Siang harinya kami benar-benar berangkat menuju Kuil Damsaqie. Persiapan perjalanan cukup banyak. Untunya, Hanai mempunyai mantra untuk menyimpan barang pada alam ghoib, sehingga kami tidak keberatan membawa. Aku hanya membawa tas punggung kecil, berisi makanan dan air bersih.
“Untuk sampai menuju Kuil, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.” Hanai memimpin perjalanan.
“Sudah tahu, kali.” Hinia mencibir.
“Tapi, kan, Safara belum tahu.” Hanai membelalakkan mata pada Hinia.
Begitulah mereka berdua. Namanya juga adik-kakak. Kalau dekat bertengkar, tapi kalau jauh rindu mungkin. Memang, adik-kakak adalah dua spesies manusia yang sulit dimengerti. Tidak pula untuk dipisahkan.
“Jauh juga, ya.” Aku berkata sendiri.
“Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, nanti ada beberapa tempat pemeriksaan. Sedangkan kamu bukan spesies manusia Kulstar, maka kita akan melewati sebuah jalan tersembunyi.
“Apakah tidak berbahaya?” tanyaku.
“Dua kemungkinan. Jika ketahuan oleh Dewan kota, akan bahaya. Namun jika tidak ketahuan, aman-aman saja.” Hanai menjelaskan.
“Bagaimana kalau lewat jalan resmi saja?” usulku.
Aku kasihan dengan mereka. Jangan hanya kerena membawaku menuju Kuil Damsaqie, mereka tertangkap Dewan Kota. Aku tidak ingin menjadi pembawa masalah.
“Tidak bisa. Kalau pengawas tahu ada spesies manusia lain, mereka juga akan menangkap. Bahkan, mungkin lebih berat lagi hukumannya.” Hanai masih menjelaskan dengan sabar.
“Apakah semua tempat di sini ada pengawasnya?” tanyaku lagi.
“Tidak. Sebenarnya tidak. Hanya tempat-tempat ramai saja. Sebenarnya bukan spesies manusia lain yang menjadi masalah, tapi lebih pada keamanan kota tujuan. Kuil Damsaqie berada di kota Farzoqie, ibu kota Kulstar.” Hanai bertambah kesabarannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
Oh, begitu. Mungkin sama dengan di Indonesia, ada sebuah kota yang dalam pengawasan jika memasukinya. Semacam Bali ketika terjadi peledakan bom di sana, semua orang yang masuk pelabuhan mendapatkan pengawasan ketat.
“Nia, jangan lupa tutup semua pintu, kunci, dan aktifkan semua sandi.” Hanai memberi perintah.
Orang yang diperintah, Hinia, langsung menjalankan tugas. Dia mengeluarkan remot kecil dari balik sakunya. Dan, selesailah tugas yang diperintahkan kakaknya.
“Selesai, saatnya kita berangkat.” Hinia semangat sekali.
“Baiklah, tinggal menunggu mobil terbang datang.” Hanai menambahi dengan gayanya yang dingin.
Mobil terbang? Apakah benar ada mobil terbang di sini? Aneh sekali, sepertinya semua teknologi yang diceritakan dalam novel Tere Liye, ada di sini. Termasuk kamera terbang yang sangat kecil ukurannya.
Beberapa saat terlihat mobil dari kejauhan. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan mobil di bumi. Haya saja terlihat lebih kecil, dan tidak terlalu tinggi.
“Nah, itu mobil kita sudah datang.” Hanai menyambut.
Aku benar-benar mengamati mobil itu. Bentuknya seperti mobil umum orang-orang Arab, indah, tidak terlalu tinggi. Di belakang mobil, ada sebuah pembuangan asap, namun mengeluarkan cahaya putih, semacam nose game balapan mobil. Mobilnya berwarna hitam pekat, mengkilap, bagaikan baru. Namun tidak ada kaca spion sama sekali. Sungguh sempurna.
“Sudah lama aku tidak jalan-jalan jauh.” Hinia gembira, layaknya burung keluar dari sangkar.
“Ayo, Safa, masuk. Tunggu apa lagi?” Hanai menyadarkan lamunanku.
Masuklah aku dengan perasaan senang, karena baru pertama kali aku masuk, serta takut, ragu-ragu, akankah jatuh nantinya? Ah, tidak mungkin tranportasi canggih seperti ini jatuh. Pasti sudah melewati uji tes yang ketat sekali.
Pelan-pelan, mobil berjalan. Tidak langsung terbang, tapi berjalan dengan roda biasa terlebih dahulu. Lalu, setelah beberapa meter maju kedepan, pelan-pelan mulai terbang, dan rodanya samar-samar hilang. Aku pegangan erat-erat. Bagaikan naik pesawat terbang mini.
“Safa, kenapa kamu tegang begitu?” kata Hinia yang menyadari ekspresiku.
Cepat-cepat aku melepaskan pegangan, duduk biasa. Rasanya juga masih sedikit tegang.
“Oh, tidak. Aku hanya takut saja kalau jatuh.” Jawabku polos.
“Tenanglah, mobil ini tidak akan jatuh.” Hanai ikut berkata.
“Apakah mobil terbang di bumi berbeda dengan mobil terbang kami?” Hinia bertanya.
Boro-boro, jangankan berbeda, ada saja hanya sebuah harapan. Dan mereka hanya terdiam mendengar jawabanku. Apakah di sini juga ada pesawat terbang?
“Ada, ada pesawat terbang. Namun yang menaikinya hanya anak-anak, hanya sebuah hiburan anak-anak. Ada juga yang untuk orang dewasa, tapi aku rasa sudah jarang dioperasikan, sudah ketinggalan jaman.” Hanai menjelaskan tentang pesawat terbang.
Aku melihat angka yang tertera pada mesin penghitung kecepatan. Sungguh luar biasa kecepatannya, 100 km/menit. Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Apakah mobil ini tidak memerlukan kemudi?” tanyaku entah pada siapa.
“Hinia, jelaskan pada dia selebar-lebarnya.” Kata Hanai.
Aku hanya tertawa, mungkin mereka bosan dengan pertanyaan-pertanyaanku. Memang, aku suka bertanya jika mengenai hal yang aku belum mengetahui. Biarkan saja mereka bosan, yang penting aku senang.
“Begini, mobil ini mempunyai dua opsi perjalanan. Satu, kemudi otomatis. Kedua, kemudi manual. Nanti kamu bisa mencobanya kalau berani. Namun, opsi otomatis hanya digunakan ketika membutuhkan kecepatan prima, dan hanya pada arah lurus. Sudah paham?” Hinia, dengan kata-kata terakhir yang sebal.
Aku manggut-manggut saja. Bagaimana rasanya, ya, mengemudikan mobil di udara? Rasanya nanti aku ingin mencobanya.
Apa lebih baik aku tidur saja saat ini? Dari pada bertanya terus, dan manambahkan rasa sebal pada mereka, lebih baik aku tidur saja.
Tapi, belum sempat aku tertidur, ketika hanya menyandarkan kepala pada kursi, tiba-tiba Hanai berkata serius dari kursi depan.
“Sial, ada pemeriksaan di depan sana.” Suaranya berat, dan sedikit marah.
Menakutkan juga suaranya ketika serius seperti ini, dengan sedikit marah pula. Aku cemas juga. Sedangkan Hinia bingung sendiri, melihat kiri-kanan, depan-belakang, dan akhirnya menatap kedepan.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hinia.
“Sebentar ...” Hanai berpikir.
Mobil telah dialihkan menjadi kemudi manual. Hanai yang mengambil kemudi. Dia dengan cekatan mengarahkan mobil menjauh dari lokasi pemeriksaan terlebih dahulu.
“Padahal, sebelumnya disini tidak pernah ada pemeriksaan.” Kata Hanai lagi.
“Mungkin karena keadaan di luar sedang kacau, sebab Dewan Kota yang kurang ajar itu.” Hinia marah-marah sendiri.
“Kita tunggu beberapa menit lagi, apakah mereka akan berhenti bekerja.” Hanai berharap.
Akhirnya kami memilih menepi pada sebuah bangunan kuno, tepatnya di bawah bangunan itu. Mereka berdua keluar mobil, dan aku ikut-ikutan keluar.
“Safara, kamu jangan keluar dahulu. Bahaya.” Hanai mengingatkan.
Ah, aku kembali ke dalam mobil. Sebenarnya aku ingin melihat-lihat lingkungan di sini. Sepanjang perjalanan tadi saja, aku melihat hal-hal aneh yang ingin aku tanyakan pada mereka. Namun apalah daya, dari pada nanti tidak bisa pulang, lebih baik aku diam saja dalam mobil ini.
Aku kagum dengan bangunan yang mengambang sepanjang perjalanan tadi. Bangunan sebesar rumah, namun tidak menapak tanah. Entah apa alat yang digunakan untuk mengangkat bangunan besar itu.
Tadi sepertinya aku juga melihat pohon yang sangat-sangat aneh. Tidak pernah aku melihtnya, walaupun hanya sekedar di film-film kartun. Pohonnya sangat besar, daunnya kuning keemasan, dengan bunga indah berwarna hijau menyala, tingginya sekitar lima puluh meter, atau bahkan lebih.
“Bangsat. Rupanya mereka kerja setiap saat.” Hanai mengeluh marah.
“Lalu bagaimana? Apakah kita tidak jadi meneruskan perjalanan?” Hinia juga ikut was-was.
“Tidak, masih banyak jalan yang bisa kita tempuh. Walaupun sangat berbahaya.” Hanai percaya diri.
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua dari balik jendela kaca mobil yang terbuka. Sekarang, aku sungguh-sungguh menyesal, kenapa aku harus hadir di antara mereka.
“Baiklah, tidak ada harapan dari jalan pertama ini. Kita tempuh jalan selanjutnya.” Hanai memutuskan.
“Kemana, Nai?” Hinia berkata.
“Nia, kita harus menempuh jalan berbahaya itu.”
“Apakah kamu yakin?”
Dan Hanai mengangguk penuh dengan keyakinan. Begitu pula dengan Hinia, tersenyum antusias. Masuklah mereka kembali ke dalam mobil.
“Maafkan aku, kawan, telah membuat kalian susah.” Kataku pada mereka setelah duduk di kursinya.
Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s
READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat
Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara
Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam