Dewi mengusap perutnya dengan lembut, jari-jarinya yang halus menyentuh perutnya seolah berbicara kepada bakal janin yang mulai tumbuh. Netra hitamnya menatap kosong kosong, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan rumit tak terjawab.
“Maafkan aku, ya,” gumamnya lirih. “Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini semua.”
Langkah berat terdengar mendekat. Aroma yang sudah sangat dikenalnya memenuhi udara, dan jantung Dewi berdetak lebih cepat. Dia mendongak, dan di sanalah Denver berdiri dengan ekspresi serius serta tatapan tajam langsung tertuju ke pipinya.
“Dewi...” panggil Denver, intonasi itu sangat rendah dan tentunya penuh tuntutan. “Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?”
Dewi menggeleng pelan. Dia berusaha menghindari tatapan pria itu dengan melepas ikatan rambutnya.
“Tidak ada apa-apa, Dokter,” jawabnya singkat seraya mencoba menyembunyikan getaran di suaranya.
D
[Maaf, aku pergi tanpa izin. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Dokter tenang saja, aku bukan kabur tapi di rumah Ayah.] Denver memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan dari Dewi beberapa hari lalu. Saat ini dia duduk di dalam mobil Audi hitamnya,. Kemudian, manik cokelat karamel pria itu menatap rumah sederhana berada di ujung jalan. Dari kejauhan, dia bisa melihat Dewi sedang duduk di teras, mengenakan daster longgar berwarna pastel, rambutnya dikuncir rapi, membuat wajahnya tampak lebih berseri. Pria itu menghela napas panjang, membiarkan rasa rindu itu memenuhi dadanya. Sepekan ini dia hanya bisa mengawasi Dewi dari jauh, memastikan gadis itu dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka, Denver melihat seorang pria paruh baya menghampiri Dewi. Itu Danang, ayah Dewi. Keduanya tampak berbincang-bincang dengan santai, sesekali diselingi tawa kecil terdengar samar di telinganya. Adegan itu membuat dada Denver terasa hangat.
Setelah Denver meninggalkan rumah, Dewi berjalan menuju ruang tamu untuk membersihkan meja. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah kartu hitam elegan tergeletak di atas meja. “Kartu siapa ini?” gumamnya sambil mengambil benda itu dengan hati-hati. Permukaan kartu itu mengkilap, dengan ukiran nama Arkatama Denver Bradley tertulis rapi di sana. Jantung Dewi berdegup cepat bersamaan dengan suara ponselnya bergetar di saku kaos. Satu pesan masuk. [Itu untukmu. Gunakan kapan pun kamu perlu. Aku tidak ingin kamu kekurangan apa pun, terutama saat mengandung anakku.] Membaca pesan itu, Dewi terdiam. Tangannya mengepal kartu itu erat-erat. Pandangannya mengarah ke jendela yang terbuka. Perasaan campur aduk menghantam dirinya seperti ombak besar. ‘Bukankah aku bisa menjaga diriku sendiri? Apa dia pikir aku ini tidak mandiri?’ batinnya. Perasaan hangat juga menyelinap di hatinya. Perhatian Denver begitu besar, bahkan pada hal kecil. Namun, menerima kartu ini bera
Dewi menatap foto hasil USG di tangannya, gambaran kecil dari kehidupan yang sedang tumbuh di dalam perutnya. Namun, kehangatan yang dirasakannya saat mendengar detak jantung bayi itu tadi kini tercampur dengan kecemasan menyesakkan dada.Kata-kata Carissa tadi begitu menusuk, mengguncang keyakinannya.‘Anak ini akan menjadi penerus keluarga Denver dan aku … Setelah dia lahir, aku yang akan menjadi ibunya.’Kalimat itu terus berulang di benaknya layaknya sebuaah gema yang tak kunjung reda. Dewi meremas foto di tangannya tanpa sadar, dia berusaha menenangkan hati.“Kenapa perhatian kecil darinya membuat aku merasa begini?” gumamnya.Dia mengingat betapa Denver menunjukkan perhatian besar tadi. Perasaan itu seharusnya membuatnya tenang, tetapi malah memunculkan gejolak lain.Langkah Dewi terasa berat saat meninggalkan rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti oleh suara berat yang sudah akrab di telinganya.“Dewi.”Dia menoleh dan mendapati Denver berdiri beberapa langkah di belakangnya. T
Carissa duduk di sebuah kafe mewah pagi ini. Dia bertemu dengan seorang pria berpenampilan mencurigakan. Wajahnya ditutupi topi dan masker, dan tatapannya tajam. “Aku mau semuanya selesai dalam waktu dekat,” kata Carissa dengan nada dingin. Mata pria itu menyipit. “Tenang saja, Ca. Semua sesuai rencana.” Carissa menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya memancarkan kebencian. “Pastikan dia keguguran hari ini!” ucapnya penuh kebencian. Pria asing itu mendekat dan meraba paha Carissa, lalu tangannya hendak masuk ke dalam rok span pendek. “Stop! Aku enggak mau bercinta!” tolak wanita itu dengan wajah ketus. “Tapi aku merindukanmu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Aku janji kali ini main aman,” bisik pria itu membuat Carissa menggangguk pelan. Keduanya pun bergegas pergi setelah merapikan penampilan hingga tak seorang pun mengenali bahwa itu adalah Carissa Sailendra. “Bukannya nanti malam kamu harus—” Ucapan Carissa terputus ketika pria itu meremas dadanya, lalu mendekat. “Kamu
Mata sipit Dewi makin menyipit, menajamkan tatapannya pada seorang pria yang baru turun dari mobil. Postur tubuh tegap pria itu seketika membuat bulu kuduknya meremang. Dia berdiri membeku di tempat, dihantam oleh perasaan tak karuan. “Masuklah, Nona,” titah pria itu dengan nada datar tanpa paksaan. “Aku tidak mau,” tolak Dewi, melangkah menjauh dari mobil sedan tersebut. Namun, baru saja dia mengambil dua langkah mundur, telinganya menangkap suara seorang wanita memanggil dari dalam mobil. Dewi menoleh, melihat tangan wanita itu melambai, mengisyaratkan agar dia masuk. Setelahnya, mobil sedan itu melaju, meninggalkan area rumah sakit. “Jangan melihatku seperti itu!” ketus wanita berambut pirang kecokelatan, matanya melirik Dewi sekilas. “Denver memintaku menjemputmu.” Senyum kecil terukir di wajah Dewi saat nama itu terucap. Dia menunduk, menatap gaun merah muda yang membalut tubuhnya. Saat itu juga perasaan cemasnya menguap. “Bagus, ‘kan, pilihanku? Pagi tadi, Denver mendadak
Acara peresmian toko roti telah berakhir beberapa jam lalu. Denver memutuskan membawa Dewi langsung ke apartemen, mengingat malam yang semakin larut.Saat ini Dewi tengah duduk manis di meja makan apartemen. Dia menikmati cinnamon roll-nya. Aroma kayu manis masih menggantung di udara, berpadu dengan kehangatan ruangan yang temaram.Setelah mandi, pria itu keluar dari kamar hanya mengenakan celana pendek kasual, tubuhnya yang masih sedikit basah berkilauan diterpa lampu.Akan tetapi, Dewi tidak menyadari kehadiran Denver yang perlahan mendekat. Mata sipitnya terlalu fokus menikmati setiap gigitan cinnamon roll, sampai suara berat itu menyentak ketenangannya.“Apa malam ini kamu berencana menghabiskan satu kotak penuh cinnamon roll?” goda Denver dari belakang.Dewi terlonjak. Secara refleks dia memutar kepala ke arah suara itu, hanya untuk mendapati Denver berdiri santai tanpa atasan.Netranya langsung bersirobok dengan dada bidang yang memancarkan kehangatan. Wajah Dewi seketika merona
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut.“Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh.“Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu.Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?”Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.”Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan di b
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?”Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka.“Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.”Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung.Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash selalu se
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.