"Sahabat yang baik adalah mereka yang memotivasi kita untuk menjadi yang terbaik. Mereka membawa kita menuju cahaya, bukan menjatuhkan kita ke dalam kegelapan." - Freya Alberta -
Freya berdiri dengan gelisah di samping Hilde. Dia melihat teman-temannya yang lain sudah mulai kehilangan kontrol atas diri mereka sendiri. “Aku akan kembali ke dalam ruangan pesta,” cetus Freya. “Hah? Emm... No, no, no, my darling. Masa kamu tega meninggalkan aku di sini?” ucap Hilde yang terlihat oleng. Dia bahkan mulai berbicara dengan kata-kata yang terdengar tidak terlalu jelas. “Hilde, aku sudah menemanimu sedari tadi. Sekarang aku akan masuk ke dalam.” “How dare you!” teriak Hilde marah sambil berusaha menahan Freya. “Enough!" sentak Freya yang sudah mulai kesal. Rupanya pengaruh dari minuman yang diteguknya tadi memacu adrenalin-nya, sehingga dia terlihat lebih berani dari biasanya. “Goooo! Just go, if you want to go!” “Sorry,” ucap Freya lirih. “I DON’T CARE!!! Get out of my face!” Rupanya Hilde benar-benar sudah lepas kendali. Dia bahkan mencium seorang pemuda yang bukan tipenya sama sekali. Freya menatap Hilde miris. Ingin rasanya dia menarik sahabatnya itu untuk
“Jalankan mobilnya sekarang juga!” perintah pria yang baru saja meringkus Freya itu. Dengan napas tersengal-sengal dia melompat ke dalam mobil dan duduk dengan wajah tegang. “Kau kenapa?” “Jangan banyak tanya. Kita harus cepat pergi dari sini.” “Okay, okay. Relax, Bro!” Pria bertubuh gempal itu segera mengendarai mobilnya dan masuk ke jalan utama. “Hebat, kita berhasil,” ucapnya sambil terus fokus menyetir.. “Tapi aku merasa bersalah.” “Bullshit! Buang semua rasa bersalahmu itu. Dia hanyalah salah satu dari sekian korban yang Boss kita telah mangsa selama ini.” “I know! Tapi tetap saja, perasaan bersalah itu menghantuiku.” “Nih, minum sampai puas, agar hati nuranimu segera mati.” Pria yang bertubuh gempal itu melemparkan sebuah botol minuman kepada pria bertubuh tegap di sampingnya. Dengan wajah yang gundah, pria itu meneguk minuman di tangannya. Perasaan hangat mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Dia kembali relaks. Disandarkan tubuhnya di jok mobil mewah itu sambil memej
Freya masih tidak sadarkan diri kalau sesuatu telah terjadi padanya. Masa depannya yang seharusnya cerah dan penuh dengan mimpi-mimpi indah, kini direnggut darinya dengan cara yang sadis. Malam pertama yang selama ini selalu dia mimpikan, di mana dia akan memberikan calon suaminya, bagian yang terbaik dari dirinya, kini tercabik-cabik-lah sudah oleh nafsu dunia dan seorang pria bernama Jason Turner. Dia seorang pengusaha sukses yang menyukai wanita-wanita yang memiliki tirai-tirai yang belum terkoyak. Sungguh kehidupan ini sangat kejam. Jason berguling ke samping. Tubuhnya yang kekar dan berotot, kini tampak relax setelah berhasil melepaskan hasratnya. Dia memejamkan matanya dan berusaha untuk mengumpulkan kembali kekuatan dan kesadarannya. Tiba-tiba, dia tersentak kaget dan terduduk. “Sial! Aduh, kenapa aku bisa lupa memakai alat pengaman tadi?” Jason melompat dari kasur dan berjalan mondar-mandir dengan wajah gusar. Rambutnya yang berwarna merah menjadi sasaran kemarahannya. D
Sebelumnya: Setelah menyaksikan perselingkuhan Audrey dan Albert, Chloe memutuskan untuk menemui mereka di dalam lobby bar yang sering mereka kunjungi. **** “Kamu yakin kalau si Chloe ada di bar ini?” tanya Albert saat memasuki lobby bar. Albert sudah berhasil membujuk Audrey lagi setelah insiden tidak senonoh yang mereka lakukan di tempat parkir tadi. “Bukankah ini bar tempat kamu biasa kencan dengan Chloe?” balas Audrey judes. Albert yang sedang fokus untuk menemukan Chloe, tidak memperdulikan perkataan Audrey. Dia langsung mencari keberadaan Chloe di sana. Audrey menatap Albert dengan kesal. Dia tidak ingin pria itu memikirkan Chloe saat sedang bersamanya. Dia hanya mau, Albert fokus kepadanya saat mereka sedang berduaan. Audrey mengenal bar itu dengan baik. Dia sering juga berkumpul bersama Chloe dan teman-temannya yang lain saat weekend atau hari libur. “Mana si Chloe? Kamu bilang tadi, kalau kita bisa menemukannya di tempat ini!” cecar Albert sambil menyisiri ruangan ba
Chloe menyilangkan kedua tangan di dadanya. Dia memandang Audrey dengan senyuman misterius. "Lipstik kamu juga berantakan sekali. Kamu habis menjilat dan memakan sesuatu ya, tadi? Jorok banget," desis Chloe pelan. Audrey yang sudah tegang dari tadi, langsung menggunakan punggung tangannya untuk me-lap bibirnya. Chloe hanya tersenyum miris. Dia jijik melihat Audrey yang mempergunakan berbagai cara untuk menyembunyikan kepanikan dan perbuatannya. Ingin rasanya Chloe mengekspos semua perbuatan mereka berdua yang menjijikan tadi. "Kelihatannya bercak-cercak putih itu susah dihilangkan," cecar Chloe sambil terus menyerang mental Audrey. Wajah Audrey semakin pucat pasi dan dan kalang kabut. Berulang-ulang kali dia menyentuh dan membersihkan bibirnya. Chloe menahan rasa geli di hatinya. Dia benar-benar telah membuat Audrey mati kutu sekarang, walaupun sebenarnya, tidak ada apa-apa di bibir Audrey. “Hmm, sini, biar aku bantu bersih-in,” tawar Chloe sambil menyambar selembar tissue. Ch
Begitu mereka keluar dari pintu utama bar, Chloe langsung buru-buru melepaskan pegangan tangannya pada lengan Albert, lalu dia berjalan dengan santai di depan pria itu. Albert yang bingung dengan perubahan sikap Chloe, segera meraih tangan Chloe dan memeluknya. Chloe berdiri mematung ketika dipeluk oleh Albert. Dia jijik didekap pria tidak tahu diri itu. Kalau bukan karena dia ingin menjebak laki-laki mesum itu, sudah ditendangnya pria itu jauh-jauh dari hadapannya. Chloe telah merencanakan sesuatu yang lebih spektakuler. Jika dia membongkar perselingkuhan Albert dan Audrey saat ini, maka mereka berdua pasti akan dengan mudah berkelit dan malah mencari cara untuk menyalahkannya. Hal yang dia perlu lakukan saat ini adalah merencanakan segala sesuatu dengan matang. Pokoknya, dia harus pintar berpura-pura, bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang hubungan terlarang dua insan tidak tahu malu itu. “Aku sempat menelpon keluargamu tadi karena aku panik saat kamu tidak mengangkat telepon.
Martin mengotak-atik komputernya dengan kesal. Dia masih kecewa berat atas kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu. Seluruh hasil kerja kerasnya telah diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Martin mengambil flashdisk yang dipakainya untuk menyimpan mentahan dari rekaman CCTVSky pub tersebut. Ketika Martin hampir saja menghubungkan flashdisk itu ke komputernya, dia tersentak kaget. “Astaga! Untung saja aku tidak mengkoneksikan benda ini dengan komputer kantor. Kalau tidak, rekaman asli ini akan hilang juga." Wajah Martin terlihat gusar. Dia mengetuk-ngetuk meja dengan sebuah pulpen yang ada di tangannya. Dia berpikir dengan keras, bagaimana caranya dia memulai semua lagi dari awal. Polisi muda itu tahu bahwa ini bukan pekerjaan yang mudah. Itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan ketelitian yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. “Aku harus mencari akal, untuk mengatasi masalah ini," gumamnya sambil mengerutkan keningnya. "Tetapi kenapa hanya beberapa
Martin berdiri dengan tegang dan melihat gagang pintunya yang bergerak-gerak dan seperti hendak dibuka dengan paksa. Dia tercekat. Tanpa ragu-ragu, dia menelpon Magnus. Kring, kring, kring... Setelah nada dering ketiga, Magnus mengangkat panggilan telepon dari Martin. “Hi, Magnus. Kamu di mana?” bisik Martin tegang. “Hi! Kenapa kamu ngomong bisik-bisik?” bisik Magnus balik bertanya dan juga ikutan bisik-bisik. Untung bukan bisik-bisik tetangga. “Ada seseorang yang ingin menerobos masuk apartment-ku.” “Hah? Apakah kamu sudah melihat orang tersebut lewat lubang pengintip?” “Sudah, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” “Aku akan menghubungi kantor pusat untuk mengirimkan pertolongan dengan segera.” “Baik, aku tunggu. Terima kasih." Magnus mengubah panggilan Martin menjadi hold on (menunggu) dan segera menelpon kantor pusat untuk mengirimkan bala bantuan. Setelah itu, Magnus kembali menekan nomor Martin dan langsung terhubung kembali. “Done