamu ingin melimpahkan kesalahan padaku? Aku ke pasar, memang ayahmu nggak butuh makan?” Ariani menunjuk-nunjuk dada Shanaya, bahkan mendorong kasar hingga gadis itu melangkah mundur.
“Kamu sendiri juga enak-enakan pergi ke luar kota. Aku yakin kamu bersenang-senang, jalan-jalan bersama gadunmu, iya ‘kan?” Tuduh Ariani. “Capek kamu ngerawat ayahmu, ha? Apa karena kakak iparmu mau menjaga ayahmu lalu kamu jadi seenaknya sendiri?
Sekarang Rahma diminta Ricky pulang ke rumah orangtuanya dari pada lelah mengurus ayahmu, jadinya aku yang repot! Kamu itu nggak punya otak!”
Suara Ariani yang lantang membuat perhatian orang-orang tertuju padanya juga Shanaya. Aston yang sejak tadi menyaksikan perlakuan Ariani yang kasar sampai berpikir Shanaya mungkin bukan anak kandung wanita itu.
Tak perlu menunggu lama, Aston memutuskan menghubungi Oriaga, memberitahu atasannya apa yang terjadi pada Shanaya saat ini.
“Apa yang harus saya lakukan, Pak?”
“Awasi saja mereka! Aku akan segera ke sana,” jawab Oriaga.
“Apa Pak? Anda ingin datang ke sini? Tapi Pak …. “ Aston bahkan belum menyelesaikan kalimat, tapi Oriaga sudah menutup panggilan itu sepihak.
Shanaya sendiri masih diam menerima makian dari Ariani. Wanita itu baru menutup mulutnya lima belas menit kemudian. Tepatnya saat dokter keluar untuk menjelaskan kondisi Nugroho.
“Kondisi pasien sangat buruk, kami harus melakukan tindakan secepat mungkin, tapi sebelumnya diperlukan pemeriksaan menyeluruh, karena kami menduga pasien mengalami gagal ginjal.”
Shanaya seketika lemas, kondisi kesehatan yang belum seratus persen pulih membuatnya berakhir terduduk lemah di lantai. Sementara itu, Ariani sibuk mencecar dokter dengan pertanyaan soal kisaran biaya —yang harus dikeluarkan jika sampai Nugroho harus lama berada di rumah sakit.
“Apa pasien memiliki asuransi kesehatan? Biaya yang Anda tanggung, akan jauh lebih murah jika menggunakan asuransi.”
Ariani terdiam, tentu saja dia bingung karena Nugroho sama sekali tidak memiliki asuransi seperti yang dokter tanyakan.
“Apa kemungkinan peluang hidupnya kecil? Kalau begitu biarkan saja, Dok! Kami keluarganya pasrah dan rela kalau dia memang harus mati,” ujar Ariani.
Terang saja Shanaya terperanjat, dia bangun dan bertanya apa maksud ucapan ibu tirinya barusan.
“Kenapa Ibu bicara seperti itu? Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk membiayai pengobatan Ayah. Ibu tidak boleh seenaknya menyepelekan nyawa ayah.”
“Kurang ajar ya kamu berani sama orangtua! Kamu pikir cuma butuh duit buat pengobatan ayahmu? Tenaga, waktu, apa nggak kamu hitung biaya? Mikir Shana, mikir!” Ariani mendorong kening Shanaya menggunakan jari telunjuk, dia sampai membuat dokter yang masih berada di dekatnya merasa tak enak hati.
Dokter itu hendak menghentikan perlakuan kasar Ariani ke Shanaya. Namun, tak diduga Oriaga lebih dulu datang mendekat dan menarik lengan Shanaya mundur lalu berdiri tepat di depan gadis itu.
“Aku akan menanggung seluruh biaya pengobatan Pak Nugroho sampai beliau sembuh. Jadi, jangan perlakukan Shanaya seperti ini!”
Ariani melongo tak menduga dari mana datangnya pria yang tiba-tiba ingin mengambil tanggung jawab atas biaya rumah sakit suaminya. Dia tersenyum mencibir, tapi tak lama menyadari penampilan Oriaga yang begitu elegan.Ariani memandang sepatu dan jam tangan mewah yang dikenakan Oriaga lantas membaui parfum pria itu yang wanginya berbeda. Dia menatap Shanaya kembali kemudian bertanya,"Apa dia atasanmu yang mengajakmu ke luar kota?"Shanaya menelan ludah susah payah. Ada dokter dan beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Shanaya takut Ariani mempermalukannya lagi, meskipun dia sadar sudah tak memiliki harga diri setelah apa yang wanita itu lakukan tadi.Oriaga tak memedulikan tingkah Ariani. Dia menoleh dokter memintanya melakukan yang terbaik. Oriaga juga memanggil Aston untuk mengurus semua yang dibutuhkan Nugroho."Tempatkan ayah Shana di kamar VVIP, aku ingin beliau mendapat fasilitas dan perawatan terbaik.”Aston mengangguk lantas pergi bersama dokter. Sedangkan Ariani sendir
Pagi itu Oriaga berhasil membuat jantung Shanaya hampir berhenti berdetak. Setelah kemarin Oriaga tiba-tiba mengajaknya makan di restoran mewah, dan malamnya mengunjungi sang ayah untuk meminta izin menikah, sekarang Oriaga sudah mengulurkan buku nikah padanya.“Meskipun kamu sedang sibuk, jika aku menginginkan itu darimu maka kamu harus menjadikan keinginanku prioritas, aku tidak suka diminta menunggu apalagi ditolak, kecuali saat kamu datang bulan.”Kalimat Oriaga itu terdengar seperti perintah dari pada penjelasan.“Masih banyak aturan dariku yang harus kamu patuhi, tapi akan terlalu panjang jika aku mengatakannya di sini. Aku akan menuangkannya di sebuah dokumen.” “Apa Anda datang ke sini hanya untuk memberikan ini?” Tanya Shanaya. “Kamu pikir untuk apa? Aku heran, bagaimana bisa kemarin kamu begitu berani membalas ucapan Olivia, tapi sekarang seperti anak kucing yang baru saja tersiram air,” hina Oriaga. Shanaya diam tak bisa menjawab, matanya terus saja memandangi dua buku ni
Semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka memandang seorang gadis seumuran Shanaya yang tampak mematung dengan raut wajah kebingungan."Bersikaplah yang sopan! Jangan seenaknya memanggil namanya karena dia adalah bibimu," balas Oriaga."Ki ... Kirana?" Lirih Shanaya.Gadis bernama Kirana itu mendekat dengan kening terlipat halus, memandang Masayu yang merupakan ibunya lalu Shanaya. Kirana memaksakan senyuman, lantas duduk setelah pelayan memersilahkan."Aku tahu dia teman kuliahmu, tapi sekarang dia istriku," kata Oriaga.Mulut Kirana menganga, dia menggeleng membuang muka dan berakhir menatap linglung Oriaga. "Istri? Apa Paman bercanda? Apa paman tahu seperti apa dia?" Pertanyaan Kirana membuat semua orang kaget dan secara bersamaan memandang ke arahnya kecuali Oriaga. "Paman, dia itu .... "Oriaga baru mengangkat kepala dan menatap tajam Kirana saat keponakannya itu membuka mulut lagi. Tanpa menunjukkan reaksi yang berlebihan Oriaga lantas melirik Shanaya, ia menyadari ada gura
"Bagaimana bisa Paman menikah lagi tanpa memberitahu kita?" Kirana tampak kesal, setelah Oriaga juga Shanaya pergi gadis itu mulai bicara lantang ke ibu dan tantenya."Apa Mama tidak ingin melakukan apa-apa? Apa tante Arumi juga akan diam melihat Paman tiba-tiba membawa orang asing ke sini?" Amuk Kirana. Gadis itu tak peduli banyak telinga pelayan yang mendengar ucapannya."Jaga mulutmu Kirana! Kamu seharusnya sudah paham betul sifat Pamanmu." Masayu memperingatkan sang putri, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba Oriaga menikah tanpa memberitahu mereka. Arumi sendiri terlihat lebih tenang. Wanita yang berprofesi sebagai perancang perhiasan itu memilih menyantap steak yang dihidangkan dengan khidmat. Meskipun di dalam hatinya Arumi juga bertanya-tanya, tapi dia tak ingin bersikap reaksioner seperti Kirana."Lagipula kenapa kamu terlambat pulang? Untung saja pamanmu tidak marah," ucap Masayu seraya melempar tatapan kesal ke anaknya."Kenapa? Bahkan Andra juga tidak datang," balas Kira
“Nona, saya baru akan menjelaskan aturan dan beberapa hal yang Tuan inginkan untuk Anda lakukan besok, saya pikir Anda bisa bersabar tapi malah berkeliaran malam-malam.” Pak Wira memberanikan diri mengungkapkan perasaannya saat ini. Meski terdengar sedikit mengeluh, tapi dia membungkuk di samping Shanaya. “Maaf! Apa mungkin aku sudah membuat Pak Wira berada dalam masalah?” Shanaya memberikan respon yang membuat pak Wira merasa gadis itu berbeda dari para wanita penghuni rumah utama lainnya. “Aku lapar. Tuan Oriaga memintaku datang untuk makan malam, tapi setelah sampai di sini aku bahkan hanya duduk dan tak lama dia memintaku mengikutinya pergi.” Shanaya bicara dengan nada lemah. Dia memegangi perut hingga pak Wira meminta pelayan memberitahu koki agar mempercepat proses menyiapkan hidangan. Entah dari mana datangnya keberanian mengeluhnya ini, yang pasti Shanaya merasa senang. “Ngomong-ngomong, kenapa Anda memanggil suami Anda sendiri dengan sebutan Tuan?” Shanaya menoleh pak
"Apa sudah kenyang?""Anda belum tidur?" Shanaya menutup pintu dengan sangat pelan. Dia mendekati Oriaga yang duduk di tepi ranjang. Pikirannya mulai menerka-nerka, akankah Oriaga meminta pelayanan seks lagi darinya."Tuan, besok saya berniat pulang untuk mengambil baju dan melihat keadaan ayah di rumah sakit." Shanaya memberanikan diri meminta izin, meskipun tangannya yang berada di depan badan sedikit gemetaran."Apa kamu tidak melihat koper yang ada di dekat lemari kosong di dalam kamar ganti? Isinya baju untukmu."Shanaya terkesiap, merasa Oriaga seolah menghalanginya bertemu dengan Nugroho. "Tapi .... ""Lihat dan baca dulu apa yang tertulis di amplop itu, jangan berani-beraninya kamu tidur sebelum memahami isinya!" Titah Oriaga. Dia memandang dingin Shanaya lalu menunjuk amplop di meja menggunakan dagu. Shanaya jelas tak berani membantah, dia meraih amplop itu lantas menoleh Oriaga. Pria itu ternyata memerhatikan dirinya, tapi tak lama naik ke atas ranjang dan berbaring membe
Setelah sarapan, Shanaya mengantar Oriaga yang hendak berangkat kerja sampai ke halaman depan. Ia hanya bisa diam tanpa berani menanyakan apa yang akan Oriaga lakukan dengan kontrak yang sudah dia beri tanda tangan. "Hari ini kamu tidak boleh pergi ke mana-mana, pak Wira akan memberitahu tugasmu dan kamu juga harus belajar darinya soal kebiasaanku, apa yang aku suka dan tidak suka," ucap Oriaga.Shanaya mengangguk. Bingung harus bertingkah bagaimana di depan orang lain saat Oriaga bicara padanya.Oriaga tak bicara lagi, dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh sang sopir segera berangkat. Shanaya sendiri hanya diam di posisinya sampai sedan mewah yang membawa Oriaga keluar dari halaman. Dia masih mematung, meskipun gerbang rumah setinggi empat meter berwarna cokelat tua itu sudah menutup kembali. Hingga pak Wira perlahan mendekat dan berkata," Nona sebaiknya Anda mandi."Shanaya menoleh pak Wira lalu menunduk memandang penampilannya yang masih sama seperti kemarin. "Ah ... aku terlal
“Apa kalian dengar yang gadis itu katakan tadi? Dia ingin memberikan sumbangan ke panti asuhan sebagai ganti pesta pernikahan.” Masayu tertawa mencibir, pundaknya mengedik, membuang muka menahan rasa kesal yang bercokol di dada. Kirana hanya diam mendengar ucapan sang mama, tatapan matanya yang kosong membuat gadis itu seperti sedang mengamati lantai marmer yang mempermewah ruang keluarga. “Pasti ada alasan kenapa kakak menikahinya, kamu tahu sendiri kemampuan kak Oriaga dalam menilai orang.” Berbeda dari sang kakak, Arumi terlihat santai. Dari pada membahas Shanaya, dia lebih tertarik untuk mengetahui apa yang ada di pikiran Kirana saat ini. Arumi merasa sikap keponakannya itu berubah sejak makan malam kemarin. “Apa mungkin Shanaya itu sainganmu di kampus?” Tebak Arumi. Terang saja kalimatnya itu membuat Masayu mengerutkan alis, begitu juga Kirana yang langsung menoleh kaget. “Apa yang tante bicarakan? Aku? Bersaing dengannya? Apa Tante tidak bisa melihat kalau kami ini tidak se