Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.
Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.
Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.
Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin.
"Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.
Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.
Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.
Sebuah kepala.
Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah.
"Mbok…"
Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.
Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.
Ia duduk tegak, matanya membelalak panik, napasnya tersengal seolah ada akar yang kembali mencekik lehernya. Ruangan sempit itu seakan menyusut, dindingnya merapat untuk menghimpitnya.
Tangisnya meledak tanpa suara, hanya isakan-isakan tertahan yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Ia menarik lututnya ke dada, memeluknya erat seolah itu satu-satunya pelampung di tengah lautan teror.
Wajahnya ia benamkan di antara kedua lutut, membiarkan air mata dan ingus membasahi kain jarik kumal yang masih melekat di tubuhnya.
Bayangan ibunya yang tanpa kepala, tubuh yang tergeletak kaku, dan kepala yang menggelinding berhenti di kakinya, terus berputar di benaknya seperti adegan rusak yang tak mau berhenti.
Di luar, di bangku bambu depan gubuknya, Broto mendengar isak tangis itu. Ia tidak bergerak.
Jemarinya yang gemuk memutar-mutar batang rokok kretek yang belum tersulut. Ia menghirup udara pagi yang segar, membiarkan kicau burung dari lereng Halimun menjadi musik latar bagi duka gadis itu.
Biarkan ia tumpahkan semuanya. Biarkan racunnya keluar sampai habis. Hanya setelah itu ia bisa diisi dengan racun yang baru. Racun yang ia siapkan.
Tangisan itu perlahan mereda, berubah dari badai menjadi gerimis, lalu hanya menyisakan isakan-isakan kecil yang putus-putus.
Setelah keheningan kembali menyelimuti gubuk kecil itu selama beberapa saat, barulah Broto bangkit. Tubuhnya yang tambun bergerak masuk, bayangannya yang besar menggelapkan pintu.
Wulan mengangkat kepalanya yang berat, matanya bengkak dan merah. Ia melihat sosok Broto berdiri di hadapannya, wajahnya sulit dibaca di bawah cahaya pagi yang temaram.
Broto mendekat, duduk di tepi dipan tanpa berkata apa-apa.
Sebuah tangan besar dan hangat menepuk-nepuk bahunya pelan. Sebuah gerakan menenangkan yang canggung.
Namun kemudian, tepukan itu berhenti. Tangan itu meluncur turun, mengusap punggungnya dengan gerakan lambat dan melingkar.
Kulitnya yang kasar bergesekan dengan kain kebayanya yang tipis, mengirimkan getaran aneh langsung ke kulitnya.
Usapan itu turun lebih rendah, menekan tulang punggungnya, lalu menyapu ke samping, terlalu dekat dengan lekuk pinggangnya.
Seketika, di tengah lautan duka yang dingin, sebuah percikan panas yang tak asing menyala di perut bagian bawah Wulan. Sensasi geli yang memuakkan sekaligus menggairahkan.
Kesadaran akan sentuhan itu menariknya keluar dari kabut kesedihan. Ini bukan sekadar sentuhan penghiburan.
Ia tersentak, sedikit menjauhkan tubuhnya. Saat itulah ia benar-benar sadar bahwa lelaki berperut buncit itu duduk begitu dekat di sampingnya.
Wulan gelagapan. Dengan gerakan refleks yang canggung, ia mengusap hidungnya yang basah dengan punggung tangan, lalu menyekanya ke kain jariknya sendiri.
Sebuah kekehan rendah lolos dari bibir Broto. Tindakan Wulan yang begitu polos dan spontan tampak lucu di matanya.
Ia cepat-cepat meredam tawanya, mengubahnya menjadi dehaman singkat, mencoba memasang kembali wajah seriusnya. Suasananya tidak tepat untuk tertawa.
"Sudah lebih baik?"
Wulan tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan.
Broto menghela napas, nadanya berubah menjadi berat dan penuh wibawa. "Apa yang terjadi semalam… Seharusnya tidak terjadi secepat ini."
Wulan mengangkat wajahnya, tatapan bingung di matanya yang sembap. "Apa maksud, Mbah?"
"Kau bukan berasal dari desa ini, Nduk. Kau tahu itu. Ibumu menemukanmu di dekat Batu Wingit."
Broto mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan pelan.
"Kau pikir kenapa kau ditinggalkan di sana? Di batas hutan larangan? Itu bukan karena orang tuamu tidak menginginkanmu. Justru sebaliknya. Mereka berusaha menyelamatkanmu."
Wulan hanya diam, mencerna setiap kata.
"Di dalam hutan itu, ada yang menginginkanmu. Sesuatu yang kuat. Ia tahu kau bukan bayi biasa. Ia menunggumu. Menunggu hingga kau mekar sempurna. Menunggu hingga kau matang."
Mata Wulan melebar ngeri. Kata 'matang' yang diucapkan Broto terdengar persis seperti yang ia katakan pada Ningsih beberapa hari lalu.
"Peringatan yang aku berikan pada ibumu… Aku tidak menyangka mereka akan datang sebelum bulan purnama."
Broto berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
"Semalam, mereka memanggilmu. Dan kau menjawab panggilan itu. Kau nyaris terambil. Apa yang dilakukan Ningsih… menyeret tubuh tuanya untuk menahanmu, berteriak memintamu lari…"
Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil menyorot tajam.
"Itu bukan sekadar kepanikan, Nduk. Itu adalah hal terakhir yang bisa dilakukan seorang ibu untuk melindungi anaknya. Ia menukar nyawanya dengan nyawamu."
Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Wulan. Rasa bersalah yang tajam menghunjam jantungnya, jauh lebih sakit daripada kesedihan itu sendiri.
"Kenapa… kenapa mereka menginginkanku?" suaranya bergetar.
"Karena kekuatan yang ada di dalam dirimu. Pesonamu. Sesuatu yang membuat setiap lelaki di desa ini menatapmu tapi tak berani menyentuh. Sesuatu yang kau rasakan saat mereka menatapmu."
Wulan tersentak. Bagaimana dia tahu? Bagaimana dia tahu tentang gejolak aneh di dalam perutnya?
"Pesonamu itu adalah umpan terbaik. Mereka menginginkannya. Memilikimu sama dengan memiliki kunci untuk kekuatan yang lebih besar."
Broto melihat api mulai menyala di mata Wulan yang tadinya padam. Api kemarahan, kebencian, dan rasa bersalah. Inilah saatnya. Pancingannya hampir mengena.
"Mereka tidak akan berhenti, Wulan. Setelah mereka merasakan kedekatanmu semalam, mereka akan datang lagi. Cepat atau lambat, mereka akan mengambilmu. Dan nasibmu akan jauh lebih buruk daripada ibumu."
"Tidak!" Wulan menggeleng kuat, air matanya kembali menetes. "Aku tidak mau!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Menangis di sini sampai mereka datang menjemputmu?" Suara Broto menjadi keras, menampar Wulan dengan kenyataan pahit.
"Aku… aku tidak tahu…"
Broto mendekatkan wajahnya. Napasnya yang berbau tembakau menerpa wajah Wulan.
"Kau bisa membalaskan dendam ibumu."
"HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes
Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn
Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu
Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap
Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t
Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y