Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 7. Gairah terpendam

Share

7. Gairah terpendam

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-13 22:24:08

"HAHAHA"

Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.

Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata.

"Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan.

"Kau pikir aku serendah itu?"

Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa.

"Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."

Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi.

"Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih besar dari itu."

Wulan mengangkat kepalanya, kebingungan dan ketakutan masih menari-nari di matanya yang sembap. "Lalu… apa?"

"Kita akan mengikat sebuah kontrak. Kontrak gaib." Broto berbisik, seolah membagikan rahasia tergelap di dunia.

"Tubuhmu akan menjadi wadah. Sebuah rumah bagi sekutuku, khodam kuat yang akan memberimu kekuatan untuk membalaskan dendammu. Kau akan menjadi senjata hidup yang mematikan."

Wajah Wulan memucat. Kontrak gaib. Khodam. Kata-kata itu terdengar lebih mengerikan daripada bayangan harus melayani nafsu Broto.

"Itu… itu sama saja, Mbah," bisiknya, suaranya bergetar.

"Itu sama saja berarti tubuh ini tidak akan menjadi milikku lagi seutuhnya."

"Memang," sahut Broto dingin, tanpa sedikit pun simpati.

"Tapi kau akan mendapatkan kekuatan yang kau inginkan. Kau bisa memburu mereka yang membantai ibumu. Bukankah itu yang terpenting? Pengorbanan kecil untuk kemenangan besar."

Pengorbanan kecil. Wulan menatap tangannya sendiri, jemari lentik yang pernah dipijit lembut oleh Ningsih. Ia menatap kakinya, yang pernah berlari riang sebelum dunia merenggutnya.

Seluruh tubuhnya, satu-satunya miliknya yang tersisa, kini akan menjadi milik makhluk lain.

Namun, bayangan kepala Ningsih yang menggelinding di tanah kembali terlintas. Darah yang membasahi jalan setapak. Mata yang menatap kosong ke langit malam.

Kebencian membakar habis sisa ketakutannya.

"Kapan… kapan ritual itu akan dilakukan?" tanya Wulan, suaranya kini datar dan kosong.

Broto tersenyum puas. Pancingannya telah menancap dalam di jantung gadis itu. "Saat bulan purnama tiba. Saat kekuatan alam berada di puncaknya."

Wulan mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan.

"Kalau begitu, aku akan tinggal di sini, Mbah. Aku tidak bisa kembali ke desa."

"Keputusan yang bagus," gumam Broto, lebih pada dirinya sendiri. "Di sini lebih aman untukmu."

Mulai hari itu, gubuk sempit di kaki Gunung Halimun menjadi dunia baru bagi Wulan. Sebuah sangkar yang ia masuki dengan sukarela.

Ia menghitung hari menuju bulan purnama, setiap matahari terbenam terasa seperti langkah mendekati hari pengorbanan. Ketakutan itu masih ada, mengendap di dasar hatinya, tetapi dendam yang membara di atasnya membuatnya tetap berjalan maju.

Kehidupan bersama Broto terasa aneh. Hari-hari pertama, Wulan selalu merasa seperti ada sepasang mata yang menempel di punggungnya. Ke mana pun ia bergerak di dalam gubuk yang sempit itu, mata kecil Broto selalu mengikutinya.

Saat ia menimba air, saat ia memasak singkong, saat ia menyapu lantai tanah. Tatapan jelalatan itu membuatnya risih, membuatnya selalu ingin menutupi lekuk tubuhnya yang terpapar.

"Kopinya, Mbah." Suatu sore, Wulan meletakkan cangkir batok kelapa berisi kopi hitam pekat di atas meja rendah di hadapan Broto yang sedang meracik ramuan.

Saat Wulan menarik tangannya, jemari Broto yang besar dan kasar sengaja menyentuh punggung tangannya.

Bukan sekadar sentuhan tak sengaja, jarinya menekan lembut, mengusap kulitnya sejenak sebelum Wulan menarik tangannya dengan cepat.

"Terima kasih, Nduk," kata Broto, matanya tak lepas dari wajah Wulan yang memerah.

Wulan hanya mengangguk kaku lalu bergegas pergi ke sudut lain gubuk. Jantungnya berdebar. Ia mengusap punggung tangannya, mencoba menghilangkan sisa-sisa kehangatan dari sentuhan itu.

Sensasi panas yang menjalar di perutnya kembali datang, membuatnya merasa marah pada dirinya sendiri.

Sentuhan-sentuhan seperti itu menjadi hal yang biasa.

Saat ia berjalan melewati Broto di pintu yang sempit, lelaki itu tidak akan menggeser tubuhnya, memaksa Wulan untuk menyerempetkan pinggul dan dadanya ke tubuh tambun itu.

Kadang, saat Wulan sedang melamun menatap keluar jendela, tangan Broto akan menepuk bahunya dari belakang.

"Jangan terlalu banyak melamun. Nanti kesambet lagi."

Tepukan itu akan menjadi usapan, dan usapan itu akan turun perlahan ke punggungnya, ibu jarinya menekan tulang belikatnya dengan gerakan melingkar.

Awalnya, Wulan akan menegang, tubuhnya kaku seperti kayu. Ia akan mencari alasan untuk segera pergi, menjauhkan diri dari sentuhan itu.

Namun, waktu mengubah segalanya. Hari demi hari, penolakan dalam dirinya terkikis. Tubuhnya, yang telah lama merasakan gejolak aneh dari tatapan para lelaki desa, kini mulai terbiasa dengan rangsangan nyata.

Rasa risih itu perlahan bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang gelap dan adiktif.

"Bahumu kaku sekali, Nduk. Sini, biar kupijat sebentar," ujar Broto suatu malam, saat mereka duduk dalam diam diterangi lampu teplok.

Sebelum Wulan sempat menolak, jari-jari Broto sudah menekan tengkuknya, memijat otot-ototnya yang tegang karena seharian bekerja.

Pijatannya kuat dan ahli, melepaskan semua kekakuan. Wulan memejamkan mata, kepalanya sedikit tertunduk pasrah.

Jari-jari itu lalu turun, mengurut bahunya. Ibu jarinya menekan titik di antara leher dan bahunya, mengirimkan sensasi geli yang nikmat ke seluruh tubuhnya. Wulan tanpa sadar mendesah pelan.

"Nah, sudah lebih enak, kan?" bisik Broto tepat di telinganya. Napasnya yang hangat membuat bulu kuduk Wulan meremang.

"Iya, Mbah…" jawab Wulan dengan suara serak.

Ia tidak lagi menghindar. Saat Broto menyentuh punggung tangannya, ia membiarkannya. Saat tubuh mereka bersentuhan, ia tidak lagi merasa kaku.

Ada bagian dari dirinya yang mulai menerima, bahkan… menantikannya. Ia membenci dirinya sendiri karena itu, tetapi tubuhnya memiliki kehendak sendiri.

Gairah yang dulu tak ia pahami kini memiliki nama, dan sentuhan Broto adalah apinya.

Ia mulai mengamati Broto dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai penyelamat atau calon tuan bagi tubuhnya, tetapi sebagai seorang lelaki.

Lelaki pertama yang berani menyentuhnya, yang membangkitkan sesuatu yang terpendam di dalam dirinya.

Di tengah kesedihan dan rencana balas dendamnya, benih-benih aneh mulai tumbuh di antara mereka. Sebuah ketergantungan yang berbahaya, terjalin dari duka, nafsu, dan janji akan kekuatan gelap.

Bulan purnama terasa semakin dekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   7. Gairah terpendam

    "HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes

  • Terjebak Gairah Siluman   6. Penyerahan diri

    Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn

  • Terjebak Gairah Siluman   5. Menyulut dendam

    Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu

  • Terjebak Gairah Siluman   4. Hutan Larangan 2

    Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap

  • Terjebak Gairah Siluman   3. Hutan Larangan 1

    Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t

  • Terjebak Gairah Siluman   2. Kembang Hutan

    Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status