Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 6. Penyerahan diri

Share

6. Penyerahan diri

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-13 19:07:33

Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan.

"Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu.

"Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya.

"Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu."

"Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian.

"Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka."

"Bagus." Broto menepuk lututnya, senyum puas terukir jelas di wajahnya yang berkerut, seolah baru saja memenangkan permainan licik. "Aku suka semangatmu. Tapi… semua ada syaratnya, Nduk."

Wulan menelan ludah, pahit dan getir. Ia sudah menduganya. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dari seorang dukun yang penuh tipu muslihat.

"Apa syaratnya?"

Broto diam sejenak, matanya yang kecil dan licik menelusuri tubuh Wulan dari atas ke bawah. Pandangannya berhenti sejenak di dadanya yang membusung, lalu turun ke perutnya yang rata di balik kain.

Wulan merasakan kembali sengatan panas itu, kali ini bercampur dengan rasa cemas.

"Untuk mendapatkan kekuatan besar, kau juga harus memberikan sesuatu yang besar."

Broto mencondongkan tubuhnya lagi, suaranya nyaris berbisik di telinga Wulan.

"Kau harus menyerahkan tubuhmu… kepadaku."

Dunia Wulan seakan berhenti berputar untuk kedua kalinya dalam dua puluh empat jam. Kata-kata Broto menggantung di udara, terasa berat seperti besi panas yang siap membakarnya.

"Tidak mungkin," bisiknya gemetar, "Aku ingin membalas dendam, bukan—"

"Aku... tidak mau!" suaranya tercekat, bergetar di antara amarah dan ketakutan.

Dalam dirinya, badai emosi bergolak. Rasa takut yang dingin merayapi tulang punggungnya, membuat bulu kuduknya meremang. "Tidakkah Mbah punya harga diri?" bisiknya parau. "Menggunakan kesedihanku untuk... untuk..."

Amarah membakar wajahnya merah padam. Air matanya mengering seketika. "Bagaimana bisa Mbah melakukan ini? Di saat aku kehilangan ibuku, di saat aku paling rapuh?" Suaranya gemetar antara isakan dan kemarahan.

Namun di balik amarah itu, sesuatu yang lebih gelap dan memalukan mulai bergerak. Sepercik gairah asing merayap dari perut bawahnya, seperti akar-akar hitam yang mencengkeram. Getaran panas yang memalukan itu berputar di ulu hatinya, membuat tubuhnya gemetar tanpa kehendaknya sendiri.

"Ya Gusti," bisiknya lirih pada dirinya sendiri, "Apa yang terjadi padaku?"

Tubuhnya seolah telah mengkhianati jiwanya sendiri, menimbulkan sensasi yang membuat Wulan ingin menangis sekaligus marah pada dirinya sendiri.

"Aku... tidak mengerti," bisiknya lirih, "Kenapa harus aku?"

"Apa... apa maksud Mbah?" suara Wulan gemetar, mencoba menutupi gemetar tubuhnya yang semakin menyadari beratnya pengorbanan yang harus dilakukannya.

Broto menatapnya tajam, seolah ingin menelanjangi setiap lekuk pikiran dan perasaannya. "Kau ingin membalas dendam atau tidak, Wulan?"

Air mata mulai membasahi pipinya. "Aku ingin membalas mereka yang membunuh ibuku. Tapi... bukan dengan cara seperti ini."

"Tidak ada jalan lain," bisik Broto dingin. "Tubuhmu adalah satu-satunya senjata yang bisa kita gunakan. Setiap inci tubuh indahmu ini akan menjadi alat balas dendammu."

Wulan memejamkan mata, membayangkan wajah ibunya yang terakhir kali melihatnya. Tubuhnya yang rapuh kini akan menjadi taruhan terakhir, bagaikan kaca yang siap pecah dengan sekali sentuhan.

Demi arwah sang ibu, demi balas dendam yang membakar jiwanya, ia rela membayar harga termahal.

"Baiklah," bisiknya nyaris tak terdengar, "Aku setuju."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   7. Gairah terpendam

    "HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes

  • Terjebak Gairah Siluman   6. Penyerahan diri

    Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn

  • Terjebak Gairah Siluman   5. Menyulut dendam

    Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu

  • Terjebak Gairah Siluman   4. Hutan Larangan 2

    Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap

  • Terjebak Gairah Siluman   3. Hutan Larangan 1

    Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t

  • Terjebak Gairah Siluman   2. Kembang Hutan

    Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status