Pagi itu Starla terbangun dengan rasa linu di sekujur tubuhnya. Ia masih mengumpulkan kesadarannya ketika ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandinya. Matanya menatap ke sekitar kamarnya, tiba-tiba Starla tersentak saat merasakan tubuhnya tertidur hanya berlapis selimut saja alias telanjang.
Ia segera mengangkat tubuhnya, lalu beranjak dari posisi berbaring.“Aww ...” Starla meringis merasakan nyeri di sekitar bagian bawah.Starla menepuk jidatnya beberapa kali lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia masih tidak menyangka kalau semalam ia benar-benar melakukannya dengan Revanno.Seks? Dengan Revanno?Tapi Starla juga tidak mampu membohongi perasaannya semalam, ketika ia juga benar-benar menikmati permainan Revanno. Walaupun awalnya memang sangat menyakitkan tapi sakit itu terus berganti dengan kenikmatan yang belum pernah Starla rasakan.“Kamu benar-benar bodoh, Starla.” Wanita itu lagi-lagi menepRevanno hanya mendengus ketika mendengar ucapan dari Kakeknya. Revanno sudah tidak akan merasa kaget lagi. Sejak dulu William memang selalu seperti itu. Suka sekali menyudutkan Revanno dan juga Ayahnya. Dan hal itu ternyata belum juga berubah, bahkan sampai detik ini.“Apakah seperti ini caramu mendidik seorang anak? Mungkin dia nanti juga akan bernasib sama sepertimu jika kamu saja tidak becus mendidiknya.” William kembali bersuara. Dan kali ini perkataan itu William tujukan untuk Marcus.“Jangan ungkit masa laluku lagi, Yah,” sahut Marcus.Marcus masih ingat betul kejadian bertahun-tahun yang lalu, ketika istrinya pergi meninggalkannya dan memilih untuk hidup bersama pria lain. Hal itulah yang membuat William membenci putranya sendiri—Marcus dan juga menantunya yang di anggapnya tidak tahu diri itu.“Aku kira kamu akan belajar menjadi orang tua yang lebih baik setelah mendapat pengalaman buruk itu. Tapi ternyata aku salah mengira,” ujar
Starla terus berjalan menyusuri rak-rak perlengkapan mandi di salah satu swalayan. Kalau bukan karena shamponya habis, mungkin ia tidak akan mau pergi keluar hari ini. Bayangkan saja, tubuhnya masih terasa remuk akibat permainannya dengan Revanno semalam. Apalagi daerah pangkal pahanya juga masih terasa sakit jika di gunakan untuk berjalan. Belum lagi tanda kissmark yang Revanno berikan hampir di seluruh lehernya, membuat Starla terpaksa harus memakai baju yang bisa menutupi lehernya. Padahal cuaca hari ini sangatlah panas. Aarrrgghh! Revanno sialaaan! Revanno brengsek! Starla melempar kasar botol shampo ke dalam keranjang belanjaannya. Setelah itu ia pergi membayarnya ke kasir. Dalam perjalanannya, lagi-lagi Starla melihat seorang pria yang dulu pernah menjadi korban penipuannya. Kenapa hidupnya harus seperti ini? Starla mulai panik karena sepertinya pria tersebut tengah berjalan ke arahnya. Terlebih setelah mereka saling beradu pandang untuk beberapa saat. “Gawat! Dia lihatku,”
“Kenapa?” “Ya?” Starla mengerjap. Ia langsung mendongak dan menatap Saga yang bertanya pelan padanya. Sial. Gara-gara memikirkan Revanno Starla sampai melupakan kalau saat ini sedang ada Saga di hadapannya. “Ah, nggak kok. Nggak apa-apa.”“Aku pikir, kamu masih kepikiran soal mantanmu tadi,” ujar Saga meledek.Starla langsung memelotot. “Enak saja. Jangan sembarangan,” balasnya tidak terima.Saga terkekeh. “Aku hanya bercanda. Maaf,” ujarnya pelan. “Mulai sekarang jangan sungkan lagi kalau kita bertemu di jalan ya. Kamu bisa menyapaku kapanpun kamu mau, termasuk meminta bantuanku. Anggap saja kita berteman mulai hari ini,” imbuh Saga sambil tersenyum.Starla berdecih. “Mana bisa kita berteman hanya karena sudah bertemu sebanyak dua kali.”“Berarti kamu maunya kita bertemu terus supaya bisa di katakan sebagai teman?” Saga menaikkan sebelah alisnya.Starla langsung menggeleng. “Bukan begitu maksudku.”“Lalu apa?” Saga kembali terkekeh. “Sudahlah, Starla. Kamu jujur saja. Aku justru l
“Terima kasih atas kerja samanya Pak Reihan. Saya akan selalu memberitahukan perkembangan proyeknya nanti,” ujar Revanno sambil menjabat tangan pria paruh baya yang bernama Reihan tersebut.“Saya juga berterima kasih sekaligus senang karena bisa bekerja sama dengan CEO muda dan berbakat seperti Anda,” balas Pak Reihan yang tersenyum.“Ah, Anda ini bisa saja. Sudah banyak yang bilang seperti itu,” kelakar Revanno dan berhasil membuat kedua pria itu tertawa sembari berjalan keluar dari ruang rapat.“Saya bersungguh-sungguh, Pak Revanno. Saya jarang sekali menemui seorang CEO yang masih muda dan tampan seperti Pak Revanno.”“Sudah, Pak. Tidak perlu memuji seperti itu. Saya jadi semakin enak nih.” Lagi-lagi Revanno menanggapinya dengan bercanda. Dan Pak Reihan hanya tertawa.Begitu Pak Reihan pamit dan masuk ke dalam lift, Revanno langsung menghadap Starla dan menatap wanita itu dengan alis terangkat. Revanno merasa sejak tiba di ka
Starla dan Revanno masih sama-sama terdiam di posisinya masing-masing. Starla berdiri di depan pintu dan Revanno berdiri sambil menatap heran ke arah wanita yang kini sedang berdiri di hadapannya. Kalau boleh jujur, rasanya Starla sudah sangat kesal dan ingin sekali memukul dan memaki Revanno pada saat ini juga. Starla rasa, Revanno benar-benar sama sekali tidak sadar dengan kesalahan yang sudah pria itu lakukan.“Nggak usah menatapku seperti itu!” Bentak Starla dengan nada kesal.Revanno hanya mengernyit. “Kenapa memangnya? Nggak ada yang melarangnya juga,” sahut Revanno santai.Starla ingin menjerit dalam hati. Berbicara dengan Revanno rasanya sudah seperti berbicara dengan orang gila yang sering lewat di pinggir jalan.“Aku yang melarang! Apa perlu aku tulis di keningku sekalian supaya kamu bisa sadar?!” Ketus Starla.“Terserah sih. Tapi kalau kamu maunya seperti itu ya silahkan.” Revanno mengangkat bahunya acuh.Starla melongo. “Kamu masih belum sadar juga ya? Kalau aku itu masih
Starla berhasil menghabiskan beberapa potongan slice Pizza yang di belikan oleh Revanno. Bahkan ia tidak peduli dengan tatapan yang sejak tadi Revanno berikan padanya ketika ia menyantap makanannya. Karena sungguh ia benar-benar sangat lapar dan ingin segera menghabiskan makanan tersebut tanpa sisa. Mengingat kalau sudah sejak sore tadi perutnya belum terisi makanan sedikitpun. “Akhirnya.” Starla mendesah lalu menyandarkan punggungnya ke sofa panjang yang ada di depan TV. “Ambilkan minuman dong.” Revanno memelotot. Tidak puas hanya dengan menyuruhnya membelikan makanan. Sekarang Starla masih menyuruhnya untuk mengambilkan minuman. Oh, ia benar-benar merasa di kerjai. Starla tertawa dalam hati ketika Revanno langsung beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas minuman untuknya. Ia yakin pasti Revanno sangat kesal sekarang. Tapi setidaknya Starla sudah cukup merasa lega karena sudah berhasil menyuruh-nyuruh Revanno malam ini. Gelas yang sudah kosong itu Starla berikan lagi
Dengan langkah kesal Starla berjalan dan membuka pintu apartemennya. Ini sudah lewat tengah malam dan bisa-bisanya ada orang yang berani mengganggu acara tidurnya. Dan ... Sungguh mengejutkan, ketika Starla membuka pintunya ternyata Revanno-lah pelakunya. Pria itu sudah berdiri di depan pintu apartemen Starla. Masih menggunakan kemeja kerja yang lengannya sudah tergulung hingga ke siku. Dasi dan jasnya sudah tidak ada. Entah dimana Revanno membuangnya Starla juga tak ingin memperdulikannya. Rambutnya sudah tak serapi pagi tadi, dan bahkan dari jarak mereka Starla bisa mencium bau alkohol yang cukup menyengat. Walaupun pria itu adalah Bos gilanya dengan kadar kebrengsekkan dan kemesuman yang tiada tara. Tapi entah kenapa Starla tetap saja terpaku ketika pandangan mereka bertemu. Seutas senyum muncul dari sudut bibir Revanno ketika Starla menatap ke arahnya. Dan tentu saja hal itu langsung membuat Starla mengalihkan pandangannya. “Kenapa kamu ke sini?” Starla memutuskan untuk bersuar
“Gawat! Gawaaat! Aku bisa terlambat!” Starla berteriak panik Ia segera bangun mencari piyama tidurnya yang tergeletak di lantai. Memakainya lalu secepat kilat berlari mengambil sebuah pil dan segelas air minum. “Astaga, Starla. Kamu kenapa, sih? Kamu itu memang hobi sekali berisik ya.” Revanno yang masih terlelap pun ikut kaget mendengar teriakan dari Starla. Starla menaruh gelas ke atas nakas, lalu menoleh ke arah Revanno yang hendak melanjutkan tidurnya lagi. “Kamu lupa? Bukannya kamu yang menyuruhku untuk minum pil kontrasepsi ini. Dan aku biasa meminum pil ini pukul 6 pagi. Nggak boleh terlambat.” “Iya. Iya terserah.” Revanno kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Starla hanya berdecak lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Selesai mandi ia kembali keluar hanya dengan menggunakan handuk kimononya. Duduk di depan meja rias sambil mengeringkan rambutnya. “Mau kemana kamu?” St