Ariani melongo tak menduga dari mana datangnya pria yang tiba-tiba ingin mengambil tanggung jawab atas biaya rumah sakit suaminya. Dia tersenyum mencibir, tapi tak lama menyadari penampilan Oriaga yang begitu elegan.
Ariani memandang sepatu dan jam tangan mewah yang dikenakan Oriaga lantas membaui parfum pria itu yang wanginya berbeda. Dia menatap Shanaya kembali kemudian bertanya,
"Apa dia atasanmu yang mengajakmu ke luar kota?"
Shanaya menelan ludah susah payah. Ada dokter dan beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Shanaya takut Ariani mempermalukannya lagi, meskipun dia sadar sudah tak memiliki harga diri setelah apa yang wanita itu lakukan tadi.
Oriaga tak memedulikan tingkah Ariani. Dia menoleh dokter memintanya melakukan yang terbaik. Oriaga juga memanggil Aston untuk mengurus semua yang dibutuhkan Nugroho.
"Tempatkan ayah Shana di kamar VVIP, aku ingin beliau mendapat fasilitas dan perawatan terbaik.”
Aston mengangguk lantas pergi bersama dokter. Sedangkan Ariani sendiri masih tak percaya melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Wajah Oriaga yang cukup dewasa dan berumur, membuatnya yakin Shanaya adalah selingkuhan pria itu.
"Apa selama ini kamu menjadi simpanan?"
Pertanyaan Ariani membuat Shanaya kaget lalu menggeleng. Namun, Oriaga lebih dulu bergeser hingga menutupi tubuh Shanaya.
"Aku duda, jadi tidak ada yang menjadi simpanan atau selingkuhan di sini," tegas Oriaga.
Pundak Ariani mengedik, dia hampir menjawab Oriaga tapi perawat lebih dulu memanggil hingga mau tak mau dia harus pergi meninggalkan Shanaya— yang terus saja menunduk di balik punggung Oriaga.
"Kenapa Anda melakukan semua ini? Saya benar-benar tidak tahu bagaimana membayarnya," lirih Shanaya.
Oriaga perlahan memutar tumit, menatap iba gadis seumuran keponakannya itu.
"Aku hanya butuh tubuhmu, tapi jika kamu takut ayahmu kecewa, bagaimana kalau menjadi istriku?"
"Apa?"
"Aku hanya membutuhkanmu untuk memuaskan gairahku."
"Saya bingung, kenapa harus saya?"
Shanaya akhirnya memberanikan diri memandang wajah Oriaga. Bahkan matanya yang berkaca-kaca semakin membuat Oriaga merasa horni. Pria itu membuang muka dan mengumpat, sepertinya dia sudah mendapat kutukan karena meniduri seorang gadis tak berdosa.
"Karena aku menginginkanmu, jadi jangan banyak bertanya! Aku akan melepasmu jika sudah bosan."
"Sudah bosan?"
Shanaya merasa bingung dan meminta waktu untuk memikirkan hal ini, tapi sayang Oriaga tidak ingin memberinya kesempatan.
"Siapa yang mengizinkanmu berpikir? Jika kamu tidak mau, maka akan aku cabut semua fasilitas yang sudah aku sebutkan untuk ayahmu, seperti kata ibumu tadi, bagaimana kalau kamu membiarkan saja ayahmu mati?"
Shanaya menggeleng cepat menolak ucapan kejam Oriaga. Tanpa sadar meraih pergelangan tangan pria itu dan memohon agar tidak sampai merealisasikan ancamannya.
"Saya akan mengikuti apa yang Anda mau, tapi tolong biarkan ayah saya mendapat perawatan sampai sembuh," ujar Shanaya diiringi lelehan kristal bening yang mengalir dari sudut mata.
"Tenang saja! Selama menjadi istriku, aku akan memastikan keluargamu tidak akan pernah kekurangan."
Oriaga membalas mencekal tangan Shanaya hingga gadis itu pun kaget.
"Karena aku sudah membiarkan ayahmu dirawat dengan fasilitas terbaik, kamu harus membayarku."
"Tapi Pak, saya .... " Shanaya tak bisa berkata-kata. Dia berpikir Oriaga pasti menginginkan tubuhnya. "Apa harus sekarang?"
"Harus!" Oriaga menjawab datar, menggandeng Shanaya sampai ke parkiran dan membuka pintu mobil meminta gadis itu masuk.
Shanaya berpikir Oriaga akan membawanya ke hotel untuk bercinta. Namun, ternyata dugaannya keliru, karena beberapa menit kemudian Oriaga membelokkan kemudi lantas berhenti di parkiran sebuah restoran mahal.
"Kita mau apa?"
"Apa kamu buta? Sudah sangat jelas ini tempat apa." Oriaga membalas pertanyaan Shanaya dengan ketus, setelah itu meminta pelayan mengantarnya ke meja yang terpisah jauh dari tamu lain.
"Pesan saja apa yang ingin kamu makan!"
Oriaga memberi perintah saat mereka sudah duduk, mulai membolak-balik buku menu tanpa memikirkan Shanaya yang kebingungan.
"Apa menu rekomendasi di sini? Aku pesan itu.”
Oriaga diam-diam mengulum senyum mendengar ucapan Shanaya ke pelayan, menurutnya gadis itu cukup cerdas dalam menangani situasi di tempat umum seperti ini.
Sambil menunggu makanan sampai Oriaga meminta Shanaya tidak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit ayahnya. Dia berjanji akan memberikan yang terbaik demi kesembuhan Nugroho. Namun, jelas tidak cuma-cuma karena ada kondisi yang harus Shanaya patuhi, terutama saat dia menginginkan hasratnya terpenuhi, Shanaya harus siap dan tidak boleh menolak sama sekali.
"Aku akan menikahimu besok!"
"Maaf! Apa maksud Anda? Besok? Kenapa mendadak?" Tanya Shanaya. Wajahnya berubah kesal memikirkan bagaimana dirinya harus menikah tanpa persiapan. Tanpa sadar Shanaya berani menatap wajah Oriaga, tapi tak lama menunduk menyadari posisinya.
"Seharusnya sekarang, bukankah ayahmu sudah mulai dirawat tadi?"
"Pak, jika hanya seks yang Anda inginkan? Kenapa harus menikahi saya?"
Pertanyaan Shanaya tak diantisipasi oleh Oriaga. Hingga, saat akan menjawab suara seorang wanita terdengar lebih dulu menyapa. Oriaga dan Shanaya menoleh bersamaan dan melihat seorang wanita mendekat.
"Apa karena ini kamu tidak membalas pesan dan menerima panggilanku?" Olivia memandang Oriaga menunggu jawaban, sebelum mengalihkan tatapan ke Shanaya yang tampak bingung.
"Hubungan kita sudah berakhir, jadi untuk apa kamu masih menggangguku?" Ketus Oriaga.
Shanaya mencoba mencerna situasi yang terjadi, hingga menerka Olivia adalah mantan Oriaga.
"Dari keluarga mana gadis ini? Apa sekarang seleramu sudah berubah dari wanita matang ke bocah?" Olivia mencibir.
"Tunggu? Apa dia baru saja menyebutku bocah?" Shanaya bergumam di dalam hati.
"Nak, kamu harus hati-hati! Aku tidak tahu kamu gold digger atau sugar baby mantan suamiku ini, yang pasti aku yakin dia masih mencintaiku."
Shanaya cukup terperanjat sampai refleks mengalihkan tatapan dari Oriaga ke Olivia.
"Mantan suami?" Lirihnya.
Tak tinggal diam, Oriaga pun menjawab Olivia ketus. "Bahkan pelacur juga punya harga diri, tapi kamu benar-benar jauh lebih menjijikan, sampai kapan kamu akan terus mengganggu hidupku? Menyedihkan sekali! Jika masih tidak bisa move on dariku, itu deritamu. Jadi jangan mencampuri urusanku selagi aku masih memiliki kesabaran."
Olivia bingung mencari cara menjerat Oriaga kembali ke dalam pelukan. Sedangkan Shanaya sendiri malah berpikir mungkin saja Oriaga masih mencintai wanita ini. Bisa jadi itulah alasan Oriaga memintanya menjadi istri.
"Maaf, tapi Anda tidak sopan mendatangi meja orang lain seperti ini." Shanaya membuka mulut.
"Saya tersinggung sekali karena Anda bilang saya masih bocah. Anda jelas tidak punya hak menilai tingkat kedewasaan seseorang hanya dari segi usia, apalagi orang yang baru pertama kali Anda temui. Lebih baik kita berkenalan lebih dulu," ucap Shanaya. "Perkenalkan saya Shana, calon istri oom Oriaga —mantan suami Anda."
_
_
(Note : Oom adalah Paman dalam bahasa Belanda, jadi bukan typo)
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan