MasukKejutan itu menghantamnya seperti sambaran petir di tengah malam yang sunyi. Bibir Surya yang tadinya hanya menengadah pasif kini melumat bibirnya dengan paksa, menuntut dan buas.
Potongan ayam di mulutnya hancur di antara pagutan mereka, rasanya yang gurih bercampur dengan rasa asing dari lidah yang kini menari-nari ganas di dalam rongga mulutnya.
Tangan Surya yang terikat di kepala ranjang menegang, kain jarik yang membelitnya meregang hingga nyaris putus.
Sebuah dorongan untuk menolak dan mendorong seharusnya muncul. Namun, Wulan sudah terlalu dalam terjerat. Aliran hitam yang tadinya hanya menggelitik kini membanjirinya.
Kegelapan itu merayap dari celah terlarang di antara kedua pahanya, naik dan berpusar di perutnya, lalu menyebar ke seluruh pembuluh darahnya seperti racun yang manis.
Setiap perlawanan yang terpikirkan langsung luruh menjadi gelombang kenikmatan yang lebih dahsyat.
Ia me
Mata Wulan yang tadinya terpejam sayu kini membelalak. Nama kota itu, Jakarta, terdengar asing sekaligus gaib di telinganya, sebuah mantra yang melenyapkan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja menghantam tubuhnya.Kehampaan dingin yang tadi menyiksanya kini tergantikan oleh percikan rasa ingin tahu yang hangat.Gedung-gedung tinggi yang menggapai langit, jalanan yang dipenuhi kereta tanpa kuda, dan lautan manusia yang sibuk bergerak tanpa henti. Semua gambaran yang hanya pernah ia dengar dari cerita para perantau di desanya dulu kini berkelebat di benaknya, nyata dan mengundang.Sudut bibir Broto terangkat, membentuk seringai tipis yang lebih mirip serigala daripada senyuman manusia. Matanya yang tajam mengamati setiap perubahan ekspresi Wulan, dengan kepuasan seorang pemburu yang baru saja menjerat mangsanya.Bayangan nafsu yang tadi membelenggu mata Wulan kini memudar, digantikan cahaya yang berbeda - tajam, haus, dan penuh ambisi. Seperti air yang berubah dari genangan tenang menjad
Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti
Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat
Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika
Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."
Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s







