“Apa kamu harus berangkat kerja hari ini?” tanya Shanaya sambil menatap manja ke Oriaga.Oriaga sudah berpakaian rapi dan siap berangkat kerja pagi itu. Dia terkejut mendengar pertanyaan Shanaya yang sedang duduk di tepian ranjang lalu mendekat padanya.“Iya,” jawab Oriaga sambil merapikan dasi.Shanaya memeluk lengan Oriaga, bergelayut manja seolah tak mau ditinggal.“Tidak usah berangkat kerja, ya. Hari ini libur saja,” pinta Shanaya sambil memasang wajah mengiba.Oriaga pun mengerutkan alis mendengar permintaan Shanaya, tidak biasanya gadis itu melarangnya bekerja.“Kenapa mendadak memintaku tidak kerja?” tanya Oriaga keheranan.“Baby ingin sama papanya, jadi papanya harus diam di rumah hari ini,” jawab Shanaya sambil mengusap perutnya. Memberi alasan mengatasnamakan calon bayi mereka.Oriaga menatap Shanaya yang bersikap manja. Dia pun hanya diam mendengarkan ucapan istrinya itu.“Ya, libur saja. Tidak usah ke kantor hari ini, hanya sehari saja ini,” rengek Shanaya.Oriaga menghel
Aditya melempar senyuman hangat lalu mendekat. Oriaga tak menyangka akan bertemu mantan bawahannya itu. Aditya datang bersama istri dan anaknya yang berumur sekitar enam bulan. “Ternyata kalian, duduklah!” Oriaga mengajak Aditya dan istri pria itu untuk ikut duduk bersama. “Perkenalkan, ini istriku namanya Thea,” ucap Aditya memperkenalkan sang istri ke Shanaya dan Oriaga. Shanaya pun menyambut hangat, lantas memperkenalkan dirinya ke Thea setelah membersihkan bibir dan tangannya. “Anak kalian lucu sekali, boleh aku menggendongnya?” tanya Shanaya saat melihat anak Aditya. Thea terkejut karena Shanaya ingin menggendong bayinya. Dia menoleh ke Aditya yang menganggukkan kepala sebagai tanda agar mengizinkan. Shanaya pun terlihat senang karena diperbolehkan menggendong bayi mungil itu. Apalagi sama seperti anak Kirana, bayi Aditya dan Thea cukup anteng. “Shanaya inilah yang dulu aku jaga, aku pernah cerita kepadamu, kan.” Aditya menceritakan tentang Shanaya ke Thea. Shan
Hari itu Oriaga tampak mengemudikan mobil ditemani Isaak. Isaak melirik Oriaga yang sedang menyetir, dia kesal karena subuh-subuh begini harus menemani sahabat merangkap menantunya itu pergi. “Kenapa harus mengajakku? Bukankah kamu bisa pergi sendiri?” Isaak mulai menggerutu karena masih mengantuk. Oriaga menoleh Isaak sejenak, lantas membalas, “Ini juga demi cucumu. Memangnya kamu mau kalau cucumu ileran.” Isaak tentunya terkejut mendengar ucapan Oriaga. Bantahan dari sang sahabat jelas tak terelakkan, meskipun tidak wajar di Belanda tapi Isaak tahu hal semacam itu lazim di Indonesia. “Ya, tentu saja tidak mau,” ucap Isaak. “Maka dari itu, kamu harus menemaniku mencari apa yang Shanaya inginkan,” balas Oriaga. Di dalam hatinya Oriaga pun tertawa menang . Isaak hanya bisa mendengkus karena harus ikut repot padahal seharusnya itu tanggung jawab Oriaga sebagai suami. “Meski begitu, seharusnya tidak perlu mengajakku juga. Itu bagian dari tanggung jawabmu, kepedulianmu k
Setelah mentraktir mertuanya makan Oriaga pun pulang membawa durian pesanan Shanaya. Saat baru saja sampai, ternyata istrinya itu sudah menunggu di depan.“Kenapa kamu menunggu di teras?” tanya Oriaga yang terkejut melihat Shanaya menunggu di sana.“Apa kamu dapat duriannya?” Shanaya menyambut kedatangan Oriaga. Ekspresi wajahnya berubah semringah karena melihat suaminya membawa apa yang diinginkan.Shanaya menghampiri Oriaga karena ingin menyambar durian yang dipegang, tapi Oriaga yang melihat tingkah sang istri pun mencoba menjauhkan durian itu dengan menyembunyikan tangannya ke belakang badan.“Kenapa?” tanya Shanaya bingung karena Oriaga malah menjauhkan buah itu darinya.“Kamu sudah sarapan?” tanya Oriaga sambil menatap Shanaya yang terkejut tapi menggemaskan.“Tentu saja su ….” Shanaya ingin berbohong, sayangnya Pak Wira tiba-tiba muncul di sana hingga membuatnya menjeda ucapan.“Nona belum sarapan Tuan,” ucap Pak Wira karena mendengar pertanyaan Oriaga. Dia melirik Shanaya yang
Pagi itu Amora baru saja selesai mengurus Issa dan Xavi. Dia dibuat terkejut dan berjalan terburu-buru menuju pintu karena ada yang menekan bel beberapa kali. “Tolong gendong Xavi dulu,” pinta Amora ke Isaak sambil melangkah ke arah pintu. Beruntung hari itu Isaak tidak pergi jogging dan langsung melaksakan ucapan Amora. Dia mengambil Xavi dan menimang agar anaknya itu tidak rewel. Amora sibuk mengikat rambut, dia sampai tidak sempat melihat dulu siapa yang datang dan langsung membuka pintu, hingga Amora sangat terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. “Mama, Papa.” Amora kehilangan kata-kata, dia tak menyangka kedua orang tuanya berada di Indonesia dan bahkan berdiri di hadapannya sekarang. Amora sangat syok sampai kelepasan mengumpat menggunakan bahasa Belanda. Menyadari itu dia pun buru-buru menutup mulut takut keceplosan untuk ke dua kalinya. Amora sampai menoleh ke Isaak yang sedang menggendong Xavi. “Kenapa reaksimu begitu?” tanya ibunda Amor
Malam itu Kirana duduk dengan tangan gemetar. Dia benar-benar grogi karena akan bertemu dengan orang tua Elkan. Jari jemari tangannya terlihat terus bergetar, bahkan dia sampai meremas berulang kali untuk menutupi kegugupan. Namun, sayang tetap saja tidak berhasil. Kirana menengok ke ponselnya yang ada di atas pangkuan, lantas beralih ke arah pintu private room di salah satu restoran ternama yang dia datangi bersama Elkan. Kemarin Amora mengabari jika mereka akan makan bersama, hingga sekarang harus menyiapkan diri menghadapi kedua orang tua Elkan yang membuatnya cemas. Elkan melihat Kirana yang gelisah. Dia meraih telapak tangan wanita itu, lantas menggenggam erat. “Jangan terlalu gugup,” ucap Elkan untuk menguatkan Kirana. Kirana menatap Elkan, meski pria itu memintanya tenang, tapi tetap saja dia tidak bisa menyembunyikan gemuruh di dada. “Kenapa kamu sangat gelisah seperti ini? Apa setakut itu bertemu orang tuaku? Kamu yang seperti ini, tak seperti Kirana yang aku kenal,” uc
Shanaya berada di mobil bersama Pak Wira. Dia memperhatikan jalanan yang dilewati, lantas memandang ke Pak Wira yang duduk di kursi depan.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Apa ada yang penting?” tanya Shanaya bingung karena Pak Wira hanya mengatakan jika dirinya harus ikut pergi.Gadis itu menekuk bibir, karena Pak Wira masih tidak mau memberitahu tujuan mereka.“Maaf Nona, saya tidak bisa memberitahu. Ini rahasia jadi tidak bisa dikatakan apalagi dijelaskan,” jawab Pak Wira. Pria tua itu menoleh sekilas ke Shanaya lantas kembali memandang jalanan.Shanaya menyandarkan punggung, dengan kening berkerut menatap Pak Wira yang terlihat tenang. Padahal apa susahnya tinggal menjawab pertanyaan yang dia lontarkan, kenapa seperti sulit sekali bagi Pak Wira hingga membuat Shanaya berpikiran macam-macam.“Apa Pak Wira berniat menculik wanita hamil?” tanya Shanaya sambil memperhatikan reaksi wajah kepala pelayan rumah utama itu.“Mana berani, Nona. Bisa-bisa saya digantung Tuan Oriaga kalau be
Shanaya terlihat tersenyum-senyum sendiri saat sedang bersiap-siap pagi ini, tentu saja hal itu terpantau Oriaga yang baru saja keluar dari kamar ganti. Pria itu menghampiri Shanaya yang tampak sangat ceria. “Sepertinya kamu sangat bahagia,” ucap Oriaga. “Tentu saja, ini pertama kalinya kamu mau menemaniku mengikuti kelas hamil, aku senang karena pasanganku hari ini bukan instrukturnya,” balas Shanaya. “Aku heran, kamu lebih bahagia dari pada kemarin saat peresmian hotel,” seloroh Oriaga. “Jelas, kan aku sudah bilang,” balas Shanaya. "Anak yang dibuat sama-sama, seharusnya sejak dalam kandungan juga harus diurus sama-sama, termasuk mengikuti kelas hamil,” ujar Shanaya menggoda suaminya. Oriaga hanya tersenyum mendengar ucapan Shanaya. Dia pun duduk di tepian ranjang, lantas meminta Shanaya duduk di sampingnya. Shanaya pun duduk, hingga Oriaga menyentuh permukaan perutnya yang membuncit. “Maaf kalau papa kurang memperhatikanmu dan sering mengabaikan mamamu,” ucap Oriaga