Aku tidak banyak bercerita tentang keadaan Bumi kepada mereka bertiga. Aku hanya mengangkat satu cerita, itupun tidak lengkap, yang menunjukkan tentang betapa buruknya dewan kota Bumi.
Adalah tentang bantuan yang salah sasaran. Atau, kita lebih memudahkan untuk belajar sebut saja dengan sebutan KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nespotismi. Kebanyakan, yang mendapatkan bantuan adalah orang-orang terdekat Dewan Kota. Aku tidak menceritakan kebobrokan Bumi pada masa Orde Baru, terlalu malu hanya sekedar untuk mengingat.
“Nah, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nai ketika aku selesai bercerita.
“Yah, bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.” Jawab Nia.
“Bukan itu yang aku maksudkan, goblok.” Kata Nai lagi dalam sekali, “Ini tentang perjalanan kita selanjutnya. Kasihan Safa, pasti sudah rindu pulang.”
Kanisan urun pendapat, “Menurut sejarah yang aku pelajari, bahwa seseorang yang datang pada Ku
“Gawat, Nai, Nia, safa, markas kita diserang.” Suara Kanisan mengagetkan diriku yang masih berada dalam alam mimpi.Aku segera keluar ruangan kamar. Disana, di luar ruangan, aku menemukan Nai dan Nia dengan kondisi yang sama, bangun tidur.“Ada apa?” kata Nia sambil menguap.“Rumah kita diserang orang tidak dikenal.” Kanisan mengulangi penjelasan. “Cepat, ambil barang-barang kalian dan kita meninggalkan tempat ini bersama-sama.”Setelah Kanisan berkata begitu, aku langsung ingat dengan buku ajaibku yang aku taruh di meja, setelah aku membacanya tadi sebelum tidur. Cepat-cepat aku berlari menuju kamar kembali, dan menemui buku dalam keadaan normal abadi. Syukurlah. Ucapku dalam hati.Aku segera memasukkan buku ke dalam kantong transparan milikku. Dan aku kembali keluar setelah mengambil tas.“Kau sudah siap, Safa?” Kanisan langsung bertanya setelah aku keluar kamar.“Sud
Keadaan sepi, ruangan ini benar-benar sepi. Gelap, dengan penerangan lampu berwarna merah. Nai, kemana dia? Nia, juga tidak bersama denganku. Bagaimana dengan keadaan mereka? Apakah baik-baik saja? Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini? Apa yang telah mereka lakukan kepadaku?Banyak pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya. Tidak ada saat ini yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bagaimana dengan Kanisan? Apakah dia juga tertangkap?Belum sempat aku menjawab dengan mereka-reka apa yang terjadi, pintu ruangan terlihat ada yang membukanya. Suara pintu tua terdengar menggema pada seluruh ruangan kecil ini. Lampu menyala, terang, cerah, tidak merah lagi. Saat itu juga, aku melihat orang yang sama dengan orang yang keluar dari moter tadi, sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.“Akhirnya kamu bangun juga, manusia asing.” Suara orang yang membuka pintu.Dia adalah orang yang berbadan kurus. Wajahnya berwibawa. Andai keadaannya berbeda
Aku terbangun entah pada pukul berapa. Ah, kenapa aku tidak melihat jam tanganku? Kan, aku membawa jam tangan dari bumi. Nah, benar, sekarang pukul sembilan malam. Tapi, Nai dan Nia masih belum sadar dari tidurnya. Rupanya, mereka berdua memang sangat lelah dan lemas. Saat-saat seperti inilah, rasa bersalahku kembali hadir menyelimuti. Tidak terasa, air mataku mengalir beberapa saat, bebas mengalir menuju tarikan gravitasi.Tidak lama aku menangis, dengan tidak mengeluarkan suara, akhirnya Nai dan Nia terbangun. Aku cepat-cepat menghapus air mata, sebelum mereka berdua mengetahui kelemahanku. Inilah kelemahanku satu-satunya, mudah merasa bersalah, tapi jarang menangis.“Kau sudah bangun?” tanya Nia yang mengerjap-ngerjapkan matanya.“Iya, baru saja bangun.” Jawabku lirih, dengan menunjukkan senyuman semu.Nampaknya memang tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri dari semua kejadian ini. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali
Gubrakk …Kratakk … Brukk … Krasakk …Pagi hari, entah benar atau tidak, aku terbangunkan oleh suara-suara tidak beraturan dari luar ruangan. Sepertinya sedang berlangsung penggusuran rumah secara massal, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Jakarta beberapa tahun silam, sangat mengagetkan. Atau, sedang terjadi perang dunia ketiga?Segera aku membangunkan Nai dan Nia yang masih terlelap dalam mimpinya, tidak merasa terganggu sama sekali oleh suara kerusuhan di luar ruangan.“Nai, Nia, bangun! Sudah pagi. Kalian dengar suara apa itu?” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuh mereka berdua.“Hem…” hanya kata itu yang keluar dari bibir Nia.Nai sudah terbangun, mengusap matanya, dan bertanya kepadaku, “Suara apa itu?”“Entah, aku juga baru bangun, Nai.” Jawabku.Suara kegaduhan semakin terdengar nyaring, semakin mendekat. Getaran-getaran juga terasa
Perjalanan kami akhirnya menemukan sebuah titik akhir. Kanisan memberikan kabar bahwa setengah jam lagi kita akan sampai pada lokasi tujuan. Kanisan kembali mengemudikan moternya, tapi dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Kali ini, Kanisan mengemudikan moter dengan santai, 100km/jam.“Kita akan memasuki lokasi Hutan Perbatasan Kulstar.” Kata Kanisan kepada kami semua.Tidak ada yang membalas kata-katanya, kami sudah lelah dengan perjalanan yang begitu lama dan menegangkan. Apalagi Nai, dia kini terbaring di atas kursinya, nyaman sekali. Aku mengamati kanan-kiri, gelap, tidak ada pemandangan. Dan kini aku baru menyadari bahwa moter kami tidak pernah berpapasan dengan moter lain. Atau bahkan sangat jarang. Setengah jam memasuki lokasi yang dinamakan dengan Hutan Perbatasan oleh Kanisan, mataku merasakan ngantuk yang begitu dahsyatnya.“Kawan, ayolah nikmati perjalanan ini. Jangan sia-siakan waktu dan momen terindah ini. Kita tidak akan m
Sekitar pukul sepuluh malam kami sampai di tempat yang dijanjikan oleh Kanisan. Benar apa yang dikatakan oleh Kanisan, bahwa tempat ini adalah tempat teraman, sejuk, dan menenangkan jiwa. Angin malam mendengungkan kasih pada setiap manusia, membelas dada, dan menanamkan rasa cinta di sana. tempat ini beraroma pedesaan, tanpa teknologi tapi maju. Tidak ada lampu-lampu besar seperti di Kulstar bagian kota. Tidak ada moter-moter membingungkan mata. Semuanya serba damai. Bahkan, moter yang ada tidak berjalan dengan terbang, mereka berjalan dengan menggunakan roda-roda biasa.“Selanjutnya, apakah rencana yang akan kalian lakukan?” tanya Kanisan setelah kami selesai makan malam.Tempat yang kami diami saat ini hanya menggunakan penerangan dari benda semacam lilin, namun terbuat dari besi. Tadi aku sempat bertanya kepada Nia, tentang benda apakah itu. Dia menjawab bahwa benda itu adalah benda yang biasa digunakan sebagai penerang malam, terbuat dari besi, tanpa ba
Benar, genap satu jam kami dari waktu selesai makan, akhirnya Kanisan memberikan aba-aba kepada kami yang tengah menikmati udara sejak di waktu setengah pagi, dan setengah siang.“Cepat-cepat, semua siap berangkat menuju misi pertama!” kata dia dengan berteriak dari depan rumahnya.Aku tidak lagi bertanya mengenai misi apa yang akan kami lakukan untuk pertama kali. Aku yakin, pasti misi dari perjalanan ini semua adalah mencarikan diriku jalan pulang, tidak ada yang lain.***Pukul sebelas siang, kami semua telah berada di dalam moter. Siang ini kami hanya menggunakan satu moter, untuk empat orang. Sebelumnya, rupanya Kanisan juga telah menghubungi beberapa temannya, atau mungkin anak buahnya, untuk berangkat menuju misi pertama dengan kami. Jumlah keseluruhan saat ini ada tiga moter, dan dua belas manusia di dalamnya.Moter berjalan pelan mengarungi jalanan yang masih utuh dengan tanah. Ini adalah jalan yang sama dengan jalan tadi malam
Akhirnya kami entah berada di tempat apa sekarang ini. Ruangannya berbau pepohonan basah, tanah basah, dan suara-suara titikan air dari atas mengenai lantai ruangan. Seandainya jika keadaannya sekarang tidak seperti ini, aku akan merasa senang dengan suasana ini. Lihatlah, kawan! Kakiku diikat dengan tali besar, sedangkan tanganku diikat dengan menggunakan rantai kecil, namun sangat berat. Tiga temanku, yakni Nia, Nai, dan Kanisan juga sama denganku, diikat tangan serta kaki.Mereka bertiga masih terlelap, belum bisa melepaskan diri dari pengarus udara bius. Samar-samar aku mendengar percakapan dari dua penjaga yang berada di ruangan ini.“Mereka tidak akan bangun sampai besok pagi.” Kata laki-laki bertubuh gempal, dengan menggunakan seragam polisi lengkap.Satunya menimpali, “Bagaimanapun, kita tetap harus menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Kita belum mengetahu siapa mereka. Jangan begitu saja meninggalkan. Walaupun tangan dan kaki