“Apa yang Anda katakan? Apa saya tidak salah dengar? Saya masih berpikir Anda berbeda dari pria tadi, tapi ternyata sama saja!”
Suara Shanaya bergetar, takut setengah mati karena sadar sudah melukai Oriaga dengan membuat bibir pria itu berdarah. Shanaya hendak keluar saat pintu lift terbuka, tapi pria matang itu menghadang dan menutup pintu lift lagi.
“Mari kita bicara dulu!” Pinta Oriaga.
“Apa yang Anda mau, Pak? Bukankah Anda meminta agar saya tidak menampakan diri di depan muka Anda lagi?” Tanya Shanaya yang mulai frustasi.
Gadis itu mendengar ucapan Oriaga ke pria mesum tadi soal hotel itu yang merupakan miliknya. Shanaya tak habis pikir berapa banyak hotel yang dimiliki Oriaga di kota ini, selain King Hotel tempat mereka pertama kali bertemu dua bulan lalu.
“Aku benar-benar serius soal menjadi sugar baby-ku. Bagaimana?”
“Anda pasti sudah gila, Anda sama saja seperti tamu tadi. Anda pasti berpikir saya tidak punya harga diri setelah menerima uang lima puluh juta itu.”
Shanaya mundur ke belakang takut Oriaga menciumnya kembali sambil memegang kening. Namun, tubuhnya tiba-tiba lemas. Shanaya limbung setelah itu pandangannya pun kabur. Dia jatuh pingsan, beruntung Oriaga lebih dulu menahan tubuhnya hingga tak sampai membentur lantai atau dinding.
“Shana, apa yang terjadi?” Oriaga panik. Dia menepuk pipi Shanaya berulang berusaha membangunkan gadis itu, tapi hasilnya tetap nihil.
Oriaga pun akhirnya membopong tubuh Shanaya yang tak berdaya keluar dari lift. Dia membawa gadis itu menuju mobil, sehingga apa yang dilakukannya menjadi perhatian karyawan juga tamu hotel yang kebetulan berada di lobi.
“Siapa yang digendong pak Presdir? Apa itu si cleaning service baru?” Pertanyaan ini menjadi topik pembicaraan para karyawan setelah pemandangan barusan.
Oriaga tampak tak peduli, memacu mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat untuk memastikan Shanaya baik-baik saja. Oriaga bahkan masih tak percaya dengan apa yang dia lakukan saat ini.
Kenapa bisa dirinya peduli pada gadis muda yang seumuran dengan keponakannya, apa mungkin semua ini dia lakukan hanya karena hasratnya bagai tersulut api saat melihat Shanaya lagi?
Oriaga bahkan memarkirkan mobil secara serampangan saat tiba di rumah sakit, dia menggendong lagi Shanaya menuju UGD agar cepat mendapatkan penanganan medis.
“Tolong, dia tiba-tiba pingsan,” ucap Oriaga.
Dokter jaga dan perawat pun bertindak cepat, mereka meminta Oriaga menunggu di luar, berkata akan memeriksa dan menangani Shanaya sebaik-baiknya.
Oriaga sendiri mencoba tenang dengan duduk di kursi selasar dan menyandarkan punggungnya kasar. Apa ini kutukan? Bagaimana bisa pria sepertinya tak bereaksi saat berhadapan dengan wanita bertubuh seksi berbalut lingerie, tapi malah nafsu melihat Shanaya dengan seragam petugas kebersihan hotelnya.
“Aku pasti memang sudah tidak waras,” gumamnya.
Beberapa menit kemudian dokter keluar setelah memeriksa Shanaya. Dokter menyampaikan bahwa Shanaya terindikasi kelelahan dan malnutrisi.
“Malnutrisi?”
Oriaga tercengang, dia pikir setelah mendapat uang darinya hidup Shanaya akan sedikit lebih baik. Meskipun masih bekerja di toko kue, setidaknya Shanaya bisa kuliah dengan tenang tanpa memikirkan biaya pengobatan sang ayah atau ekonomi keluarganya lagi.
Namun, mendengar dokter berkata gadis itu kelelahan, kekurangan gizi, dan bahkan bertemu dengannya mengenakan seragam karyawan hotelnya, Oriaga yakin kalau Shanaya malah semakin bekerja keras.
“Apa kondisinya buruk?”
“Jika pasien tidak memperbaiki asupan gizi, menjaga pola makan dan kesehatan, tentu saja ini akan menyebabkan penyakit berbahaya di kemudian hari,” jawab dokter. “Kami sudah memberikan infus dan suntikan vitamin, Anda sudah bisa melihat pasien,” imbuhnya.
“Apa dia perlu dirawat?”
“Untuk membuat kondisi pasien pulih, saya sarankan pasien memang harus dirawat. Silahkan Anda mengurus prosedur rawat inap di bagian administrasi,” tutur sang dokter sebelum pamit pergi.
Oriaga masih mematung di tempatnya berdiri. Dia baru tersadar saat ponsel di kantong celananya berbunyi. Oriaga tampak tak peduli setelah melihat nama siapa yang tertera pada layar, dia sengaja mematikan nada dering kemudian masuk untuk mengecek keadaan Shanaya.
“Cari tahu kondisi keluarga gadis itu! Jangan sampai ada informasi yang kurang. Aku ingin tahu selama dua bulan ini apa yang terjadi dan apa yang dia lakukan. Lalu, sampaikan pada keluarganya kalau saat ini dia sedang berada di luar kota, mungkin untuk beberapa hari.”
Oriaga duduk di samping brankar Shanaya dan mengingat apa yang baru saja dia perintahkan ke Aston. Oriaga diam menatap wajah Shanaya sambil melipat tangan ke depan dada. Bersikap tenang dan biasa saat kelopak mata gadis itu perlahan terbuka.
“Kenapa Anda lagi?”
Shanaya bertanya dengan nada lirih, tampak kecewa dan memilih kembali menutup mata seolah tak sudi melihat Oriaga.
“Kamu pikir siapa? Apa ada orang lain yang kamu harapkan akan menolongmu?”
Nada bicara Oriaga terdengar ketus, membuat Shanaya enggan membalas dan memilih membuang muka ke arah lain.
“Turuti apa kata dokter kalau kamu ingin cepat sembuh,” ujar Oriaga.
Shanaya mendengarkan tapi masih memilih bungkam. Dia merasa Oriaga sangat aneh karena tiba-tiba berlagak peduli. Atau mungkin pria itu merasa bersalah karena sudah menciumnya secara paksa di lift hotel tadi.
Sementara itu seperti apa yang diperintahkan oleh sang atasan, Aston bergegas datang ke rumah orangtua Shanaya. Ariani yang kebetulan membukakan pintu pun dibuat heran.
Wanita paruh baya itu memindai pria berkacamata dengan setelan jas rapi yang saat ini berdiri di depannya. Meski Aston memulas senyum, tapi Ariani pikir pria itu adalah penagih hutang dari tempatnya meminjam uang.
“Saya sudah melunasi semua tunggakan, kenapa masih saja ditagih?”
“Apa?”
Aston melongo lantas membenarkan letak kacamatanya. Dia bingung menelaah ucapan Ariani.
“Begini …. “
Baru saja hendak menyampaikan tujuannya datang, Aston dibuat kaget dan buru-buru menahan pintu karena Ariani ingin menutupnya kembali. “Tunggu! Tunggu, Bu. Saya bukan penagih hutang, saya datang untuk menyampaikan soal anak ibu,” ucap Aston.
“Anakku? Siapa? Ricky? Apa terjadi sesuatu padanya?”
Ariani seketika panik, yang ada dipikirannya hanya sang putra kesayangan dan bukan Shanaya. Aston bahkan memberikan informasi yang kurang akurat ke Oriaga di awal, karena dia sendiri tidak tahu kalau Ariani ternyata hanyalah ibu tiri Shanaya.
“Bukan!”
“Kalau begitu apa Naila?” Ariani menyebut nama putri kandungnya dari Nugroho.
Aston menggeleng dan berkata,” Bukan, tapi Shanaya. Saya datang untuk menyampaikan bahwa putri ibu saat ini ditugaskan atasan kami ke luar kota, jadi mungkin tidak akan pulang untuk beberapa hari ke depan.”
Ariani tak mengiyakan begitu saja informasi yang diucapkan oleh Aston, dia malah merasa curiga. Meski ibu rumah tangga biasa, tapi jelas dia masih memiliki logika. Ariani berpikir untuk apa orang lain yang harus repot-repot datang menyampaikan kabar itu dan bukan Shanaya sendiri. Hingga tanpa berpikir Ariani pun bertanya, ” Apa Shanaya menjadi simpanan bosmu?”
“Anda bisa pergi! Untuk apa terus di sini?”Shanaya duduk di atas ranjang pesakitan. Dia menatap dingin Oriaga lantas membuang muka saat pria yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menoleh.“Aku memang akan pergi, tapi pertimbangkan tawaranku tadi!”“Untuk orang miskin seperti saya, harta yang paling berharga hanya harga diri,” ucap Shanaya. “Jadi tanpa mempertimbangkan, Anda jelas sudah tahu jawaban saya.”Oriaga hanya diam memandang wajah Shanaya yang pucat. Berpikir gadis itu ternyata sedikit keras kepala.“Aku meminta sekretarisku pergi ke rumahmu untuk menyampaikan bahwa kamu sedang tugas ke luar kota, jadi sebaiknya kamu tetap di sini. Kalau kamu pulang sekarang jelas malah akan membuat keluargamu curiga.”Shanaya tak membalas ucapan Oriaga, memilih berbaring lalu memejamkan mata. Dia tak peduli lagi pria itu benar-benar pergi atau masih berada di sana.Shanaya berpikir sejenak kemudian memutuskan, memang lebih baik dia berada di rumah sakit dulu untuk memulihkan kondisi, karena
Ariani melongo tak menduga dari mana datangnya pria yang tiba-tiba ingin mengambil tanggung jawab atas biaya rumah sakit suaminya. Dia tersenyum mencibir, tapi tak lama menyadari penampilan Oriaga yang begitu elegan.Ariani memandang sepatu dan jam tangan mewah yang dikenakan Oriaga lantas membaui parfum pria itu yang wanginya berbeda. Dia menatap Shanaya kembali kemudian bertanya,"Apa dia atasanmu yang mengajakmu ke luar kota?"Shanaya menelan ludah susah payah. Ada dokter dan beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Shanaya takut Ariani mempermalukannya lagi, meskipun dia sadar sudah tak memiliki harga diri setelah apa yang wanita itu lakukan tadi.Oriaga tak memedulikan tingkah Ariani. Dia menoleh dokter memintanya melakukan yang terbaik. Oriaga juga memanggil Aston untuk mengurus semua yang dibutuhkan Nugroho."Tempatkan ayah Shana di kamar VVIP, aku ingin beliau mendapat fasilitas dan perawatan terbaik.”Aston mengangguk lantas pergi bersama dokter. Sedangkan Ariani sendir
Pagi itu Oriaga berhasil membuat jantung Shanaya hampir berhenti berdetak. Setelah kemarin Oriaga tiba-tiba mengajaknya makan di restoran mewah, dan malamnya mengunjungi sang ayah untuk meminta izin menikah, sekarang Oriaga sudah mengulurkan buku nikah padanya.“Meskipun kamu sedang sibuk, jika aku menginginkan itu darimu maka kamu harus menjadikan keinginanku prioritas, aku tidak suka diminta menunggu apalagi ditolak, kecuali saat kamu datang bulan.”Kalimat Oriaga itu terdengar seperti perintah dari pada penjelasan.“Masih banyak aturan dariku yang harus kamu patuhi, tapi akan terlalu panjang jika aku mengatakannya di sini. Aku akan menuangkannya di sebuah dokumen.” “Apa Anda datang ke sini hanya untuk memberikan ini?” Tanya Shanaya. “Kamu pikir untuk apa? Aku heran, bagaimana bisa kemarin kamu begitu berani membalas ucapan Olivia, tapi sekarang seperti anak kucing yang baru saja tersiram air,” hina Oriaga. Shanaya diam tak bisa menjawab, matanya terus saja memandangi dua buku ni
Semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka memandang seorang gadis seumuran Shanaya yang tampak mematung dengan raut wajah kebingungan."Bersikaplah yang sopan! Jangan seenaknya memanggil namanya karena dia adalah bibimu," balas Oriaga."Ki ... Kirana?" Lirih Shanaya.Gadis bernama Kirana itu mendekat dengan kening terlipat halus, memandang Masayu yang merupakan ibunya lalu Shanaya. Kirana memaksakan senyuman, lantas duduk setelah pelayan memersilahkan."Aku tahu dia teman kuliahmu, tapi sekarang dia istriku," kata Oriaga.Mulut Kirana menganga, dia menggeleng membuang muka dan berakhir menatap linglung Oriaga. "Istri? Apa Paman bercanda? Apa paman tahu seperti apa dia?" Pertanyaan Kirana membuat semua orang kaget dan secara bersamaan memandang ke arahnya kecuali Oriaga. "Paman, dia itu .... "Oriaga baru mengangkat kepala dan menatap tajam Kirana saat keponakannya itu membuka mulut lagi. Tanpa menunjukkan reaksi yang berlebihan Oriaga lantas melirik Shanaya, ia menyadari ada gura
"Bagaimana bisa Paman menikah lagi tanpa memberitahu kita?" Kirana tampak kesal, setelah Oriaga juga Shanaya pergi gadis itu mulai bicara lantang ke ibu dan tantenya."Apa Mama tidak ingin melakukan apa-apa? Apa tante Arumi juga akan diam melihat Paman tiba-tiba membawa orang asing ke sini?" Amuk Kirana. Gadis itu tak peduli banyak telinga pelayan yang mendengar ucapannya."Jaga mulutmu Kirana! Kamu seharusnya sudah paham betul sifat Pamanmu." Masayu memperingatkan sang putri, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba Oriaga menikah tanpa memberitahu mereka. Arumi sendiri terlihat lebih tenang. Wanita yang berprofesi sebagai perancang perhiasan itu memilih menyantap steak yang dihidangkan dengan khidmat. Meskipun di dalam hatinya Arumi juga bertanya-tanya, tapi dia tak ingin bersikap reaksioner seperti Kirana."Lagipula kenapa kamu terlambat pulang? Untung saja pamanmu tidak marah," ucap Masayu seraya melempar tatapan kesal ke anaknya."Kenapa? Bahkan Andra juga tidak datang," balas Kira
“Nona, saya baru akan menjelaskan aturan dan beberapa hal yang Tuan inginkan untuk Anda lakukan besok, saya pikir Anda bisa bersabar tapi malah berkeliaran malam-malam.” Pak Wira memberanikan diri mengungkapkan perasaannya saat ini. Meski terdengar sedikit mengeluh, tapi dia membungkuk di samping Shanaya. “Maaf! Apa mungkin aku sudah membuat Pak Wira berada dalam masalah?” Shanaya memberikan respon yang membuat pak Wira merasa gadis itu berbeda dari para wanita penghuni rumah utama lainnya. “Aku lapar. Tuan Oriaga memintaku datang untuk makan malam, tapi setelah sampai di sini aku bahkan hanya duduk dan tak lama dia memintaku mengikutinya pergi.” Shanaya bicara dengan nada lemah. Dia memegangi perut hingga pak Wira meminta pelayan memberitahu koki agar mempercepat proses menyiapkan hidangan. Entah dari mana datangnya keberanian mengeluhnya ini, yang pasti Shanaya merasa senang. “Ngomong-ngomong, kenapa Anda memanggil suami Anda sendiri dengan sebutan Tuan?” Shanaya menoleh pak
"Apa sudah kenyang?""Anda belum tidur?" Shanaya menutup pintu dengan sangat pelan. Dia mendekati Oriaga yang duduk di tepi ranjang. Pikirannya mulai menerka-nerka, akankah Oriaga meminta pelayanan seks lagi darinya."Tuan, besok saya berniat pulang untuk mengambil baju dan melihat keadaan ayah di rumah sakit." Shanaya memberanikan diri meminta izin, meskipun tangannya yang berada di depan badan sedikit gemetaran."Apa kamu tidak melihat koper yang ada di dekat lemari kosong di dalam kamar ganti? Isinya baju untukmu."Shanaya terkesiap, merasa Oriaga seolah menghalanginya bertemu dengan Nugroho. "Tapi .... ""Lihat dan baca dulu apa yang tertulis di amplop itu, jangan berani-beraninya kamu tidur sebelum memahami isinya!" Titah Oriaga. Dia memandang dingin Shanaya lalu menunjuk amplop di meja menggunakan dagu. Shanaya jelas tak berani membantah, dia meraih amplop itu lantas menoleh Oriaga. Pria itu ternyata memerhatikan dirinya, tapi tak lama naik ke atas ranjang dan berbaring membe
Setelah sarapan, Shanaya mengantar Oriaga yang hendak berangkat kerja sampai ke halaman depan. Ia hanya bisa diam tanpa berani menanyakan apa yang akan Oriaga lakukan dengan kontrak yang sudah dia beri tanda tangan. "Hari ini kamu tidak boleh pergi ke mana-mana, pak Wira akan memberitahu tugasmu dan kamu juga harus belajar darinya soal kebiasaanku, apa yang aku suka dan tidak suka," ucap Oriaga.Shanaya mengangguk. Bingung harus bertingkah bagaimana di depan orang lain saat Oriaga bicara padanya.Oriaga tak bicara lagi, dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh sang sopir segera berangkat. Shanaya sendiri hanya diam di posisinya sampai sedan mewah yang membawa Oriaga keluar dari halaman. Dia masih mematung, meskipun gerbang rumah setinggi empat meter berwarna cokelat tua itu sudah menutup kembali. Hingga pak Wira perlahan mendekat dan berkata," Nona sebaiknya Anda mandi."Shanaya menoleh pak Wira lalu menunduk memandang penampilannya yang masih sama seperti kemarin. "Ah ... aku terlal