Tiba-tiba tercium sebuah aroma seperti buah mangga, datang dari luar moter entah bagaimana caranya. Aroma itu membuat hidung tidak lekang menciumnya, semua penumpang moter Kanisan merasakan bau yang nikmat tersebut.
“Aroma apa ini? Apakah ada yang memakan buah mangga?” Kanisan bertanya kepada semua orang.
Nia menjawab, “Tidak, walaupun aku suka makan, tapi pada keadaan seperti ini tidak mungkin aku makan!”
“Barangkali ada yang memakan permen karet?” Nai ikut bertanya setelah melepaskan pelukannya pada tubuh Safa.
“Tidak ada!” Karfan angkat bicara.
Beberapa saat kemudian bau itu menjadi semakin menyengat, tajam sekali. Bau itu berubah menjadi bau busuk, bukan lagi bau mangga yang sedap dan memanjakan hidung.
“Bangsat! Siapa yang kentut ini?” tanya Kanisan dengan kasar. Bukan apa-apa-, bau itu memang sangat menyengat sekali busuknya, menyerupai bau bangkai.
“Ini bukan ken
“Apakah enam orang ini yang telah membuat kacau Kulstar beberapa hari terakhir?” tanya seseorang yang memakai topi lebar, sepertinya dia adalah ketua angakatan darat.“Benar Tuan Kamprit! Mereka adalah para perusuh itu dan salah satunya berasal dari bumi!” ujar penjaga yang sejak tadi menjaga ruangan tersebut.“Yang manakah manusia bumi itu?” tanya Kamprit, dia antusias sekali.“Yang memakai baju putih abu-abu itu, Tuan Kamprit!” ujar penjaga.Penjaga itu menunjuk Safa yang memakai seragam SMA nya. Memang selama di Kulstar, Safa hanya memakai dua jenis pakaian, seragam SMA dan pakaian kesukaannya. Bukan apa-apa, Safa memang selalu menyimpan seragam SMA nya itu di dalam tas, agar tidak terlambat ketika sekolah.Kamprit berjalan mendekati Safa, Safa diam ketakutan, dia mendekatkan diri kepada Nai yang berada di sampingnya.“Kenapa kau? Apakah takut kepadaku, wahai manusia bumi? Tenanglah, a
“Nah, ini makanan untuk kalian!” Ketek datang dengan memajang muka kusutnya.“Lama sekali, kau, Ketek!” teriak Kamprit dari sudut ruangan.“Petugas di dapur juga masih banyak pekerjaan, Tuan Kamprit! Jadi, harus menunggu sedikit lebih lama!” Ketek mengutarakan apa yang terjadi di dapur sehingga harus menunggu agak lama.“Tidak usah memberi tahu aku, Ketek!” teriak Kamprit lagi, dia benar-benar manusia yang tidak suka berguru.Nia berbisik kepada Nai, “Itulah gambaran dirimu, Nai! Kau sama keras kepalanya seperti Kamprit!” Lalu dia tertawa.“Hai, kau menertawakanku?” Kamprit melihat dan mendengar Nia yang tertawa.“Tidak, kami tengah bergurau tentang diri kami sendiri!” ujar Nia hati-hati.“Rasakan itu, Nia!” ujar Nai kepada adiknya sembari menahan tawa.“Hem, makanan ini tidak buruk juga,” ujar Safa sembari menimang-niman
Ruangan itu diselimuti oleh tanda tanya besar. Tidak ada wajah yang mengeluarkan senyum, kecuali Safa yang tetap berusaha tersenyum, mengeluarkannya meskipun dengan kekhawatiran besar.Kamprit datang selepas sarapan, kira-kira pukul delapan pagi. Kamprit berpakaian rapi layaknya seorang pemimpin angkatan darat. Rambutnya pendek di sisir ke kanan, tidak mengenakan topi. Seragamnya hampir sama dengan seragam polisi di Indonesia, cokelat tua. Namun, sekarang di Indonesia harus jeli membedakan antara seragam polisi dan seragam satpam, sebab ada beberapa kesamaan dalam urusan warna.“Hai, Tuan Kampret!” ujar Safa seperti bertemu dengan teman lamanya. “Apakah kau sudah memikirkan matang-matang tawaranku?” lanjut Safa dengan pertanyaan yang jawabannya sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang di dalam ruangan itu.“Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan tidak akan merugikan siapa-siapa!” ujar Kamprit dengan penuh wibawa.Nam
Siang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Safa mempersiapkan jawaban terbaik dan menata kata sehingga Kamprit tidak akan menaruh curiga kepadanya. Rencana mereka sangat matang, yaitu menerima tawaran Kamprit, tubuh mereka akan dipasangi chip kontrol oleh angkatan darat, kemudian diam-diam mereka akan mengeluarkan chip itu dari tubuh dengan bantuan kenalan Kanisan. Namun ternyata semua tidak berjalan baik-baik saja.“Bagaimana jawabanmu, Manusia bumi?” tanya Kamprit mendesak. Dia masih seperti biasa, berpakaian rapi, dengan seragam mirip polisi Indonesia.“Kami menerima tawaranmu, dan kami akan memenuhi persyaratan darimu!” ujar Safa yakin.“Hahaha, itu adalah jawaban yang sangat menyenangkan. Baiklah, lebih cepat lebih baik, aku akan memasang chip pada tubuh kalian. Eh... ada satu hal yang aku lupa mengatakannya kepada kalian!” Kamprit mencoba mengingat satu hal yang dia lupa mengatakannya.“Apa itu? Jangan coba
“Biar aku saja yang menjadi manusia pertama di sini yang akan dipasangi chip!” Nai mengajukan diri.“Itu adalah sebuah keberanian, Anak muda!” sahut dokter yang akan melakukan operasi pemasangan chip pada tubuh, dokter itu memuji keberanian Nai. “Baiklah, sekarang kau berbaringlah di atas tempat tidur itu!”Nai berjalan menuju tempat tidur kecil yang di sekelilingnya banyak sekali peralatan medis. Peradaban di Kulstar sepertinya sudah seratus kali lebih maju dari pada di bumi, saat ini, apalagi di Indonesia. Kaca pembesar tidak lagi dibutuhkan, sebab setiap kali menginginkan pembesaran pada obyek, dokter hanya cukup mendekatkan matanya beberapa senti, lalu menariknya kembali, dan kelar, obyek menjadi besar seperti yang dia inginkan.“Kau sudah siap?” tanya dokter itu. Rambut sang dokter sudah banyak yang memutih, dipotong pendek, dan matanya hitam pekat, kulitnya sudah banyak yang keriput. Dia mengawasi Nai dengan
Semua hampir selesai pemasangan chip oleh dokter tua, dan sekarang adalah yang terakhir, giliran Safa. Safa samar-samar maju ke samping tempat tidur, dan itu adalah Safa yang pertama, mentalnya tidak seperti Safa yang kedua, tidak terlalu pemberani.“Kenapa kau takut seperti itu, hai anak manis?” Dokter berusaha membuat Safa tenang, sebab chip tidak akan berhasil dipasang jika orang yang akan dipasangi merasa tidak tenang. Oleh karena itu, setiap kali akan memasang chip, dokter tua itu selalu berusaha membuat pasiennya tenang.“Tidak, aku hanya sedikit takut saja,” kata Safa lirih, dia mulai mengangkat tubuhnya pada tempat tidur berselimut biru tua itu.“Tidak usah takut, pemasangan chip ini tidak sakit dan tidak akan meninggalkan luka sedikit pun!” kata dokter.Safa sudah membaringkan diri, matanya memandang dokter tiada lepas, setiap gerak-geriknya dia perhatikan.“Kenapa kau melihatku seperti itu, wahai
“Ah, sepertinya aku sudah menemukan cara untuk memasang chip itu pada tubuh manusia aneh tersebut!” ujar dokter kepada dirinya sendiri, ia meletakkan tablet transparannya sembarangan di atas meja kerjanya. “Hai, Kau! Manusia aneh! Kemarilah! Aku sudah menemukan cara untuk memasang chip itu pada tubbuhmu!” Safa berjalan mendekati tempat tidur dan kembali membaringkan diri.Dengan cekatan, sebab tidak sabar untuk menguji materi yang telah dia baca, dokter meletakkan kain putih tipis di atas dada Safa. Tampaklah organ tubuh dalam Safa, sekilas tidak ada yang berbeda, usus-usus bergerak pelan sesuai dengan ritme pernapasan, paru-parunya kembang kempis mengeluarkan dan memasukkan udara, kemudian jantungnya memompa darah ke seluruh tubuh. Begitulah, tidak ada yang berbeda dengan tubuh bagian dalam yang berada di tubuh Safa, tidak ada perbedaan sama sekali.“Ah, apa yang salah dengan hal ini? Apakah tubuh gadis sial ini mempunyai kekuatan untuk m
Perjalanan panjang itu terjadi sebab ada sebuah tujuan yang musti dipenuhi. Begitulah, kehidupan adalah berbagai rangkaian jalan untuk mendapatkan dan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Bukankah demikian adalah hakikat kehidupan? Selanjutnya, dalam kehidupan ternyata tidak semudah yang dibayangkan, banyak ujian dan halangan yang harus dilalui. Tapi bagaimana pun sulitnya, kehidupan adalah kehidupan yang musti dijalankan dengan sebaik mungkin.“Kanisan, apakah kau benar-benar akan berpisah dengan kami?” Nai menggenggam erat pundak Kanisan sebelum berpisah.“Tenang saja, tidak lebih dari tiga hari aku akan menyusul kalian. Nai, hanya satu yang perlu kau ingat! Adalah menjaga kaca kecil itu agar tetap kau bawa, jangan sampai hilang!” bisik Kanisan di telinga Nai, sebab Kamprit dan Ketek selalu mengawasi mereka, serta selalu berusaha mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.“Hai, tidak usah lama-lama, macam sinetron saja!” Kete