Kawan, perkenalkan namaku Safara Yunan. Aku adalah seoarang perempuan yang selalu ceria. Usia 20 tahun. Tidak ada yang perlu aku bebankan dalam hidupku, sehingga menjadikan langkah berat. Tidak, aku adalah wanita yang kuat.
Teman, aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah ajaib dalam hidupku. Ini adalah tentang buku ajaib. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana. Tidak pernah aku meninggalkan dalam sedetikpun, tidak pernah setelah aku menemukannya.
Lima tahun yang lalu, ketika aku jalan-jalan disebuah taman kota Madiun, aku menemukan sebuah buku antik. Lumayan antik, aku sangat menyukai bentuknya, warnanya, sampai aku menyukai isinya.
Buku itu berwarna coklat tua, sangat gelap. Namun, judulnya sangat cerah, berwarna kuning keemas-emasan. Aku tidak paham dengan bahasa judulnya. Namun anehnya, dari sekian keanehan, terdapat bahasa Jawa di dalamnya.
“Emm, buku apa itu?” tanyaku dalam hati ketika pertama melihat buku itu.
Saat itu, aku menemukannya di bawah pohon mangga rindang, dengan gerumbulan bunga di sekitar pangkalnya. Aku mendekati buku itu, dan mengambilnya.
Pertama memegang, rasanya ada seberkas sinar yang masuk dalam tubuhku, menerjang mataku. Dan saat itulah, aku mulai jatuh cinta dengan buku itu. Lalu, aku membawanya pulang.
“Aneh sekali buku ini. Apakah isinya?” batinku.
Aku membuka-bukanya. Banyak sekali isinya, lumayan tebal juga bukunya. Banyak tulisan yang aku tidak paham dalam buku tersebut. Ah, rasanya bosan juga membaca tulisan yang tidak paham, apalagi dengan bentuk tulisan yang bahkan aku tidak mengenal.
Akhirnya aku meletakkan buku itu di atas meja, meninggalkannya begitu saja. Lalu, aku beranjak menuju dapur, makan, lapar sudah perut ini.
Ah, aku lupa, masakan Ibuku sudah habis tadi siang. Berarti, sekarang saatnya masak kembali. Ibu kemana lagi, kok, tidak ada di rumah. Aha, dari pada ribet-ribet masak, membuat mi instan saja mudah. Lagian, kalau nunggu ibu pulang aku bisa pingsan duluan.
Itulah, kawan, keseharianku sebelum mengenal lebih jauh buku ajaib. Monoton, jarang mengetahui kehidupan dunia luar. Sampai-sampai, aku pernah mempromosikan diri sebagai salah satu orang kuper di dunia.
Itu pada kehidupan nyata, tapi tidak dengan kehidupan dunia maya. Perlu kalian ketahui, aku sangat terkenal di dunia maya, khususnya dalam game online. Aku pernah menjadi Top Global game terpanas di dunia. Namun aku tetap menjaga diri, tidak begitu saja memperkenalkan diri pada khalayak umum.
Mungkin kalian sering mengetahui di jejaring sosial orang yang sombong sekali. Baru saja dia menaiki peringkat lima puluh besar dunia, dalam dunia game, sudah bangga dengan yang dia dapatkan, dan memunculkan berbagai tutorial aneh. Dan bayangkan diriku kawan, menjadi Top Global, dan aku tetap rendah diri, bayangkan! Seberapa baik diriku. Hahaha. Aku tertawa. Benarkah demikian?
Hingga pada suatu hari, aku membaca sebuah mantra hebat dari buku ajaib itu. Setelah membaca mantra itu, aku mengetahui bahwa buku itu ajaib. Pasalnya, setelah membaca mantra itu, aku langsung hilang menuju lereng pegunungan.
Awalnya aku bingung, takut, kenapa bisa sampai pada pegunungan ini. Tapi aku mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Alhasil, aku berjalan mengelilingi lereng pegunungan itu, mencari jalan keluar.
Namun, semakin aku berjalan, semakin hilang pula arah yang aku tuju. Hampir saja aku menangis ketakutan, kedinginan, semua menjadi satu. Akhirnya, aku menemukan sebuah tulisan besar di batu lebar, dan membacanya tiga kali. Sambil menangkupkan buku ajaib di dada, berharap dapat menghangatkan diri, aku berhasil kembali pulang dengan selamat.
“Kamu kenapa, kok, pucat begitu?” tanya ibuku yang masuk kamarku.
Aku tidak menjawab dengan jujur, hanya memberi alasan. Dan ibu percaya juga dengan alasan itu. Seketika, meninggalkan kembali diriku dalam kamar.
Mulai hari itu, aku mulai menjaga dan merawat buku ajaib. Serta, tidak membacanya dalam sembarang waktu. Mulai dari kagum, heran, takut, menjadi satu dalam diriku. Aku tidak pernah membawanya keluar dari kamar, sampai aku bisa menemukan mantra untuk menghilangkannya. Setelah mendapatkan mantra agar dia tidak nampak dan tetap bersamaku, barulah aku membawanya keluar.
Sampai sekarang, aku sudah lima tahun bersama dengan buku itu. Dan banyak sekali pengalaman-pengalaman baru yang aku dapatkan. Seperti berteduh dari hujan tanpa atap, membuat api tidak panas, sampai melelehkan es batu dalam sekejap. Buku ajaib itu juga banyak sekali mengajakku mengunjungi tempat-tempat aneh, dan pulang dengan selamat.
Hingga dua hari yang lalu, aku membaca buku itu kembali, lebih serius. Entah kenapa aku paham begitu saja dengan bahasa dan tulisan buku ajaib. Padahal aku tidak pernah mempelajarinya. Tiga kali aku membacanya, dan mengantarkanku pada sebuah tempat.
Akhirnya, aku duduk termenung di dalam mobil terbang ini. Menyesali apa yang telah aku lakukan. Sehingga, membuat Hanai dan Hinia kesusahan. Kasihan.
Ketika berbicara tentang kelapa muda, atau yang sering kita dengar dengan degan maka hal pertama yang terlintas di benak saya adalah nama seorang laki-laki yang telah berjasa bagi hidup saya, yaitu sosok seorang bapak yang dengan tulus ikhlas membesarkan anak-anaknya.
Entah apa yang harus saya berikan kepadanya untuk membalas jasa-jasa yang begitu besar. Ah, rasanya tidak mungkin untuk membalas sepenuhnya jasa yang telah dia berikan, atau mungkin hanya setengahnya juga tidak mungkin, sebab begitu banyak kehidupan dan pelajaran yang ia berikan.
Jika memang demikian, apa yang harus saya berikan kepadanya? Tidak ada yang pantas aku berikan kepadanya untuk bersanding dengan jasa yang telah ia berikan. Benar, benar-benar tidak mungkin.
Namun, kita sebagai manusia tidak boleh berputus harapan. Kita harus berusaha setiap hari setiap saat setiap ada kesempatan untuk menjadi anak yang berbakti. Sebab, hanya begitulah cara kita membalas putih orang tua, entah itu bapak atau ibu. Dengan menjadi anak yang berbakti diharapkan kita dinamai oleh Tuhan sebagai manusia yang tidak lupa pada asalnya
Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”“Dia sedang tidur.”“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.Baiklah, mulai sekarang aku akan
Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala
Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw
Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.
Pagi hari, mataku sudah terbuka lebar, terkena deburan sinar matahari. Nai, juga terlihat sudah bersiap dengan kegiatan hari ini. Nia, kemana dia? Apakah masih berada dalam ruangan kamarnya?Ah, sial sekali anak itu. Pagi seperti ini masih belum bangun. Mungkin dia lelah dengan mengemudikan moter selama seharian penuh.Ternyata tidak, Nia sudah bangun sejak tadi malahan. Dia, sekarang berolah raga ria di depan bangunan penginapan. Ceria sekali malahan dia. Entah mimpi apa yang dia lalui semalaman.“Safa, setelah sarapan nanti kita berangkat menuju Kuil Damsaqie kembali.” Kata Nai padaku ketika sarapan pagi.Sarapan kami lakukan dengan diam-diaman, tidak banyak perbincangan yang terjadi. Kanisan, entah kenapa pagi ini begitu diam. Hanya Nai, yang sekali-kali mengeluarkan suara, mengomentari masakan penunggu penginapan. “Terlalu banyak garam masakan ini.”***Setelah sarapan, benar-benar kami berangkat menuju Kuil Damsa
Kalsti telah mantap untuk meluncurkan kamera mikro ketika pagi datang. Saat itu, Safara dan teman-temannya tengah masak di dapur penginapan.Wajahnya cerah ceria, tidak merasakan letih yang tercip malam tadi. Kalsti, menamakan kamera mikro itu dengan sebutan ‘Gadiang Gioreng 23’. Sekarang, perwajahannya sudah sangat berbeda dengan kamera yang berada di tembok ruang kerjanya.“Alat ini sudah siap mengudara. Dan, tentunya aku sudah siap untuk diangkat menjadi Pemimpin Keamanan.” Katanya sendiri dalam hati.Dia mengambil moternya dengan bantuan beberapa kode dari ponselnya. Dari kejauhan, terdengar desingan mesin moter, pelan, tidak menyakitkan telinga. Moter Kalsti sungguh indah. Berwarna kuning kehijau-hijauan, dengan hiasan lampu hitam.Setelah sampai di depan rumahnya, segera dia mendekati moter, dan membuka pintu moter. Pertama-tama, dia membuka pintu belakang moter, dan meletakkan Gadiang Gioreng 23 pada kursi belakang. Setelah