Share

Bab 3 : Sebuah Keputusan

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 14:35:52

“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati.

Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien.

Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam.

Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia.

“Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-jalan ke luar negeri atau perhiasan baru?” tanya Bima diakhiri tawa yang menggema.

“Kasihan banget dia, Mas. Nikahnya sama kamu, tapi dihamilin om-om tua jelek,” ejek wanita itu.

Dewi mengintip melalui celah partisi antara ruang makan dan keluarga. Seketika mata sipitnya terbuka lebar mendengar topik pembicaraan itu. Dia juga melihat Bima tengah mengukung seorang wanita bertubuh polos di atas sofa. Saking terkejutnya, tubuh mungil gadis itu sedikit mundur dan menyenggol hiasan hingga terjatuh.

Suara nyaring pecahan benda tersebut membuat Bima menghampiri Dewi di balik partisi. Tanpa hati, pria itu menyeret Dewi ke dalam kamar pelayan.

“Sudah kubilang jangan berkeliaran di dalam rumah. Ingat statusmu!” bentak pria itu sambil melayangkan tangan yang mendarat pada pipi mulus, membuat kepala gadis itu tertoleh ke samping.

“Aku ini istri sahmu, Mas!” balas Dewi seraya menahan rasa panas dan kebas pada pipinya.

“Aku tidak pernah mengakuimu sebagai istri! Jijik!” teriak Bima menggelegar dalam kamar berukuran 3x3 meter.

Pria itu memutar badan dan melangkah menuju pintu. Namun, sebelum Bima benar-benar meninggalkan Dewi, dia menoleh dan berkata tegas, “Diam di sini! Jangan keluar sampai besok!”

Sigap Dewi menahan handle pintu dengan sekuat tenaga. Dia menggeleng tegas sambil berurai air mata. Dia ingin bicara empat mata bersama Bima terkait pembayaran sebagai ibu pengganti.

“Tunggu, Mas! Aku mau minta uang pembayaran dari pria itu,” kata Dewi tak digubris oleh Bima.

Bahkan pria itu mendorong kasar tubuh mungil sang gadis hingga terjerembab ke atas lantai dingin. Jari telunjuk Bima menunjuk-nunjuk Dewi lalu membentak, “Uang itu milikku! Nanti juga kamu dapat lagi setelah hamil.”

Setelahnya, Bima menutup pintu dengan kasar, lalu kembali bergumul bersama kekasihnya di sofa ruang keluarga.

Sedangkan Dewi meringis sebab merasa sakit pada pinggul yang menjalar ke perut bagian bawah. Dia berpegangan erat pada tepi ranjang untuk menopang bobot tubuh, lalu berbaring di atas kasur. Mendadak tubuhnya menggigil dan perutnya bergejolak, tetapi dia menahannya sambil memejamkan mata, lantas terlelap hingga pagi.

Dia pikir rasa mual yang mengganggu telah hilang, ternyata semakin parah dan tidak dapat menahannya. Dewi berlari ke kamar mandi, lalu muntah kering. Setelahnya, dia meremas kepala karena merasa nyeri seperti tertusuk ribuan jarum. Tidak hanya itu, dia terdiam ketika sesuatu yang hangat dan basah keluar dari organ pribadi. Sambil gemetaran Dewi memeriksa pakaian dalam, rupanya terdapat gumpalan darah melekat pada celana tipis berbahan lace.

Dewi menghubungi Dokter Denver untuk memberitahu kondisinya, tetapi sambungan telepon itu tidak diterima. Dia pun memutuskan pergi ke rumah sakit menggunakan jasa taksi online.

Sesampainya di rumah sakit, Dewi langsung mengunjungi ruang praktik Denver di lantai dua. Ketika dia hendak mengetuk pintu, mendadak pandangannya berubah gelap dan tubuhnya terjatuh. Meskipun di ambang batas kesadaran, dia tidak merasakan benturan apa pun.

Entah berapa lama Dewi pingsan, sebab ketika dia siuman tubuhnya jauh lebih baik. Sepasang netra hitam menatap seisi kamar luas dan berakhir pada punggung tangan yang terpasang saluran infus. Dia mengehela napas lega karena orang baik telah menolongnya. Namun, ketenangan gadis itu terusik kala sayup-sayup mendengar suara seorang pria tengah berbincang. Dia kembali mengedarkan pandangan dan mendapati Dokter Denver bicara melalui telepon genggam di balkon.

“Aku ini pria normal dan sehat. Sudah enam tahun sejak menikah, kamu selalu menunda memiliki keturunan dengan alasan karir. Jangan salahkan aku memiliki anak dari perempuan lain!” geram pria itu lantas mengakhiri sambungan telepon.

Sedangkan dari dalam kamar, Dewi mengerutkan alis. Entah mengapa dia menghubungkan ucapan pria itu dengan sewa rahim yang sedang dijalaninya. Iris hitam pekat gadis itu melihat Denver melangkah menuju kamar, tidak ingin ikut campur dia memilih pura-pura tidur.

“Bangunlah, aku tahu kamu sudah siuman,” kata Denver membuat jantung perempuan itu berdegup kencang.

“Dokter ....” Dewi menjeda ucapannya dan terbatuk kecil, lantas Denver memberikan sebotol air bening ke tangannya.

“Minumlah, kamu mengalami dehidrasi ringan, lalu makanlah ini.” Denver menaruh semangkuk bubur ayam di atas meja kecil. Dokter tampan itu kembali berujar, “Setelah sarapan kita perlu bicara.”

Sepuluh menit kemudian, keduanya duduk saling berhadapan. Dewi menurunkan pandangan pada kuku jemari tangannya, sedangkan Denver memperhatikan kemerahan pada pipi gadis itu.

“Siapa yang melakukannya padamu? Pria itu?” Pertanyaan Denver ini menuntut jawaban.

Sayang, Dewi hanya terdiam tak berniat membahasnya. Justru dia mengalihkan wajah ke sisi lain, supaya Denver tidak melihat jejak pukulan Bima di pipinya.

Dewi terkejut ketika satu tangannya diraih oleh pria itu. Rupanya Denver memberikan salep. “Obati dengan ini,” kata pria itu seraya melepaskan tangan lembut Dewi.

Agar melupakan permasalahan lebam pada wajah, Dewi bertanya, “Kenapa aku merasa kram dan mengalami flek, Dokter?”

“Proses bayi tabung tidak dapat dilanjutkan karena tubuhmu mengalami hiperstimulasi ovarium. Jika dilanjutkan, kamu bisa mengalami pendarahan lanjutan dan masalah kesuburan di masa depan,” kata Denver masih menatap lekat pada wajah pucat gadis yang duduk di atas ranjang pasien.

Dewi menggeleng lemah, benaknya dipenuhi dengan rintih kesakitan sang ayah serta kakak dan adik-adiknya yang membutuhkan uang. Perjanjian ini tidak boleh batal!

“Aku bisa mencobanya sekali lagi, Dokter,” ucap gadis itu sungguh-sungguh.

Seketika ruang rawat ini menjadi hening, bahkan embusan udara saja tidak terdengar. Setelah satu menit lamanya Denver mendekati Dewi, lalu duduk di tepi ranjang pasien.

“Tersisa satu cara. Asalkan kamu bersedia dan kesepakatan ini bisa dilanjutkan,” kata Dokter diangguki oleh Dewi. Kemudian pria berjas putih itu melanjutkan, “Kamu bisa hamil melalui cara alami.”

Sebagai tenaga medis, tentulah Dewi tidak awam dengan hal itu. Dia mereguk saliva yang mengental dan menyayat kerongkongan. Sungguh cara itu sangat bertentangan dengan batinnya, tetapi Dewi tidak bisa menolak karena keluarga sedang menanti bantuan darinya.

“Ba--ik, a--ku terima. Tapi, mohon berikan uang lebih dulu, aku janji tidak akan kabur,” tawar gadis itu.

“Itu bukan masalah, selama kamu berkomitmen dan professional menjalani kesepakatan ini,” tukas Denver dengan lembut lantas meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

“Siapkan tempat tinggal untuk Dewi. Pastikan Bima tidak mengetahui lokasinya!” titah Denver pada seseorang di seberang telepon.

Dewi terperangah mendengar kalimat serta intonasi Denver. Dia merasa ganjil sebab dokter itu membuat keputusan dan memerintah seseorang tanpa membicarakan lebih dulu dengan pasiennya.

Setelah Denver mengakhiri percakapan melalui telepon, Dewi memberanikan diri menuntaskan rasa penasarannya. Dia bertanya, “Sebenarnya siapa pria yang menyewa rahimku? Apakah orang itu ….”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Emma Salmah
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Sri Umayah
alurnya sangat bagus
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Menangislah Dewi agar gundah hati terobati karena sakit pasti punya suami tak cinta
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : BIDADARI CANTIK DI ATAS CATWALK

    Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : DOKTER BEDAHKU TAMPAN

    “Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : SI PRESIDIR YANG NYEBELIN

    Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : KALAU DIRGA JADI DOKTER

    "Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 338 : Kehidupan Bahagia 6 D

    12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 337 : Mimpi yang Terwujud

    Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status