Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur d
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara lembut itu membuat Denver menoleh. Dia berbalik dan menatap sosok wanita cantik sedang berdiri di ambang pintu ruang periksa."Tante Dayana!" serunya dengan suara menggema di ruangan. Denver melangkah dengan hentakkan sepatu kulit pada lantai yang terdengar berat di koridor sempit klinik, seakan mencerminkan gejolak amarah dalam dadanya. Rahang pria itu mengeras dan tatapan iris cokelat karamelnya tampak menyala penuh ketegasan.Raut wajah Dokter Dayana berubah tegang saat melihat Denver kini berdiri di hadapannya."Dokter Denver? Ada apa kamu ke sini pagi-pagi sekali?" tanya wanita itu dengan suara yang tentu saja dibuat setenang mungkin.Denver melangkah makin dekat, tidak ada kehangatan seperti biasa pada dirinya. Saat ini hanya aura dingin memenuhi koridor. "Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Di mana Dewi?"Untuk sesaat Dayana terdiam dengan sorot mata berusaha menghindari tatapan tajam keponakannya itu."Dewi yang mana maksudmu?" tanya Dokter itu dengan datar."Katakan
Rumah Sakit JB kini tidak seramah dulu bagi Denver. Pascamenghilangnya Dewi, bisik-bisik dan tatapan tajam mulai mengisi setiap sudut gedung. Beberapa minggu ini gosip tentang skandal hubungan rahasia antara Denver dan Dewi menyebar luas.Perawat-perawat berbisik di koridor."Katanya, Dewi itu hamil anaknya Dokter Denver.""Sstt... Istrinya, Bu Carissa, pantas saja pernah ngamuk di rumah sakit. Katanya lagi, Dewi bukan mengundurkan diri tapi … sudah dipecat."Denver melangkah melewati lorong panjang. Percakapan itu langsung terhenti. Sorot mata sinis menusuk punggungnya, tetapi Denver hanya menarik napas panjang.Dia menahan gejolak amarah yang mendidih. Netra cokelat karamelnya menyisir tajam setiap sudut, menantang siapa pun yang berani bicara."Daripada kalian bergosip, lebih baik gunakan waktu untuk merawat pasien," ucap Denver dingin dengan intonasi tegas bagai cambuk. Kemudian dia berlalu.Setiap langkah Denver terasa makin berat, seolah lantai rumah sakit pun ikut menghakiminya
Dewi berdiri membeku di balik tirai, jantungnya seolah berlomba dengan suara mesin mobil yang mendekat. Range Rover putih berhenti dengan gagah di halaman vila. Valerie melangkah cepat mendekati Dewi, menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Siapa itu, Wi?" bisiknya seraya melirik ke luar. Gelengan kecil Dewi berikan sebagai jawaban. Sesunggunya dia juga tidak tahu, hanya saja hati kecilnya menginginkan Denver. Keduanya pun sama-sama mengintip dari balik jendela besar ini. Beberapa saat kemudian, sopir membuka pintu dan seorang wanita elegan, berusia senja dengan rambut perak tersisir rapi keluar dari kendaraan. "Bu Nayla ...." Suara Dewi tercekat. Langkah-langkah berat Oma Nayla terdengar mendekati pintu vila. Valerie segera berinisiatif membuka pintu. Bersamaan dengan itu, Dewi memegang perutnya yang menegang. Napas gadis itu tersengal dan tubuhnya bergetar, rasa sesak pun memenuhi rongga dadanya. Oma Nayla mendekat dan sorot matanya menyelidik setiap inchi tubuh Dewi. "
Dewi menahan napas, tubuhnya gemetar hebat melihat dua pria tinggi melangkah mendekat. Wajah mereka keras, dingin, dan tanpa belas kasihan."To—"Belum sempat Dewi berteriak, sepasang tangan kekar membekap mulutnya. Tubuh mungil itu diseret kasar ke dalam mobil hitam. Dewi meronta, memukul dan mencakar, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat."Diam!" bentak seorang pria dari dalam mobil.Dalam kepanikan, Dewi menatap ke spion yang menggantung dalam mobil. Mata sipitnya membelalak saat mengenali sosok di balik kemudi."Mas Bima…," ucap Dewi dengan intonasi serak dan gemetar. "Tolong, Mas. Lepaskan aku."Bima menoleh sekilas, matanya dingin. "Berisik kamu, Dewi. Kalau saja kamu nurut dan jauhi Denver, semua ini tidak akan terjadi!"Mobil SUV hitam melaju kencang menjauh dari vila dan membelah jalanan pedesaan yang tampak lengang. Dewi menangis dalam diam, merasakan perutnya yang sakit makin menyiksa.Tubuh Dewi hanya
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.